Meniti Jalan Kurikulum Merdeka

Christopher Leonel Ho, Siswa Kelas VIII
Dalam dua tahun terakhir di SMPS Seminari St. Yoh. Berkhmans Mataloko, aku telah menapaki sebuah jalan yang berbeda, sebuah jalan yang ditawarkan oleh Kurikulum Merdeka. Awalnya, aku tidak begitu paham ke mana arah pembelajaran ini akan membawaku.
Namun, seiring berjalannya waktu, aku mulai memahami kurikulum ini bukan sekadar metode pengajaran, melainkan cara baru untuk melihat dunia, dan lebih dari itu, melihat ke dalam diri sendiri.
Sebagai pribadi yang mencintai dunia tulisan dan haus akan ilmu pengetahuan, Kurikulum Merdeka memberiku ruang untuk menyelami keduanya. Aku tidak dipaksa untuk mengikuti arus, tetapi diajak menyelam lebih dalam, merenung, mempertanyakan, dan akhirnya mengerti.
Di tengah jadwal yang tidak teratur atau kelas yang kadang terasa kosong, aku menemukan keindahan dalam belajar secara mandiri. Di situlah aku belajar bahwa makna, nilai, atau pengetahuan tidak selalu hadir dalam keramaian dan rutinitas, tetapi bisa muncul dalam keheningan dan pencarian pribadi.
Seperti tertulis dalam Amsal 18:15, “Hati orang berpengertian memperoleh pengetahuan, dan telinga orang bijak menuntut pengetahuan”. Ayat ini seolah menjadi roh dari perjalananku bersama Kurikulum Merdeka. Aku mulai mencintai proses, bukan hanya hasil. Aku tidak lagi sekadar ingin tahu, tetapi ingin mengerti. Aku belajar tidak hanya dari guru atau buku teks, tetapi juga dari pengalaman, dari permenungan, bahkan dari kesalahan-kesalahan kecil yang justru memperdalam pemahamanku.

Kelebihan Kurikulum Merdeka yang paling kurasakan adalah fleksibilitasnya. Ia memberiku kesempatan untuk mengeksplorasi minat, khususnya dalam menulis dan memahami berbagai cabang ilmu. Aku diberi kebebasan memilih tema proyek, membuat karya, dan meneliti hal-hal yang benar-benar membuat pikiranku menyala. Di sinilah aku merasa benar-benar merdeka: bebas untuk berpikir, bebas untuk tumbuh.
Namun tentu, tiada sistem yang sempurna. Ada saat, ketika pembelajaran terasa tidak terarah. Ada waktu, ketika kami harus mengisi kekosongan kelas dengan cara kami sendiri.
Namun, justru di situlah kurikulum ini menantangku untuk bertanggung jawab atas proses belajarku. Tidak ada yang memaksaku belajar, tetapi ada suara hati yang terus mendorong, “Aku ingin tahu. Aku ingin menjadi lebih baik”.
Kurikulum Merdeka di Seminari Mataloko, khususnya di SMP, telah menumbuhkan benih-benih yang tak terlihat oleh mata. Ia membentuk disiplin batin, keingintahuan yang mendalam, dan ketekunan yang perlahan, tetapi pasti.
Seperti tertulis dalam Mazmur 119:105, “Firman-Mu adalah pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku,” kurikulum ini menjadi salah satu pelita kecil dalam perjalanan panjang menuju panggilan hidup yang lebih besar.
Kini aku tahu, belajar tidak sekadar mengejar nilai, tetapi mempersiapkan diri untuk menjadi pribadi yang berarti. Dalam kesunyian di Seminari ini, dalam ruang-ruang kelas yang kadang hampa, tetapi penuh makna, aku telah belajar sesuatu yang tak ternilai bahwa kemerdekaan sejati adalah ketika aku tahu untuk apa dan untuk siapa aku belajar.