Ibu Yovita Narsi Mat
“Profesi guru termasuk salah satu pekerjaan yang mudah untuk dijalankan. Rutinitasnya hanya berkisar dari bangun pagi lalu berangkat ke sekolah dan tengah hari sudah pasti kembali ke rumah. Jatah hari libur banyak, punya waktu yang cukup untuk berkumpul dengan orang tersayang, dan lebih leluasa mengatur agenda di musim liburan Panjang. Nikmat sekali, bukan?” Ini potongan anggapan lisan yang sering saya dengar dari orang-orang sekitar terkait profesi yang saya jalani sekarang.
Saya Yovita Narsi Mat, seorang tenaga pendidik pada SMPS Seminari St. Yoh. Berkhmans Mataloko. Saya menamatkan studi Pendidikan S1 pada tahun 2021 di Unika St. Paulus Ruteng. Tepat di tahun 2023, saya diterima menjadi tenaga pendidik di sekolah tempat saya mengabdi sekarang.
Sekolah ini merupakan sekolah swasta katolik yang hanya menerima peserta didik laki-laki – single gender school. Sebuah awal karir yang menawarkan cerita pengalaman yang unik. Saya kembali ke sekolah sebagai seorang guru (guru baru), guru perempuan, dan mengajar hanya peserta didik laki-laki.
Tugas pengabdian sebagai guru menuntut seseorang untuk menjalankannya dengan hati lapang. Ia membagi ilmu, dan sekaligus laku hidupnya diteladani. Seorang guru harus mampu membiasakan diri untuk bisa bertindak multiperan. Ruangan kelas menjadi saksi betapa guru paling handal dalam bertukar peran dari menjadi pengajar, orang tua, teman hingga sebagai sahabat yang menyenangkan. Profesi ini memang menuntut dan mengasah kesabaran.
Pengalaman menjadi guru baru menyajikan banyak cerita menarik dan menantang. Sebagai guru baru, saya mengalami banyak tantangan di awal karir. Mulai dari beradaptasi dengan situasi baru hingga pada perubahan identitas dari pelajar menjadi pengajar. Jeda waktu dari status sebagai pelajar terasa singkat; sekarang saya menjadi si pemberi pembelajaran di kelas.
Krisis identitas tidak lagi bisa terelakkan diawal karir ini. Di tengah keresahan ini, saya sebagai pengajar tentunya harus tetap berhadapan dengan para siswa. Mengedepankan tanggung jawab untuk mengajar dan mendidik.
Mengajar tidak rumit, namun juga tidak bisa dianggap mudah. Saya mendapatkan banyak pengalaman baru. Hal-hal praktis yang saya temukan sedikit berbeda dari teori yang saya pelajari tentang profesi guru. Pengalaman yang masih minim membuat saya belum menemukan pola mengajar yang baik dan tepat. Saya kerap kali membandingkan diri sendiri dengan orang lain.
Dalam pembelajaran di kelas, saya terkadang merasa kewalahan dalam menyeimbangkan antara ekspetasi pribadi dengan realita yang ada. Saya sering merasa belum bisa menjadi guru yang tepat untuk murid di sekolah.
“Saya merasa sudah mengajar maksimal, tetapi kenapa siswa sebagian belum juga menunjukkan kemajuan dalam belajarnya. Sepertinya saya gagal.” Sebuah keluhan yang menunjukkan betapa seringnya saya menyalahkan diri sendiri. Menuntut siswa untuk sesegera mungkin paham dengan materi yang diajarkan sementara di lain pihak mereka belum tentu terbiasa dengan kehadiran guru baru.
Menjadi guru berarti berbakti untuk kepentingan banyak individu, dalam hal ini peserta didik. Mereka adalah pribadi yang dari segi pemikiran masih berkembang dan perlu tuntunan. Saya perlu belajar untuk menurunkan ego dan ekspektasi yang kurang realistis. Saya perlu membuka diri dan merasakan suasana menjadi murid agar bisa benar-benar tahu akan bantuan apa yang mereka butuhkan. Hal ini mungkin tidak mudah untuk dilakukan.
Menghilangkan sekat antara “ aku guru dan kamu hanya muridku” membutuhkan waktu dan kesadaran penuh bahwa sekolah adalah tempat semua orang belajar, baik murid maupun guru. Pemikiran inilah yang telah menguatkan saya untuk terus berusaha dan tidak menyerah pada situasi.
Sebagai guru baru saya perlu belajar banyak hal. Melihat tantangan sebagai peluang untuk bertumbuh. “Miss, saya suka pelajaran (xx) dan lebih mudah memahami penjelasan karena gurunya baik. Kami mau diperhatikan semua”. Ini adalah pengakuan polos yang saya baca pada lembar refleksi siswa. Hal ini menyadarkan saya bahwa guru tidak bisa gegabah dalam menentukan keputusan.
Berhadapan dengan kemampuan murid yang beragam memiliki tantangan tersendiri. Kondisi di dalam kelas menunjukkan siswa tidak memiliki kemampuan yang sama. Ada siswa yang belajar dengan cepat, sebagian lainnya membutuhkan waktu untuk memahami materi yang diajarkan. Sebagai guru, tentunya saya punya tanggung jawab untuk menciptakan kelas yang inklusif, adil untuk semua. Sekali lagi hal ini bisa terwujud dengan kerelaan membuka diri untuk belajar memahami peserta didik sekalipun jalannya tidak mudah.
Dari sekian tantangan dan keresahan yang saya alami, satu hal yang menyadarkan saya untuk tetap berjuang menjalankan profesi ini dengan sepenuh hati adalah kenyataan bahwa sebelum jadi guru saya juga pernah menyandang status sebagai pelajar. Saya belajar dari sekolah dasar, kemudian berlanjut ke sekolah menengah pertama, lalu menikmati proses di sekolah menengah atas. Perjalanan yang memakan waktu belasan tahun, lebih tepatnya 12 tahun.
Tidak berhenti di situ, saya melanjutkan pendidikan tinggi di fakultas keguruan selama empat tahun. Proses belajar yang memakan banyak waktu. Terkadang kejadian yang saya alami di kelas membawa saya kembali pada pengalaman masa lalu sebagai pelajar. Murid perlu didampingi, dan dalam proses ini seorang guru juga akan bertumbuh di dalamnya. Inilah yang saya rasakan selama setahun menjadi guru. Saya mengajar sekaligus belajar banyak dari peserta didik.
Memilih menjadi guru adalah jalan panggilan untuk selamanya belajar dan berbagi. Sekolah menjadi tempat yang paling jelas melihat pemandangan orang belajar, berjuang, sekaligus bertumbuh sebagai manusia. Saya menikmati pemandangan luar biasa ini.
Ilmu yang didapatkan kurang lebih selama enam belas tahun kembali saya dedikasikan untuk murid di sekolah. Inilah komitmen yang bisa saya berikan sebagai bentuk kontribusi terhadap perkembangan dunia pendidikan Indonesia dan wujud pelayanan memberi dengan sebaik-baiknya terhadap sesama lewat profesi guru.