Yovita1

BELAJAR DAN BERBAGI

Ibu Yovita Narsi Mat

Profesi guru termasuk salah satu pekerjaan yang mudah untuk dijalankan.  Rutinitasnya hanya berkisar dari bangun pagi lalu berangkat ke sekolah dan tengah hari sudah pasti kembali ke rumah. Jatah hari libur banyak, punya waktu yang cukup untuk berkumpul dengan orang tersayang, dan lebih leluasa mengatur agenda di musim liburan Panjang. Nikmat sekali, bukan?” Ini potongan anggapan lisan yang sering saya dengar dari orang-orang sekitar terkait profesi yang saya jalani sekarang.

Saya Yovita Narsi Mat, seorang tenaga pendidik pada SMPS Seminari St. Yoh. Berkhmans Mataloko. Saya menamatkan studi Pendidikan S1 pada tahun 2021 di Unika St. Paulus Ruteng. Tepat di tahun 2023, saya diterima menjadi tenaga pendidik di sekolah tempat saya mengabdi sekarang.

Sekolah ini merupakan sekolah swasta katolik yang hanya menerima peserta didik laki-laki – single gender school. Sebuah awal karir yang menawarkan cerita pengalaman yang unik. Saya kembali ke sekolah sebagai seorang guru (guru baru), guru perempuan, dan mengajar hanya peserta didik laki-laki.

Tugas pengabdian sebagai guru menuntut seseorang untuk menjalankannya dengan hati lapang. Ia membagi ilmu, dan sekaligus laku hidupnya diteladani. Seorang guru harus mampu membiasakan diri untuk bisa bertindak multiperan. Ruangan kelas menjadi saksi betapa guru paling handal dalam bertukar peran dari menjadi pengajar, orang tua, teman hingga sebagai sahabat yang menyenangkan. Profesi ini memang menuntut dan mengasah kesabaran.

Pengalaman menjadi guru baru menyajikan banyak cerita menarik dan menantang. Sebagai guru baru, saya mengalami banyak tantangan di awal karir. Mulai dari beradaptasi dengan situasi baru hingga pada perubahan identitas dari pelajar menjadi pengajar. Jeda waktu dari status sebagai pelajar terasa singkat; sekarang saya menjadi si pemberi pembelajaran di kelas.

Para seminaris cilik di ruangan kelas

Krisis identitas tidak lagi bisa terelakkan diawal karir ini. Di tengah keresahan ini, saya sebagai pengajar tentunya harus tetap berhadapan dengan para siswa. Mengedepankan tanggung jawab untuk mengajar dan mendidik.

Mengajar tidak rumit, namun juga tidak bisa dianggap mudah. Saya mendapatkan banyak pengalaman baru. Hal-hal praktis yang saya temukan sedikit berbeda dari teori yang saya pelajari tentang profesi guru. Pengalaman yang masih minim membuat saya belum menemukan pola mengajar yang baik dan tepat. Saya kerap kali membandingkan diri sendiri dengan orang lain.

Dalam pembelajaran di kelas, saya terkadang merasa kewalahan dalam menyeimbangkan antara ekspetasi pribadi dengan realita yang ada. Saya sering merasa belum bisa menjadi guru yang tepat untuk murid di sekolah.

“Saya merasa sudah mengajar maksimal, tetapi kenapa siswa sebagian belum juga menunjukkan kemajuan dalam belajarnya. Sepertinya saya gagal.” Sebuah keluhan yang menunjukkan betapa seringnya saya menyalahkan diri sendiri. Menuntut siswa untuk sesegera mungkin paham dengan materi yang diajarkan sementara di lain pihak mereka belum tentu terbiasa dengan kehadiran guru baru.

Menjadi guru berarti berbakti untuk kepentingan banyak individu, dalam hal ini peserta didik. Mereka adalah pribadi yang dari segi pemikiran masih berkembang dan perlu tuntunan. Saya perlu belajar untuk menurunkan ego dan ekspektasi yang kurang realistis. Saya perlu membuka diri dan merasakan suasana menjadi murid agar bisa benar-benar tahu akan bantuan apa yang mereka butuhkan. Hal ini mungkin tidak mudah untuk dilakukan.

Menghilangkan sekat antara “ aku guru dan kamu hanya muridku” membutuhkan waktu dan kesadaran penuh bahwa sekolah adalah tempat semua orang belajar, baik murid maupun guru. Pemikiran inilah yang telah menguatkan saya untuk terus berusaha dan tidak menyerah pada situasi.

Sebagai guru baru saya perlu belajar banyak hal. Melihat tantangan sebagai peluang untuk bertumbuh. “Miss, saya suka pelajaran (xx) dan lebih mudah memahami penjelasan karena gurunya baik. Kami mau diperhatikan semua”. Ini adalah pengakuan polos yang saya baca pada lembar refleksi siswa. Hal ini menyadarkan saya bahwa guru tidak bisa gegabah dalam menentukan keputusan.

Berhadapan dengan kemampuan murid yang beragam memiliki tantangan tersendiri. Kondisi di dalam kelas menunjukkan siswa tidak memiliki kemampuan yang sama. Ada siswa yang belajar dengan cepat, sebagian lainnya membutuhkan waktu untuk memahami materi yang diajarkan. Sebagai guru, tentunya saya punya tanggung jawab untuk menciptakan kelas yang inklusif, adil untuk semua.  Sekali lagi hal ini bisa terwujud dengan kerelaan membuka diri untuk belajar memahami peserta didik sekalipun jalannya tidak mudah.

Dari sekian tantangan dan keresahan yang saya alami, satu hal yang menyadarkan saya untuk tetap berjuang menjalankan profesi ini dengan sepenuh hati adalah kenyataan bahwa sebelum jadi guru saya juga pernah menyandang status sebagai pelajar. Saya belajar dari sekolah dasar, kemudian berlanjut ke sekolah menengah pertama, lalu menikmati proses di sekolah menengah atas. Perjalanan yang memakan waktu belasan tahun, lebih tepatnya 12 tahun.

Tidak berhenti di situ, saya melanjutkan pendidikan tinggi di fakultas keguruan selama empat tahun. Proses belajar yang memakan banyak waktu. Terkadang kejadian yang saya alami di kelas membawa saya kembali pada pengalaman masa lalu sebagai pelajar. Murid perlu didampingi, dan dalam proses ini seorang guru juga akan bertumbuh di dalamnya. Inilah yang saya rasakan selama setahun menjadi guru. Saya mengajar sekaligus belajar banyak dari peserta didik.

Memilih menjadi guru adalah jalan panggilan untuk selamanya belajar dan berbagi. Sekolah menjadi tempat yang paling jelas melihat pemandangan orang belajar, berjuang, sekaligus bertumbuh sebagai manusia. Saya menikmati pemandangan luar biasa ini.

Ilmu yang didapatkan kurang lebih selama enam belas tahun kembali saya dedikasikan untuk murid di sekolah. Inilah komitmen yang bisa saya berikan sebagai bentuk kontribusi terhadap perkembangan dunia pendidikan Indonesia dan wujud pelayanan memberi dengan sebaik-baiknya terhadap sesama lewat profesi guru.

Weekend11

BERIKAN CINTA TANPA MAMANDANG STATUS SILSILAH

Cinta merupakan sebuah perasaan tulus yang disampaikan dari hati. Cinta yang tulus datang dari dasar hati yang paling dalam. Cinta hadir karena sikap saling percaya. Cinta yang besar itu, dirasakan oleh seminaris saat berpastoral. Joanne Baptista Wolosambi tempatnya. Cinta yang begitu besar dan dalam itu hadir dengan penuh hangat.

Umat Wolosambi memiliki cinta yang besar terhadap seminaris. Hubungan keluarga mungkin tak ada. Namun cinta yang diberi, bak cinta kedua orang tua kandung saja. Perhitungan. Mungkin kata yang tidak mereka kenal saat memberikan kasih sayang.

Banyak kisah indah yang dilewati, bersama umat Wolosambi. Kisah indah, yang sulit untuk dilupakan. Kisah cinta seorang ibu yang begitu besar kepada anaknya. Walaupun tak punya hubungan kekerabatan, ataupun garis keturunan.

Nyaman. Kata itu sangat tepat disematkan. Untuk para umat Wolosambi. Ketulusan yang diberi, membuat kami sangat nyaman. Sangat beda sekali perlakuan yang kami alami. Saat ini, saya menyadari bahwa betapa umat menantikan kehadiran seorang calon imam di tengah mereka. Oleh sebab itu, jadilah seorang calon imam yang berpribadi baik dan berkarakter mulia. Agar presepsi umat tidak dapat dipatahkan.

Dari kebaikan umat. Saya yakin hal serupa tidak hanya seminaris rasakan saat di Wolosambi saja. Namun, dapat di mana saja jika seminaris membawa kebiasaan baik yang diperoleh saat di asrama. Sikap yang baik dan ramah, sangat diapresiasi oleh banyak orang. Para calon imam sampai diberikan respon baik oleh umat, bukan hanya status belaka. Tetapi dibalik perawakan yang beragam itu, tertanam tujuan yang sama. Yaitu sebagai para saksi Kristus.

Terima kasih Wolosambi. Banyak pelajaran yang kami peroleh. Namamu akan menghiasi segala warna yang indah dalam perjalanan imamat kami. Segala hal baik yang tercurah, akan kami terima dan akan kami tanamkan dalam hidup dan karya kami. Segala macam pemberian, akan kami kembalikan dalam bentuk doa. Dan pada akhirnya kami hanya dapat mengucapkan terima kasih yang besar terhadap keluarga besar Paroki Joanne Baptista Wolosambi. (Eskil Lou – IX B)

Prakarya4

DARI INSTRUKTUR MENJADI GURU

Catatan Bapak Ronny Pulu

Menjadi guru adalah sebuah panggilan mulia untuk mendidik anak bangsa. Itulah profesi yang saya jalani saat ini. Namaku Heronimus Aloysius Pulu yang biasa disapa Ronny. Aku berkarya di sebuah lembaga pendidikan calon imam Katolik yang lazim disebut seminari yaitu Seminari Menengah St. Yoh. Berkhmans Mataloko. Lembaga pendidikan ini merupakan sekolah berasrama khusus laki-laki yang didirikan oleh para misionaris Eropa pada tahun 1929. Sebuah sekolah tua yang menyisakan sedikit arsitektur bangunan bergaya Eropa dan terletak di wilayah Kecamatan Golewa Kabupaten Ngada Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Letaknya cukup strategis karena berada pada jalur utama jalan penghubung antara kota-kota kabupaten di daratan pulau Flores. Selain itu udaranya yang sejuk dan cenderung dingin semakin menambah kenyamanan sebagai sebuah taman pendidikan. Walau sering dijuluki sebagai kota kabut dengan curah hujan yang cukup tinggi, Mataloko menjadi pilihan bagi beberapa lembaga pendidikan lainnya pada berbagai jenjang. Kondisi yang mungkin mirip seperti di Eropa ini bisa saja menjadi alasan berpindahnya lembaga pendidikan calon imam Katolik ini dari Lela yang berhawa panas, sebuah tempat di pesisir selatan pulau Flores pada wilayah kabupaten lainnya. Seminari tingkat menengah ini terdiri dari jenjang SMP dan SMA. Aku menjadi salah satu guru di tingkat SMP yang berasal dari kalangan awam (non imam) di antara sejumlah guru awam dan beberapa imam Katolik serta frater (calon imam) yang sedang menjalani masa orientasi pastoralnya.

Sebelum menjadi guru, aku pernah beberapa tahun berkarya di lembaga ini sebagai instruktur yang mendampingi para siswa seminari (seminaris) tingkat SMA dalam membuat berbagai benda kerajinan pada Sanggar Kreasi Berkhmawan. Sebuah kerja tangan yang harus dicintai oleh para seminaris sesuai dengan visi dan misi lembaga pendidikan ini. Sebagai instruktur aku sangat menikmati pekerjaan ini karena sesuai dengan minat dan bakatku. Berbagai limbah alam yang terbuang mudah didapatkan, seperti kayu, kaca, ataupun bambu. Aku bisa memanfaatkannya menjadi sesuatu benda yang menarik. Ada kepuasan bathin tatkala hasil karyaku dijadikan model untuk ditiru oleh para seminaris. Bahkan beberapa kali hasil karya kami dipamerkan pada ajang tertentu baik di sekolah ini maupun pada tingkat kabupaten.

Selama mendampingi para seminaris, banyak hal yang aku alami, baik yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan, bahkan bisa memicu kemarahan. Peralatan kerja milik sanggar kadangkala menjadi rusak dan tidak bisa digunakan lagi. Cara menggunakan alat kerja juga kadang harus aku tunjukkan karena menjadi hal yang baru bagi mereka. Bahan-bahan habis pakai yang disediakan kadang digunakan seenaknya tanpa aturan. Memang perlu penguasaan diri yang cukup untuk menghadapi ulah seminaris yang seperti itu. Kesabaran mutlak sangat diperlukan. Peralatan kerja yang digunakan cukup beresiko bahkan bisa membahayakan. Pengawasan harus terus dilakukan sehingga bisa mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan.

Siswa bangga mempertontonkan replika rumah adat.

Aktivitas kerja tangan harus dibuat menjadi sesuatu yang menyenangkan, bukan paksaan. Karena sesuatu yang dibuat karena terpaksa tentu akan menghasilkan sesuatu yang tidak maksimal. Membuat suatu benda kerajinan akan berhasil baik bila dikerjakan dengan hati. Silakan berkreasi sesuai dengan keinginan. Dua hal ini selalu aku tekankan pada seminaris. Dengan demikian mereka menjadi lebih kreatif, lebih cermat dan teliti, serta bertanggung jawab terhadap bahan dan peralatan yang digunakan. Kadang kala aku mengajak para seminaris mengevaluasi hasil karyanya secara detail, sehingga mereka bisa menyadari kekurangan untuk diperbaiki. Rasa bangga terpancar dari wajah-wajah mereka bila aku memuji. Hal ini semakin terlihat apabila hasil karyanya masuk nominasi untuk dipamerkan.

Sejak sepuluh tahun yang lalu aku dipercayakan menjadi guru untuk mata pelajaran Prakarya. Aku yang awalnya hanya berkutat dengan gergaji, mesin serut, bor, palu, dan peralatan tukang lainnya harus membiasakan diri dengan buku, spidol, laptop, dan urusan administrasi lainnya yang berhubungan dengan perangkat pembelajaran. Sebuah kepercayaan yang harus bisa dibuktikan dengan kerja nyata dalam peran sebagai guru. Memang awalnya terasa berat sekali karena aku sama sekali tidak memiliki kompetensi akademik dan pengalaman sebagai guru. Perlu perjuangan ekstra untuk masuk dalam kategori guru apalagi menjadi guru yang baik dan berkualitas. Namun lingkungan kerja yang kondusif dan menyenangkan sungguh sangat membantuku sehingga bisa beradaptasi dengan peran yang baru.

Aku harus membiasakan diri untuk menyiapkan perangkat dan materi pembelajaran, masuk kelas tepat waktu, membantu siswa dengan berbagai cara agar bisa memahami materi ajar, dan menjalankan tugas lainnya dengan penuh tanggung jawab. Sesekali aku tetap mendampingi siswa dalam kerja praktik Prakarya walau tidak lagi menggunakan ruang sanggar karena berbeda lingkungan kerjanya. Bukan sekedar mendampingi, tetapi harus bisa menilai proses dan hasilnya. Dahulu berurusan dengan ‘perangkat keras’, sekarang berurusan dengan ‘perangkat lunak’. Demikian kalimat yang pernah aku dengar dari salah seorang alumnus yang pernah menjadi siswaku.

Seorang guru tentu membutuhkan kedewasaan dalam berpikir dan bertindak serta memiliki kematangan emosional. Menguasai diri dalam menghadapi berbagai situasi kehidupan menjadi suatu keharusan. Para seminaris di sekolahku berasal dari berbagai wilayah di Indonesia, dengan berbagai latar belakang keluarga yang berbeda, dengan kultur yang kadang berbeda pula, dan sebagainya. Karena itu, dengan penuh kesabaran guru harus mampu mengelola kelas dengan baik, memberikan contoh dan teladan yang baik pula kepada para siswanya. Guru harus mampu mengarahkan para siswanya untuk saling menghormati perbedaan, dan berperilaku positif lainnya. Para siswa diharapkan untuk bisa memiliki karakter yang baik dan terus berusaha memperbaiki diri dari hari ke hari. Hari ini harus lebih baik dari hari kemarin. Besok harus lebih baik dari hari ini.

Densi1

BEKERJA SAMBIL BELAJAR

Catatan Ibu Densiana Mala

Latar  belakang pendidikan saya adalah sekolah menengah kejuruan di bidang pertanian. Tujuan awal saya melamar pekerjaan adalah sebagai karyawan di PT Cengkeh Malanuza milik Keuskupan Agung Ende yang berlokasi di Kecamatan Golewa Kabupaten Ngada Provinsi NTT. Kurang lebih setahun saya bekerja di PT Cengkeh. Dalam perjalanan waktu, kesehatan saya terganggu sehingga saya tidak bisa untuk selalu berada di lapangan. Lalu saya dipindahtugaskan ke Seminari Menengah St. Yohanes Berkhmans Mataloko yang juga menjadi milik Keuskupan Agung Ende.

Seminari ini merupakan lembaga pendidikan khusus tingkat menengah untuk para siswa calon imam Katolik (seminaris). Di dalam lembaga  ini ada dua sekolah berasrama untuk SMP dan SMA. Semua seminaris yang dididik di kedua jenjang sekolah ini terdiri dari laki-laki saja. Dalam kehidupan berasrama para seminaris didampingi oleh para imam Katolik. Sedangkan di sekolah ada sejumlah tenaga pendidik dan tenaga kependidikan non imam (awam), baik guru negeri maupun guru swasta. Ada yang laki-laki dan ada juga guru-guru perempuan. Para imam Katolik yang menjadi pembina di asrama juga menjadi guru sesuai dengan kompetensi masing-masing. 

Nama saya Densiana Deu Mala yang biasa disapa Densi. Pada saat itu kepada saya ditawarkan dua pilihan, yaitu sebagai tenaga kependidikan di perpustakaan dan di laboratorium. Akhirnya saya lebih memilih perpustakaan karena saya suka baca novel. Jadi sejak tahun 1994 saya menjadi pustakawati di perpustakaan Seminari Mataloko dan menangani urusan buku yang berkaitan dengan kebutuhan para siswa dan guru SMP.

 

Awal mula bekerja di perpustakaan saya merasa bingung mau memulai dari mana, karena saya belum mengenal sistem yang harus digunakan supaya buku-buku yang ada di perpustakaan dapat dipinjamkan. Namun kebingungan itu tidak bertahan lama karena saat itu sudah ada pegawai senior bernama Ibu Lis yang sudah lebih dahulu bekerja di perpustakaan itu. Saya banyak belajar dari beliau, dan  juga dari buku-buku bacaan tentang bagaimana mengelola perpustakaan sekolah.

 Kedatangan  Romo Nani Songkares, Pr. , seorang imam Katolik sekaligus guru bahasa Inggris pada tahun 1998, telah membawa angin segar untuk kami staf perpustakaan. Dia dipercayakan menjadi kepala perpustakaan selain juga menjadi salah satu pembina bagi para seminaris dalam kehidupan berasrama. Sebagai kepala perpustakaan dia menjalin kerja sama dengan perpustakaan Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero di Maumere Flores. Dia mendatangkan pengelola perpustakaan Seminari Tinggi  Ledalero yaitu Bapak Stefanus Meo, yang sudah ahli dalam mengelola perpustakaan. Kami diberi pelatihan mengelola perpustakaan dengan menggunakan sistem Dewey Decimal Classification, sebuah sistem pengelolaan yang masih digunakan sampai saat ini. Setelah pelatihan itu, saya baru menyadari bahwa bila bekerja di perpustakaan harus membiasakan diri untuk membuka dan membaca buku. Tidak harus semua halaman, tetapi paling kurang daftar isi atau sinopsisnya agar dapat menentukan tema buku yang akan ditempatkan di rak buku sesuai sistemnya. Jadi ribuan buku yang dikoleksi oleh perpustakaan ini harus kami cermati. Dengan demikian, jika ditanya oleh para pengguna perpustakaan  yang membutuhkan sumber bacaan sesuai keinginannya, maka dengan mudah kami dapat menemukan buku yang dimaksud.

Dalam pemikiran sebagian orang, yang bekerja di perpustakaan adalah orang buangan yang tidak mampu bekerja di tempat yang lebih menjanjikan. Dalam pemikiran mereka, kerja di perpustakaan berarti hari-hari pikul buku, susun buku dan lain lain yang tentu akan membosankan. Tetapi bagi saya pribadi, bekerja di perpustakaan adalah hal yang luar biasa dan membanggakan, karena setiap hari saya bekerja sambil belajar secara gratis. Di sela jam kerja pasti ada waktu kosong yang selalu saya gunakan untuk membaca buku walau tidak sampai tuntas. Selalu ada hal-hal baru yang saya dapatkan dari buku. Dan saya merasakan bahwa buku adalah guru yang paling istiwewa, yang mengajarkan banyak hal sesuai apa yang saya inginkan.

Pada tahun 2011, saya diberi kesempatan oleh pimpinan lembaga pendidikan ini untuk kuliah jurusan perpustakaan. Sekolah  menyadari bahwa salah satu poin penilaian dalam akreditasi sekolah adalah keberadaan tenaga perpustakaan yang berkualifikasi diploma perpustakaan. Saya sangat antusias dan senang sekali karena Komite sekolah menyanggupi untuk menanggung sebagian dari biaya kuliah saya. Universitas Terbuka menjadi pilihan saya untuk kuliah, sehingga tugas utama di perpustakaan tidak terabaikan. Dalam menjalani proses perkuliahan saya mendapat banyak kemudahan dalam belajar. Ada beberapa modul mata kuliah yang tidak bisa saya dapatkan. Namun buku-buku di perpustakaan Seminari masih bisa menjadi sumber pengganti modul-modul tersebut. 

Kehadiran para imam Katolik sebagai pembina seminari dengan berbagai kompetensi keilmuan yang mereka miliki sungguh sangat memperperkaya saya dalam banyak hal selama keberadaan saya di lembaga ini.. Saya yang dulunya sangat tidak peduli dengan disiplin menjadi sadar bahwa disipilin itu adalah harga mati karena hanya dengan disiplin saya bisa berubah menjadi lebih baik. Memulai dari diri sendiri, memulai dari hal yang kecil, memulai dari sekarang dan tidak menunda. Selain itu, keberadaan guru-guru awam senior telah banyak mengajarkan kepada saya, bagaimana harus bekerja dengan hati bagi para siswa seminari karena merekalah calon imam dan penerus masa depan gereja Katolik dan bangsa Indonesia.

Seiring berjalannya waktu, tidak terasa sudah 30 tahun saya bekerja sebagai pegawai perpustakaan Seminari Mataloko. Saya sering mendapat pertanyaan demikian, “Ibu Densi masih betah juga kerja di seminari?”  “Untuk apa ke tempat lain? Karena bagi saya, Seminari adalah rumah  kedua setelah rumah orang tua.” Demikian jawabanku. Ada lagi pertanyaan lain, “Ibu Densi tidak banyak berubah sejak kami masih sekolah di Seminari sampai sekarang.” Saya balik bertanya apa maksudnya. “Maksudnya wajah ibu tidak banyak berubah,” jawab mereka. Sambil tersenyum saya menjawab. “Jangan pura-pura tuh supaya  membuat ibu senang sesaat. Memang ibu sangat menikmati pekerjaan  ini karena sambil bekerja ibu juga belajar.”

Sebagai orang yang sudah dipercayakan sebagai pendidik dan tenaga kependidikan, saya berusaha untuk selalu bekerja dengan hati. Kalau kita benar bekerja dengan hati kita akan menemukan kebahagiaan dan kepuasan batin, sehingga seberat apapun tantangan dalam mengemban tugas pasti bisa kita lewati.

Saya berusaha jalin relasi yang baik dengan rekan kerja karena saya percaya, hubungan antar pribadi adalah perpustakaan hidup tempat kita menjadi dewasa. Tanpa tantangan dan rangsangan serta interaksi kita dengan sesama, kepribadian kita tidak berkembang dan berubah (Penulis adalah Pustakawati SMPS Seminari Mataloko)

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Ut elit tellus, luctus nec ullamcorper mattis, pulvinar dapibus leo.

RP1b

MAU BELAJAR PASTI BISA

Catatan Bpk. Heronimus Aloysius Pulu

Konsep belajar sepanjang hayat (long life learning) akan terus berlangsung sepanjang kehidupan setiap orang termasuk diriku. Sesuatu hal yang baik pasti banyak ujian dalam melakukan. Namaku Heronimus Aloysius Pulu yang biasa disapa Ronny. Aku adalah seorang guru pada SMPS Seminari St. Yoh. Berkhmans Mataloko yang terletak di wilayah Kabupaten Ngada Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Sebenarnya aku tidak layak disebut sebagai guru karena hanya bermodalkan  ijazah SMA. Aku sempat berada di tingkat akhir namun tidak sampai menyelesaikan pendidikan di perguruan tinggi. Lagi pula bidang yang kugeluti di perguruan tinggi tidak berkaitan dengan pendidikan di sekolah, sehingga jauh dari kompetensi seorang guru. Namun demikian, karena kuasa Tuhan dan terdorong oleh semangat belajar sebagai aktivitas yang menyenangkan, sudah hampir 18 tahun aku berada dan mengabdi di almamaterku ini. Pada awalnya, aku dipercayakan sebagai instruktur pada sanggar seni keterampilan Berkhmawan. Lalu kemudian aku dipercayakan menjadi guru untuk mata pelajaran Prakarya dan Bahasa Latin .

Sekolahku merupakan bagian dari sebuah lembaga pendidikan calon imam Katolik yang bernama Seminari Menengah St. Yoh. Berkhmans Todabelu Mataloko, sebuah sekolah berasrama untuk jenjang SMP dan SMA yang pada tahun ini berusia 94 tahun. Walaupun sebagai lembaga pendidikan khusus, sekolah ini tetap menjalankan kurikulum pemerintah (Kurikulum Merdeka) selain kurikulum khusus Seminari yang menjadi kekhasan semua seminari di seluruh Indonesia. Salah satu mata pelajaran khusus Seminari adalah Bahasa Latin, sebuah bahasa baku yang dikenal menjadi induk beberapa bahasa di Eropa dan sering digunakan dalam liturgi gereja Katolik. Sungguh tidak disangka bahwa sejak dua tahun lalu aku mendapat kepercayaan untuk mengampu mata pelajaran ini yang lazim dijalani oleh seorang imam atau frater (calon imam tingkat perguruan tinggi).

Sebagai guru Bahasa Latin yang mungkin pertama dari kalangan awam yang terjadi di sekolah ini, aku beranikan diri untuk menerima tantangan ini. Walau hanya bermodalkan secuil pengetahuan dasar tentang Bahasa Latin. Memang aku pernah belajar saat menjadi seminaris pada 40-an tahun silam. Aku meyakini bahwa sesulit apa pun itu pasti bisa dipelajari asalkan memiliki tekad yang kuat untuk belajar.

Pada titik ini aku bersyukur bahwa materi dalam buku panduan masih tetap sama seperti dahulu saat aku baru mulai mengenal Bahasa Latin. Lagi pula sebagai salah satu dari sekian ribu alumni yang kembali mengabdi di lembaga ini tentunya aku memiliki kewajiban moral untuk tetap mempertahankan eksistensi dan kontinuitas lembaga pendidikan calon imam Katolik ini. Nilai-nilai kehidupan yang selalu ditanamkan dalam diri para seminaris dan sudah kami rasakan manfaatnya harus terus dipertahankan dan ditingkatkan dari hari ke hari.

Bisa berkomunikasi dalam suatu bahasa asing tentu menjadi sesuatu yang menarik, sehingga menggugah orang untuk mau memelajarinya. Bahasa Latin tidak seperti bahasa asing lainnya yang bisa digunakan dalam percakapan sehari-hari. Hal ini tentunya menjadi tantangan untuk bisa meyakinkan para siswa agar mau belajar Bahasa Latin, sebuah bahasa baku yang nyaris tidak digunakan sebagai bahasa percakapan. Para seminaris selalu diingatkan bahwa jika kita menguasai Bahasa Latin maka kita akan mudah memelajari beberapa bahasa lain di Eropa seperti Italia, Perancis, Spanyol, dan Jerman.

Pembelajaran di kelas harus menarik minat siswa. Dalam rangka menggugah semangat belajar para seminaris, semua materi aku kemas dalam bentuk file powerpoint dengan animasi yang menarik. Untuk bisa berbahasa asing tentunya harus menguasai tata bahasa dan kosa katanya. Dalam perjalanan waktu ada beberapa siswa yang masih mengalami kesulitan dalam mengingat kosa-kata dan gramatika Bahasa Latin. Selain dibuatkan latihan yang berulang-ulang pada lembar kerja, beberapa materi penting juga dikemas dalam bentuk lagu dan dinyanyikan bersama (kadang aku iringi dengan alat musik). Pada saat tertentu juga aku menyediakan waktu untuk bimbingan pribadi bagi seminaris yang mengalami kesulitan, baik di dalam kelas maupun di tempat lain yang memungkinkan.

 Aku belajar sambil mengajari siswa. Tidak ada sesuatu yang sulit yang tidak bisa dipelajari, asal ada kemauan dan tekad yang kuat. Ada yang bisa dalam waktu singkat, dan ada yang membutuhkan lebih banyak waktu agar bisa. Teman-teman guru yang tentunya lebih memiliki kompetensi harus mampu memahami kelebihan dan kekurangan setiap siswa, membimbing dan mendampingi dengan tulus hati.

Aku selalu merasa bahwa para siswa adalah anak/adik/cucuku. Aku berusaha memperlakukan mereka secara baik dengan penuh kasih. Aku berusaha menunjukkan keteladanan yang layak dicontohi karena aku sadar guru itu untuk digugu dan ditiru. Aku berusaha menjadikan diriku guru yang disenangi siswanya, bukan guru yang menakutkan. Aku mengalami, bila siswa menyukai guru maka mereka akan menyukai pelajarannya. Mereka akan berusaha mencerna dengan baik apa yang kita sampaikan.

Alex2

MULAI DARI HAL BIASA-BIASA DAN SEDERHANA

Catatan Reflektif Rm. Alex Dae, Pr

Hingga saat ini, 26 tahun sudah saya berkarya sebagai pembina calon imam tingkat SMP di Seminari St. Yoh. Berkhmans Todabelu. Hal dasar yang menjadi fokus karya adalah membantu para calon imam mencapai kematangan dalam 5–S (sanctitas=kekudusan, scientia=pengetahuan, sapientia=kebijaksanaan, sanitas=kesehatan, sosialitas=persaudaraan). Kendatipun dalam perjalanan hidupnya, seminaris “menjadi yang lain”, minimal sebagian spirit 5–S telah terinternalisasi. Ini akan menjadi bagian dari cerita kehidupan saat mereka telah “menjadi yang lain”.

SMP dan SMA Seminari St. Yoh. Berkhmans Todabelu merupakan internat. Sebuah sekolah berasrama yang lima tahun lagi merayakan satu abad kehadirannya di Mataloko, Kec. Golewa, Kab. Ngada, NTT. Sungguh suatu kebanggaan. Selain karena usia yang sudah matang, internat calon imam ini telah melahirkan ribuan utusan dalam berbagai bidang panggilan dan karya di seantero dunia. Kualitas hidup mereka telah diakui sekurang-kurangnya karena 5–S yang pernah menjadi bagian dari jiwa mereka selama berada di Seminari.

 

Ada apa dengan Seminari?

Tidak dimaksudkan untuk menyombongkan diri. Namun, jika menimbang-nimbang kiprah hebat dan istimewa sebagian alumninya di seantero dunia, pertanyaan yang mungkin muncul adalah “Ada apa dengan Seminari atau Apa yang terjadi di Seminari?” Mungkinkah terjadi proses tumbuh kembang yang luar biasa para calon imam dalam internat ini? Sebagai komunitas khusus, berbagai pertanyaan, dugaan, bahkan prasangka dapat saja muncul. Namun, internat ini tidak hanya memunculkan dugaan ini dan itu. Fakta-fakta tentang sepak terjang “rumah” ini telah membangkitkan niat dan antusiame banyak calon imam untuk memulai dan menjalani kehidupan baru mereka di sini. Mereka yakin, internat ini adalah rumah kedua, tempat mereka memacu tumbuh kembang mereka untuk hidup masa depan.

Tidak disangkal, segelintir orang memastikan bahwa Seminari sebagai lembaga pendidikan akan melahirkan imam-imam sudah seharusnya demikian. Melalui pengelolaan pendidikan dan pembinaan yang bermutu, Seminari memang harus menghasilkan para calon pemimpin umat yang “mumpuni”. Orang lain lagi mungkin yakin sungguh bahwa memang Seminari pasti menyelenggarakan pendampingan dengan proses istimewa.  Namun, mungkin juga, mereka yang pernah menapaki kaki di internat ini akan menilai biasa-biasa saja, atau masih jauh dari harapan. Entah apa yang dipikirkan, dirasakan, dikatakan, atau dievaluasi, pertanyaan di atas merupakan spirit, kepercayaan, sekaligus harapan untuk terus berinovasi dan berkreasi dalam pengabdian.

Rm. Alex dalam sebuah perbincangan dengan novelis Maria Matildis Banda.

Mulai dari hal biasa-biasa dan sederhana untuk mandiri

Percikan pengalaman ini tidak dimaksudkan untuk membahas semua hal mengenai pedoman pendidikan calon imam. Jika menimbang-nimbang jawaban atas pertanyaan di atas, jawabannya adalah mulai dari hal sederhana dan biasa-biasa, sejauh pengalaman saya. Hal-hal sederhana itu, misalnya merapikan tempat tidur, melipat pakaian, merapikan lemari, membuang sampah pada tempatnya, cara menggunakan toilet, bekerja hingga tuntas, mengembalikan alat kerja, mencuci pakaian, serta hemat menggunakan air. Ini hal biasa dan sederhana yang sebenarnya sudah dilakukannya di rumah. Dalam internat ini, para seminaris mengulang kembali sendiri. Jauh dari ketergantungan pada intervensi orang tua. Memang, Seminari harus menjadi instansi kedua yang memudahkan calon imam mengembangkan berbagai keterampilan dasar itu. Semuanya  dilakukan secara  hidup mandiri.

Suatu saat, saya bertanya kepada para seminaris tentang arti disiplin. Ada rupa-rupa jawaban sederhana, tetapi unik. Ada yang mengatakan, disiplin berarti merapikan tempat tidur; gunakan air secukupnya untuk urusan toilet; membuang sampah pada tempatnya; tidak membuang ludah di sembarangan tempat; berdoa sebelum dan sesudah makan; tahu menyapa; rela mengucapkan maaf dan terima kasih; serta memelihara keheningan. Ada yang memandang disiplin sebagai tenggang rasa saat mandi dan cuci. Baginya, hemat menggunakan air karena ada ratusan seminaris yang sedang antre untuk mandi itulah wujud disiplin. Hemat saya, itulah konsep disiplin yang jujur dan kontekstual. Mereka merumuskan kedisiplinan sebagai apa yang dialami. Mereka tidak membutuhkan konsep disiplin yang rumit. Artinya, seminaris lebih memahami disiplin sebagai sebuah contoh hidup.

Rm. Alex bersama Rm. Nani di Jogjakarta

Mengembangkan karakter dengan contoh

Karena hal yang lebih menyatu dengan hidup mereka adalah contoh, maka pengembangan karakter semestinya bertolak dari contoh hidup. Rm. Nani Songkares adalah salah satu pendamping asrama tingkat SMP yang konsisten dalam hal ini. Sampah di lingkungan sekitarnya misalnya, pasti tidak luput dari perhatiannya. Seminaris selalu diajaknya untuk turut memungut sampah. Dari pengalamannya, kebiasaan positif anak akan menetap jika ada konsistensi keteladanan. Keluhan bahwa seminaris sembrono membuang sampah hanya dapat diatasi jika para guru dan pembina menjadi contoh yang konsisten. Guru dan pembina mesti secara sengaja memungut dan membuang sampah pada tempatnya. Bahkan jika ternyata para seminaris lupa atau tidak mau melakukannya lagi. Konsestensi contoh harus tetap dirawat hingga menjadi suatu kewajiban yang dapat ditiru dan dilakukan secara spontan oleh para seminaris sendiri.

Prinsip yang sama saya lakukan saat mengatur penggunaan air bagi para seminaris. Mereka mesti membiasakan diri dengan budaya antre untuk mandi. Dengan jumlah 300 lebih seminaris, budaya antre amatlah penting. Di samping memupuk tenggang rasa, kualitas  kesabaran para seminaris dipertebal. Penjagaan dilakukan secara konsisten hingga mereka terbiasa dengan cara itu. Kendatipun kesadaran anak-anak belum stabil, saya yakin bahwa konsistensi ini efektif meyakinkan para seminaris untuk memikirkan hak orang lain.

Selama menangani tugas ini, pengulangan sangatlah penting artinya. Peringatan dan penguatan perlu terus-menerus dilakukan. Mempertebal kesadaran anak-anak untuk melaku­kan hal baik dengan gembira tidaklah mudah. Di sini, ketahanan saya untuk menginformasikan hal yang sama berkali-kali diuji. Rasa jenuh, bosan, dan ketidaksabaran sering memancing keinginan untuk tidak melakukannya. Inilah saat kritis yang dapat memutuskan konsistensi. Hal yang dapat saya lakukan untuk keluar dari kondisi kritis ini adalah membuat refleksi diri. Sejauh pengalaman saya, inilah cara yang tepat untuk menyelamatkan konsistensi pendampingan.  Pembaharuan spirit saya perlu dilakukan untuk mengubah cara pandang dan memperkuat perilaku positif terhadap berbagai keterampilan dasar pribadi. Para seminaris perlu dilatih untuk memberi respek terhadap hal biasa-biasa dan sederhana. Saya yakin, hal ini membuat karakter anak-anak lebih berkualitas.

 

Pembelajaran pada waktu dan tempat kejadian

Selama mendampingi seminaris menjalani kehidupan asrama, saya biasa menerapkan “pembelajaran pada waktu dan tempat kejadian”. Cara ini saya diterapkan saat seminaris melakukan kesalahan. Ketika anak-anak memboroskan air saat mandi, di situlah saya melakukan evaluasi. Demikianpun saat mereka tidak bekerja secara tuntas, evaluasi dan perbaikan saya berikan pada waktu dan tempat kejadian. Hemat saya, cara ini akan meninggalkan efek yang kuat dalam pikiran dan hati mereka. Menunda saat pembelajaran dan memindahkan tempat evaluasi dan refleksi dapat memperlemah keseriusan anak untuk memahami masalah dan akibat yang ditimbulkannya.

Dalam jangka pendek, para seminaris dapat menerimanya sebagai pembelajaran yang dalam menata kehidupan bersama di asrama. Efeknya mungkin bertahan sesaat. Namun, saya yakin, jika konsistensi keteladanan dan pengulangan yang konkret terus berlangsung, cara pandang dan perilaku positif para seminaris akan menetap.  

Untuk semua itu, sejauh pengalaman hidup bersama seminaris, komitmen untuk mengolah hal-hal biasa dan sederhana secara konsisten merupakan keharusan. Butuh keterlibatan yang lebih untuk membuat hal-hal biasa dan sederhana dalam hidup berasrama menjadi luar biasa dalam diri para seminaris (Rm. Alex Dae, Pr)

Tio Killa

KESEMPATAN JADI KESEMPITAN

Waktu sangat dibutuhkan. Dalam masa Prapaskah ini waktu menjadi sangat pen­ting. Waktu yang dimanfaatkan dengan ba­ik dapat membawa dampak positif bagi seminaris. Namun, bagaimana jika waktu yang ada malah disalahgunakan?

Masa Prapaskah tiba. Seminaris harus me­la­kukan segala sesua­tu da­lam keadaan Silen­tium.

Bapak Asra­ma meng­anjurkan pada kami un­tuk melakukan Kerja Pu­asa dengan sungguh-sungguh. Bapa Asrama juga menyuruh kami mengguna­kan waktu de­ngan sebaik mungkin.

Ia menyerahkan tang­gung jawab mengurus peker­ja pada seksi Pe­ker­jaan Umum (PU) untuk berkeliling meng­awasi dan memastikan semua seminaris bekerja di tempat yang sudah di­bagikan oleh Frater.

Jika seminaris keda­patan tidak bekerja atau bekerja dengan tidak se­rius, maka kelas semi­na­ris tersebut akan diberi teguran. Jika kesalahan yang sama terus diu­lang­i, maka kelas yang bersangkutan akan dibe­ri sanksi.

Kelasku, VII C men­dapat lokasi pekerjaan di toilet. Toilet dipenuhi oleh lumut hitam yang tumbuh di celah-celah ke­ramik. Ka­mi pun me­lakukan pekerjaan se­ca­ra hati-hati dan senang karena lewat tugas ini orang-orang dapat me­ma­kai toilet yang bersih dan wangi dari hasil keringat kami.

Waktu berjalan sa­ngat cepat. Tanpa sadar kami pun hampir se­le­sai. Ka­re­na merasa bo­san kami mengubah to­i­let menja­di arena selan­car.

Kami bermain selun­curan dan kejar-kejaran di toilet. Tiba-tiba saja “Paak­kkkk!” Kami se­mu­­a kaget. Temanku Plato telah terti­dur di­lantai toilet beser­ta busa bertebaran di pa­kai­an­nya. “Hahahaahaha ka­sian ngeri laa Plato ni!” suara tawa bergemuruh di sekeliling toilet.

Setelah Plato terge­lin­cir, kami membersihkan kembali Toilet yang ter­sisa. Kami lalu member­sih­kan lantai toilet dan mem­bereskan peralatan kerja yang belum tertata. Tak lupa kami meng­go­sok kepala Plato dengan minyak dan mengurut­nya agar badannya tidak sakit.

Tingggg, tingg, ting­ggg, tinggg!  Lonceng ber­bunyi tanda waktu ker­ja berakhir. Aku dan teman-teman terkejut. Ka­­mi panik karena pe­kerjaan kami belum se­lesai maksimal dan ba­nyak seminaris sudah da­tang ke kamar mandi untuk mandi.

Mereka terkejut ka­re­na kami belum selesai bekerja. Dengan  terpak­sa mereka mandi di ka­mar mandi luar. Seksi PU yang melihat kami masih bekerja langsung memarahi kami dan mem­berikan kami san­k­si.

Dari peristiwa terse­but, kelas kami sadar bah­wa waktu yang ada harus dimanfaatkan de­ngan baik. Jika waktu disalahgunakan, tentu hal ini akan berimbas pada kita dan orang di sekitar kita. Kerja tidak selesai, atau tidak maksimal. Kesempatan menjadi kesempitan

Aku dan teman-teman belajar bahwa kita harus melakukan sesuatu sesu­ai dengan porsinya, sesuai waktu dan kesempatannya.

Tio Killa

Siswa kelas VII SMP Seminari Mataloko

Pier2

TRAGEDI MENGERIKAN

“Farrel, cepat siapkan barang-barangmu, kita mau berpiknik di pantai,” ujar ibuku. “Iya bu,” jawabku sambil mengemasi barang-barangku ke dalam ransel. Setelah itu kami me­nyan­tap sara­pan pagi bersama. “Makan yang banyak Farrel, tour kita hari ini jauh sekali,” perintah ayahku.

Setelah sarapan ka­mi menuju mobil sambil menenteng tas untuk melakukan per­ja­lanan ke pantai.  Tiba  di tem­pat tujuan kami bergegas menuju ke pos un­tuk membeli karcis ma­suk. Kami pun menuju ke pantai.

Hatiku bergejolak. Deburan ombak me­mang­gilku untuk menik­mati segarnya air laut. Aku tergerak untuk segera ber­gan­ti pakaian renang yang sudah kubawa.

“Ibu, aku berenang duluan yahhh,” teriakku sambil berlari menuju air laut.

 “Jangan Farrel, tung­gu sama ayah du­lu,” perintah ibu dengan tegas.

 Namun aku tak meng­­hiraukan perkataan ibu lalu berenang di laut. Semakin lama aku berenang semakin ke tengah dan semakin ke da­lam.

Tak lama kemu­dian aku men­dengar te­riakan ayah­ku dari ping­gir laut sambil berlari   lalu be­renang ke arahku. “Farrel, awassss ada om­bak besar dari sana!” Men­dengar teriakan ayah, aku tak dapat berbuat ba­nyak karena aku su­dah terlalu jauh dari daratan.

Tiba-tiba aku men­dengar suara keras “bummmmmm…,” bunyi gemuruh ombak ke­tika menghantam tu­buhku.

Dan suara terakhir dari ayah masih sempat ku­de­ngar sebelum tu­buh­ku membentur te­rum­bu ka­rang dan tak sadarkan diri lagi. “ Farrel!!!,” teriak ayah dengan nada panik dan khawatir.

Tidak lama aku merasa sudah berada di tempat baru dan asing yang tak kukenali sama sekali.

Tiba-tiba datang seorang kakek tua ber­jubah besar, bermah­ko­takan emas, dan se­kujur tubuhnya berkilauan. “Hei anak, kenapa kamu ada di sini?” tanyanya kepadaku.

Dengan ketakutan aku menceritakan sepintas pe­ristiwa yang terjadi padaku tadi. “O begitu rupanya. Seka­rang balik­lah ke dunia­mu karena kau belum pantas berada di sini,” kata kakek ter­sebut. Lalu sayup-sayup aku men­­dengar suara ayah­ku.

“Farrel, bangun Farrel!” Aku pun mendengar ta­ngisan ibuku. Pelan-pe­lan kubuka mataku, dan kini kudapati aku ter­ba­ring dalam sebuah ru­angan berwarna putih. Selang oksi­gen tertancap di hidungku.

“Syukurlah kamu sudah sadar. Ya Tuhan, terima kasih,” ucap ibuku dengan penuh syu­kur.

 Kurang lebih dua minggu aku harus di­ra­wat secara intensif. Se­karang tubuhku sudah sehat kembali dan aku dapat beraktivitas seperti sedia kala. Tidak lupa setiap hari aku selalu ber­syu­kur kepada Tuhan atas mukjizat yang telah terjadi pada diriku.

Tuhan sangat baik.

Pier Gadjo

Siswa kelas VII SMPS Seminari Mataloko

Gambar Utama

TERJUN KE TENGAH UMAT

Kegiatan we­ek­­end berperan penting bagi para seminaris dalam mem­ba­ngun relasi dengan umat. Dengan week­end, seminaris mampu menyalurkan ke­sak­sian hidup yang baik bagi semua ka­la­ngan di dunia luar.

SMPS Seminari St. Yoh. Berkhmans meng­a­da­kan kunjungan pas­to­ral ke Paroki St. Fran­sis­kus dan Sta. Klara As­s­­isi, Ai­­me­re, Ngada, Jumat-Minggu (17-19/2/2023). Kun­ju­ngan pas­to­ral ini di­ikuti oleh se­mua seminaris kelas VIII dan ke­las IX serta beberapa da­ri kelas VII.

Mengapa Aimere?

Paroki St. Fransiskus dan Sta. Klara Aimere di­pilih karena letaknya dekat, sekitar 46 kilo­me­ter dari Mataloko. Lo­kasi ini dinilai se­ba­gai tempat yang cocok un­tuk weekend tahun ini.

Sela­in itu, Paroki Aimere di­pi­lih karena pontesial sebagai tempat promosi panggilan. “Harapannya, dengan kegiatan weekend ini, jum­­­lah seminaris yang ber­­asal dari Aimere dapat ber­­tambah,” ucap RD. Dino Amawawa, se­laku pre­fek SMP yang mendampingi seminaris.

Selain itu, kesediaan umat Paroki Aimere untuk menerima para seminaris membuat kegiatan weekend ini menjadi lan­car.

Antusiasme umat memang sangat besar.  Ke­ti­ka diminta sebagai tu­an ru­mah kunjungan pas­toral bagi semi­na­ris, RD. Vian Sedu, selaku Pas­tor Paroki Aimere se­gera me­nerima permo­hon­an tersebut yang di­se­tujui umat separoki.

Persiapan-persiapan

Kegiatan weekend ini tentunya membutuhkan ba­nyak persiapan. Seluruh persiapan ini paling banyak ber­a­sal dari bidang liturgi, se­perti koor, katekese, dan pelayan altar.

“Persiapan yang ba­nyak menyita waktu ada­lah katekese. Sebab, melalui katekese, umat akan menilai bagaimana hidup rohani para se­mi­na­ris,” ucap Dino. Seminaris per­­­lu dilatih agar mam­pu membawakan kate­ke­se dengan baik. Hal itu bukan pekerjaan mu­dah, apalagi untuk anak usia SMP.

Selain persiapan da­lam bidang liturgi, pi­hak Seminari juga telah menyediakan pentasan akustik. Umat juga telah menyiapkan agenda un­tuk mengisi waktu para seminaris di Paroki dan KUB. Di KUB, umat meng­hibur dan membesarkan hati para semi­na­ris.

Selain itu, siswa-siswa SMPN 1 Aimere juga menyiap­kan acara sendiri, seperti akus­tik dan per­tun­juk­kan mo­nolog. Mereka juga mementaskan pantomim.

Tanggapan Umat

Umat Paroki St. Fran­sis­kus dan Sta. Klara da­ri Assisi sangat senang dengan kunjungan anak Seminari Mataloko. Me­re­ka merasa puas atas se­mua yang telah diper­sem­bahkan oleh para semi­na­ris kepada mereka.

Mereka merasa semi­na­ris memiliki po­tensi yang patut dikembangkan. Ke­mampuan-kemampu­an tersebut antara lain bernyanyi, public speak­ing, bermain alat musik, dan memberikan kateke­se.

Kelebihan lain para seminaris juga terletak pada kemandirian yang dihayati secara nyata di tengah umat, misalnya katekese, liturgi, berinisitatif terlibat dalam pekerjaan-perkerjaan di rumah seperti membersihkan rumah, mencuci alat-alat makan, pada waktunya menyiapkan diri, dan lain-lain.

Hal-hal sederhana ini adalah bagian dari kesaksian hi­dup para se­minaris yang dijalankan dengan sukacita.

Gio Demung

Siswa kelas IX, SMP Seminari Mataloko

Osis

BERBAGI PENGALAMAN OSIS

SMP Negeri 3 Boawae mengadakan kunjungan OSIS ke SMP St. Yoh. Berkhmans Mataloko, Sabtu (11/­02/­2023). Ke­giatan ini bertujuan untuk meningkatkan rasa persau­da­raan antarsekolah. Diharap­kan ada kerja sama di masa mendatang.

 Kegiatan ini dilak­sanakan atas permo­hon­an Kepala SMP Negeri 3 Boawae ke­pada Ke­pala SMP Se­minari St. Yoh. Berk­hmans Mata­lo­ko. Ini dimaksudkan untuk meningkatkan ke­mampuan para sis­wa-siswi dalam ber­or­gani­sasi. Kegiatan ini di­pimpin oleh ibu Erme­linda Muku, S.Pd dan Pak Darius Yo­­ha­nes Mau, S.Pd. Keduanya adalah guru pada SMPS Seminari.

Kunjungan  seko­lah ini, me­­­­­­­libatkan ke­pala sekolah, para guru, serta staf OSIS dari kedua sekolah. Dalam acara itu, se­tiap staf OSIS ber­ba­gi pengalaman sepu­tar cara mengatasi ma­salah yang terjadi da­lam OSIS, bagaimana membuat pro­gram kerja, serta bagaimana me­nambah pe­­nge­ta­­huan da­lam me­mim­pin OSIS.

Seusai sa­­­rapan, staf OSIS SMP Semi­nari me­nyi­apkan per­alatan yang dibutuhkan un­tuk menyambut ke­da­tangan rombongan OSIS SMP Negeri 3 Boawae. Mereka ti­ba pada pukul 10.00 WITA. Rombong­an langsung diarahkan me­nuju Aula SMP.

Acara dimulai de­ngan sam­­­­­butan da­­­­­­­­­ri Rm. Kris­to Betu se­laku Kepala SMPS Se­minari Matalo­ko. Kegiatan dilanjut­kan dengan sesi tanya ja­wab.

Para siswa/i SMP Negeri 3 Boawae ber­­ta­nya seputar per­be­daan OSIS SMP Seminari de­ngan se­ko­­­­­lah luar, pro­gram kerja OSIS, serta ke­giatan yang me­ning­katkan minat, ser­­ta ba­kat seluruh warga OSIS.

Kunjungan OSIS ini bertujuan agar para staf OSIS dapat saling be­lajar me­ngem­­­bang­­kan ki­ner­ja OSIS pada masa men­­datang. Kegiatan ini diselenggarakan atas ker­­ja sama ke­dua se­kolah.

Dalam acara ini,  OSIS SMP Seminari St. Yoh. Berkhmans Mata­loko memper­ke­­­nalkan di­ri  seba­gai sekolah dengan praktik baik kepada dunia luar. Kegiatan ini juga mem­­­pertegas fungsi OSIS se­­bagai orga­ni­sasi siswa in­tra se­ko­lah, wa­­­dah yang bisa me­­nampung aspirasi dan ke­­­mam­puan para sis­wa/i untuk berkembang.  Juga jadi ke­sempatan saling ber­bagai peng­alaman.

 “Hal yang mem­be­­­dakan SMP Semi­nari dengan sekolah luar, yakni kami bisa be­kerja di dua wila­yah, sekolah dan as­rama. Ini pengalaman yang kaya,” ungkap Yano Jo­ka selaku ketua OSIS SMP Semi­nari.

Kegiatan ini ber­lanjut dengan mi­num bersama. Para seminaris memanfaatkannya untuk  bersosialisasi de­ngan siswa/i SMP Ne­geri 3 Boawae. Acara ini diakhiri doa bersama di pekuburan Kevikepan Bajawa, yang berlokasi di belakang kapela SMA Semi­nari.

Kerja sama

Tanpa kerja sama, OSIS tidak akan ber­ja­lan. Hanya melalui kerja sama OSIS dapat ber­ja­lan dengan ba­ik. De­ngan ke­giat­an kun­jung­an ini, para sis­wa/i mam­pu sa­ling bertukar pikir­an untuk mewujud­kan OSIS yang ber­mutu dan menjadi wadah seluruh warga OSIS. Itulah salah satu wujud kerja sama.

Kerja sama memung­kinkan kita saling be­lajar. Apa yang menjadi kekurangan sekolah yang satu, dilengkapi oleh kelebihan sekolah lain. Untuk itu diper­lu­kan keterbukaan untuk sa­ling belajar.

Kunjungan ini meru­pakan ungkapan kedua belah pihak untuk ter­buka dan belajar satu sa­ma lain. Harapannya, ker­ja sama seperti ini te­rus berlanjut, dan Semi­nari melakukan kun­jung­an balasan.


Nino Ngari 

Siswa kelas IX, SMP Seminari Mataloko