Kurikulum Merdeka di Seminari

Ermelinda Muku, S. Pd., Guru IPA di SMPS Seminari, Guru Penggerak Angkatan VII, Ngada
Kurikulum Merdeka memberi ruang lebih luas bagi sekolah untuk menyesuaikan pembelajaran dengan karakter, visi, dan misinya. Untuk sekolah Katolik seperti Seminari St. Yoh. Berkhmans Todabelu Mataloko, ini menjadi peluang strategis untuk mengintegrasikan nilai-nilai spiritual, disiplin, dan intelektual yang khas Seminari ke dalam kegiatan belajar-mengajar.
Seminari bukan sekadar institusi pendidikan biasa, melainkan merupakan tempat persemaian atau pembinaan para calon imam, yang menekankan dimensi intelektual, spiritual, afektif, dan moral secara terpadu. Para siswa atau seminaris, dididik tidak hanya menjadi cerdas secara akademis, tetapi juga memiliki kedalaman iman, kedisiplinan dalam hidup rohani, dan kepekaan sosial. Karena itu, penerapan Kurikulum Merdeka di lingkungan Seminari menuntut pendekatan yang kontekstual dengan tetap berpijak pada arah formasi Gereja yang sudah diaplikasikan dalam aturan hidup di Seminari.
Bagi penulis, dalam konteks pendidikan, secara khusus di Seminari Mataloko, terdapat tiga peluang diterapkannya Kurikulum Merdeka. Pertama, integrasi nilai-nilai agama Katolik ke dalam Profil Pelajar Pancasila. Nilai-nilai seperti iman, pelayanan, semangat kebangsaan, gotong royong, dan integritas sejalan dengan karakter yang dibangun dalam Profil Pelajar Pancasila. Seminari Mataloko dapat mengintegrasikan kegiatan pastoral, liturgi, pelayanan sosial, dan rohani ke dalam proyek lintas disiplin dan pembelajaran yang berbasis pengalaman.
Kedua, pembelajaran yang kontekstual, fleksibel. Kurikulum Merdeka memungkinkan Seminari Mataloko merancang kurikulum yang mendukung program formasi, seperti pelajaran Kitab Suci, Liturgi, dan Sejarah Gereja. Hal ini juga memungkinkan pembelajaran berbasis refleksi, retret, dan aksi nyata di masyarakat.
Ketiga, penguatan pendidikan holistik. Dengan adanya pembelajaran berdiferensiasi, guru dapat memperhatikan perkembangan individu-seminaris, baik dari segi intelektual maupun spiritual. Hal ini sejalan dengan ajaran Gereja dalam Gravissimum Educationis (Deklarasi Konsili Vatikan II tentang Pendidikan Kristen) yang menegaskan bahwa pendidikan harus mengembangkan seluruh dimensi manusia. Pendidikan bukan hanya soal mentransfer ilmu pengetahuan, tetapi juga membina karakter dan spiritualitas sesuai dengan ajaran Kristus.
Selain itu, ditegaskan juga dalam dokumen ini tentang hak asasi dan peran guru dalam pendidikan yang sejalan dengan pembelajaran berdiferensiasi. Melalui pembelajaran berdiferensiasi, guru atau formator dapat melihat perkembangan motivasi siswa yang tidak hanya sebagai siswa pada umumnya, tetapi juga sebagai siswa Seminari yang motivasinya harus berkembang secara dinamis.
Tiga peluang ini memberi tantangan tersendiri bagi guru dan pembina sebagai formator di Seminari. Guru perlu dilatih secara menyeluruh untuk merancang pembelajaran yang tidak hanya berorientasi pada bidang akademik, tetapi juga pada karakter dan spiritualitas. Penilaian terhadap pertumbuhan pribadi siswa pun perlu menggunakan pendekatan yang lebih reflektif dan kualitatif.
Secara umum, Kurikulum Merdeka sangatlah relevan untuk diterapkan di Seminari, khususnya di Seminari Mataloko. Dengan pengelolaan yang tepat, kurikulum ini dapat menjadi sarana pembinaan yang lebih manusiawi, utuh, dan kontekstual, sekaligus mendukung misi Gereja dalam mencetak calon pemimpin rohani yang cerdas, rendah hati, dan siap melayani.