Tio Killa

KESEMPATAN JADI KESEMPITAN

Waktu sangat dibutuhkan. Dalam masa Prapaskah ini waktu menjadi sangat pen­ting. Waktu yang dimanfaatkan dengan ba­ik dapat membawa dampak positif bagi seminaris. Namun, bagaimana jika waktu yang ada malah disalahgunakan?

Masa Prapaskah tiba. Seminaris harus me­la­kukan segala sesua­tu da­lam keadaan Silen­tium.

Bapak Asra­ma meng­anjurkan pada kami un­tuk melakukan Kerja Pu­asa dengan sungguh-sungguh. Bapa Asrama juga menyuruh kami mengguna­kan waktu de­ngan sebaik mungkin.

Ia menyerahkan tang­gung jawab mengurus peker­ja pada seksi Pe­ker­jaan Umum (PU) untuk berkeliling meng­awasi dan memastikan semua seminaris bekerja di tempat yang sudah di­bagikan oleh Frater.

Jika seminaris keda­patan tidak bekerja atau bekerja dengan tidak se­rius, maka kelas semi­na­ris tersebut akan diberi teguran. Jika kesalahan yang sama terus diu­lang­i, maka kelas yang bersangkutan akan dibe­ri sanksi.

Kelasku, VII C men­dapat lokasi pekerjaan di toilet. Toilet dipenuhi oleh lumut hitam yang tumbuh di celah-celah ke­ramik. Ka­mi pun me­lakukan pekerjaan se­ca­ra hati-hati dan senang karena lewat tugas ini orang-orang dapat me­ma­kai toilet yang bersih dan wangi dari hasil keringat kami.

Waktu berjalan sa­ngat cepat. Tanpa sadar kami pun hampir se­le­sai. Ka­re­na merasa bo­san kami mengubah to­i­let menja­di arena selan­car.

Kami bermain selun­curan dan kejar-kejaran di toilet. Tiba-tiba saja “Paak­kkkk!” Kami se­mu­­a kaget. Temanku Plato telah terti­dur di­lantai toilet beser­ta busa bertebaran di pa­kai­an­nya. “Hahahaahaha ka­sian ngeri laa Plato ni!” suara tawa bergemuruh di sekeliling toilet.

Setelah Plato terge­lin­cir, kami membersihkan kembali Toilet yang ter­sisa. Kami lalu member­sih­kan lantai toilet dan mem­bereskan peralatan kerja yang belum tertata. Tak lupa kami meng­go­sok kepala Plato dengan minyak dan mengurut­nya agar badannya tidak sakit.

Tingggg, tingg, ting­ggg, tinggg!  Lonceng ber­bunyi tanda waktu ker­ja berakhir. Aku dan teman-teman terkejut. Ka­­mi panik karena pe­kerjaan kami belum se­lesai maksimal dan ba­nyak seminaris sudah da­tang ke kamar mandi untuk mandi.

Mereka terkejut ka­re­na kami belum selesai bekerja. Dengan  terpak­sa mereka mandi di ka­mar mandi luar. Seksi PU yang melihat kami masih bekerja langsung memarahi kami dan mem­berikan kami san­k­si.

Dari peristiwa terse­but, kelas kami sadar bah­wa waktu yang ada harus dimanfaatkan de­ngan baik. Jika waktu disalahgunakan, tentu hal ini akan berimbas pada kita dan orang di sekitar kita. Kerja tidak selesai, atau tidak maksimal. Kesempatan menjadi kesempitan

Aku dan teman-teman belajar bahwa kita harus melakukan sesuatu sesu­ai dengan porsinya, sesuai waktu dan kesempatannya.

Tio Killa

Siswa kelas VII SMP Seminari Mataloko

Pier2

TRAGEDI MENGERIKAN

“Farrel, cepat siapkan barang-barangmu, kita mau berpiknik di pantai,” ujar ibuku. “Iya bu,” jawabku sambil mengemasi barang-barangku ke dalam ransel. Setelah itu kami me­nyan­tap sara­pan pagi bersama. “Makan yang banyak Farrel, tour kita hari ini jauh sekali,” perintah ayahku.

Setelah sarapan ka­mi menuju mobil sambil menenteng tas untuk melakukan per­ja­lanan ke pantai.  Tiba  di tem­pat tujuan kami bergegas menuju ke pos un­tuk membeli karcis ma­suk. Kami pun menuju ke pantai.

Hatiku bergejolak. Deburan ombak me­mang­gilku untuk menik­mati segarnya air laut. Aku tergerak untuk segera ber­gan­ti pakaian renang yang sudah kubawa.

“Ibu, aku berenang duluan yahhh,” teriakku sambil berlari menuju air laut.

 “Jangan Farrel, tung­gu sama ayah du­lu,” perintah ibu dengan tegas.

 Namun aku tak meng­­hiraukan perkataan ibu lalu berenang di laut. Semakin lama aku berenang semakin ke tengah dan semakin ke da­lam.

Tak lama kemu­dian aku men­dengar te­riakan ayah­ku dari ping­gir laut sambil berlari   lalu be­renang ke arahku. “Farrel, awassss ada om­bak besar dari sana!” Men­dengar teriakan ayah, aku tak dapat berbuat ba­nyak karena aku su­dah terlalu jauh dari daratan.

Tiba-tiba aku men­dengar suara keras “bummmmmm…,” bunyi gemuruh ombak ke­tika menghantam tu­buhku.

Dan suara terakhir dari ayah masih sempat ku­de­ngar sebelum tu­buh­ku membentur te­rum­bu ka­rang dan tak sadarkan diri lagi. “ Farrel!!!,” teriak ayah dengan nada panik dan khawatir.

Tidak lama aku merasa sudah berada di tempat baru dan asing yang tak kukenali sama sekali.

Tiba-tiba datang seorang kakek tua ber­jubah besar, bermah­ko­takan emas, dan se­kujur tubuhnya berkilauan. “Hei anak, kenapa kamu ada di sini?” tanyanya kepadaku.

Dengan ketakutan aku menceritakan sepintas pe­ristiwa yang terjadi padaku tadi. “O begitu rupanya. Seka­rang balik­lah ke dunia­mu karena kau belum pantas berada di sini,” kata kakek ter­sebut. Lalu sayup-sayup aku men­­dengar suara ayah­ku.

“Farrel, bangun Farrel!” Aku pun mendengar ta­ngisan ibuku. Pelan-pe­lan kubuka mataku, dan kini kudapati aku ter­ba­ring dalam sebuah ru­angan berwarna putih. Selang oksi­gen tertancap di hidungku.

“Syukurlah kamu sudah sadar. Ya Tuhan, terima kasih,” ucap ibuku dengan penuh syu­kur.

 Kurang lebih dua minggu aku harus di­ra­wat secara intensif. Se­karang tubuhku sudah sehat kembali dan aku dapat beraktivitas seperti sedia kala. Tidak lupa setiap hari aku selalu ber­syu­kur kepada Tuhan atas mukjizat yang telah terjadi pada diriku.

Tuhan sangat baik.

Pier Gadjo

Siswa kelas VII SMPS Seminari Mataloko

Osis

BERBAGI PENGALAMAN OSIS

SMP Negeri 3 Boawae mengadakan kunjungan OSIS ke SMP St. Yoh. Berkhmans Mataloko, Sabtu (11/­02/­2023). Ke­giatan ini bertujuan untuk meningkatkan rasa persau­da­raan antarsekolah. Diharap­kan ada kerja sama di masa mendatang.

 Kegiatan ini dilak­sanakan atas permo­hon­an Kepala SMP Negeri 3 Boawae ke­pada Ke­pala SMP Se­minari St. Yoh. Berk­hmans Mata­lo­ko. Ini dimaksudkan untuk meningkatkan ke­mampuan para sis­wa-siswi dalam ber­or­gani­sasi. Kegiatan ini di­pimpin oleh ibu Erme­linda Muku, S.Pd dan Pak Darius Yo­­ha­nes Mau, S.Pd. Keduanya adalah guru pada SMPS Seminari.

Kunjungan  seko­lah ini, me­­­­­­­libatkan ke­pala sekolah, para guru, serta staf OSIS dari kedua sekolah. Dalam acara itu, se­tiap staf OSIS ber­ba­gi pengalaman sepu­tar cara mengatasi ma­salah yang terjadi da­lam OSIS, bagaimana membuat pro­gram kerja, serta bagaimana me­nambah pe­­nge­ta­­huan da­lam me­mim­pin OSIS.

Seusai sa­­­rapan, staf OSIS SMP Semi­nari me­nyi­apkan per­alatan yang dibutuhkan un­tuk menyambut ke­da­tangan rombongan OSIS SMP Negeri 3 Boawae. Mereka ti­ba pada pukul 10.00 WITA. Rombong­an langsung diarahkan me­nuju Aula SMP.

Acara dimulai de­ngan sam­­­­­butan da­­­­­­­­­ri Rm. Kris­to Betu se­laku Kepala SMPS Se­minari Matalo­ko. Kegiatan dilanjut­kan dengan sesi tanya ja­wab.

Para siswa/i SMP Negeri 3 Boawae ber­­ta­nya seputar per­be­daan OSIS SMP Seminari de­ngan se­ko­­­­­lah luar, pro­gram kerja OSIS, serta ke­giatan yang me­ning­katkan minat, ser­­ta ba­kat seluruh warga OSIS.

Kunjungan OSIS ini bertujuan agar para staf OSIS dapat saling be­lajar me­ngem­­­bang­­kan ki­ner­ja OSIS pada masa men­­datang. Kegiatan ini diselenggarakan atas ker­­ja sama ke­dua se­kolah.

Dalam acara ini,  OSIS SMP Seminari St. Yoh. Berkhmans Mata­loko memper­ke­­­nalkan di­ri  seba­gai sekolah dengan praktik baik kepada dunia luar. Kegiatan ini juga mem­­­pertegas fungsi OSIS se­­bagai orga­ni­sasi siswa in­tra se­ko­lah, wa­­­dah yang bisa me­­nampung aspirasi dan ke­­­mam­puan para sis­wa/i untuk berkembang.  Juga jadi ke­sempatan saling ber­bagai peng­alaman.

 “Hal yang mem­be­­­dakan SMP Semi­nari dengan sekolah luar, yakni kami bisa be­kerja di dua wila­yah, sekolah dan as­rama. Ini pengalaman yang kaya,” ungkap Yano Jo­ka selaku ketua OSIS SMP Semi­nari.

Kegiatan ini ber­lanjut dengan mi­num bersama. Para seminaris memanfaatkannya untuk  bersosialisasi de­ngan siswa/i SMP Ne­geri 3 Boawae. Acara ini diakhiri doa bersama di pekuburan Kevikepan Bajawa, yang berlokasi di belakang kapela SMA Semi­nari.

Kerja sama

Tanpa kerja sama, OSIS tidak akan ber­ja­lan. Hanya melalui kerja sama OSIS dapat ber­ja­lan dengan ba­ik. De­ngan ke­giat­an kun­jung­an ini, para sis­wa/i mam­pu sa­ling bertukar pikir­an untuk mewujud­kan OSIS yang ber­mutu dan menjadi wadah seluruh warga OSIS. Itulah salah satu wujud kerja sama.

Kerja sama memung­kinkan kita saling be­lajar. Apa yang menjadi kekurangan sekolah yang satu, dilengkapi oleh kelebihan sekolah lain. Untuk itu diper­lu­kan keterbukaan untuk sa­ling belajar.

Kunjungan ini meru­pakan ungkapan kedua belah pihak untuk ter­buka dan belajar satu sa­ma lain. Harapannya, ker­ja sama seperti ini te­rus berlanjut, dan Semi­nari melakukan kun­jung­an balasan.


Nino Ngari 

Siswa kelas IX, SMP Seminari Mataloko




Pengasuhan Digital bagi Seminaris Diaspora

Sejak dipulangkan ke rumah masing-masing pada akhir Maret lalu, praktisnya sebagian besar proses formasi anak-anak Seminari Santu Yohanes Berkhmans Todabelu Mataloko berlangsung melalui metode Dalam Jaringan (Daring).

Pengasuhan digital dari orang tua, pihak seminari, para pastor dan para mitra menjadi sangat penting dan dibutuhkan. Dalam rimba raya jaringan internet, para seminaris diaspora ini perlu didampingi dan diasuh.

Dialog aktif antara anak dan orang tua, para pastor dan para mitra menjadi kunci keberhasilan pengasuhan digital untuk para seminaris diaspora. Tingkat keseringan berkomunikasi antara kedua pihak ini harus berbanding lurus dengan banyaknya waktu yang digunakan anak untuk berselancar di dunia maya.

Ketika durasi “berada di depan layar” kian meningkat, partisipasi aktif orang tua, para pastor dan para mitra dalam membangun komunikasi dengan anak harus ditingkatkan pula.

Mengapa Penting?

Pertama, situasi sekarang memaksa anak-anak seminari melakukan banyak aktivitas Daring, terutama untuk mengikuti Kegiatan Belajar Mengajar (KBM). Selain itu, interaksi untuk proses formasi sebagai calon imam juga terjadi melalui media-media Daring.  Kedua tuntutan ini menyebabkan durasi waktu untuk cemplung ke dalam dunia digital semakin tinggi.

Kedua, jagat maya merupakan jagat yang sama sekali asing bagi sebagian besar anak-anak seminari. Dalam situasi normal, mereka dilarang menggunakan HP dan tidak memiliki akses ke dalam dunia maya dengan segala kemungkinan-kemungkinannya yang tidak terbatas. Dalam era kenormalan baru ini, mereka diwajibkan memiliki HP dan keahlian berselancar di dunia maya untuk melayani kepentingan formasi.

Ketiga, internet selalu berwajah ganda. Di satu sisi, akses ke dalam internet meningkatkan literasi dan wawasan anak. Di sisi lain, dalam internet terdapat sejumlah tantangan yang mengancam perlindungan dan hak anak seperti perundungan digital dan pencurian data pribadi (KOMPAS, 21/06/2020). Dampingan orang tua, para pastor dan para mitra mutlak perlu untuk meminimalisasi kejahatan siber dalam berbagai levelnya.

Keempat, alasan terkait etika digital. Walaupun memiliki banyak kesamaan, etika digital dan etika dunia nyata tetap memiliki perbedaan. Dalam dunia digital, segala sesuatu pasti meninggalkan jejak. Selain itu, semuanya serba terbuka. Oleh karena itu, anak-anak perlu mendalami etika digital dan selalu diingatkan untuk mematuhi etika-etika tersebut.

Kelima, anak-anak perlu dilindungi dari pelbagai variasi bahaya informasi-informasi palsu. Semua orang memiliki akses ke dalam internet dan oleh karena itu berbagai jenis informasi, entah itu benar atau salah, entah itu baik atau buruk, berseliweran dalam berbagai platform media-media Daring. Kontrol orang tua, para pastor, dan para mitra membantu anak-anak dalam proses penyaringan dan internalisasi informasi-informasi tersebut.

Peran Sentral Orang tua, Para Pastor dan Para Mitra

Orang tua, para pastor dan mitra memiliki peran penting dalam pengasuhan digital bagi para seminaris diaspora. Peran tersebut dapat dijalankan melalui kehadiran dan dialog aktif. Spritualitas kehadiran dan dialog aktif menjadi kunci keberhasilan proses-proses pengasuhan digital. Oleh karena itu, orang tua, para pastor dan para mitra wajib memberikan teladan dan panutan.

KOMPAS (20/06/2020) meringkas tiga lapisan yang harus dimiliki sebuah keluarga ketika (anak-anaknya) harus mencemplungkan diri ke dalam dunia digital.

Lapisan pertama adalah kesadaran akan pentingnya keselamatan, keamanan, dan privasi. Lapisan kedua adalah literasi media agar bijak menyikapi informasi palsu serta menilai kebenaran konten. Lapisan ketiga menyangkut kesadaran tentang hak dan tanggung jawab.

Orang tua, para pastor, dan para mitra memiliki kewajiban dan tanggung jawab membangun ketiga lapisan kesadaran tersebut. Perlu diakui, usaha itu tidak gampang. Oleh karena itu pada bagian berikut direkomendasikan hal-hal praktis yang perlu dibuat.

Langkah-langkah Praktis Pengasuhan

Pertama, kerja dan belajar dalam dan melalui media daring harus dijadwalkan. Orang tua dan para mitra harus melibatkan diri dalam penyusunan jadwal belajar dan kerja anak. Keterlibatan itu juga harus sampai pada tahap pengawasan, apakah jadwal itu ditaati atau tidak.

Kedua, tingkatkan komunikasi langsung dengan anak. Komunikasi itu harus dari muka ke muka dan dari hati ke hati, bukan melalui perantaraan media-media sosial.

Ketiga, ingatkan anak akan kerawanan dan bahaya yang ada di ruang virtual. Banyak bahaya yang bisa saja timbul, misalnya penipuan, kekerasan verbal, pencurian data pribadi, dan perundungan digital.

Keempat, usahakan sebisa mungkin agar menemani anak saat mereka sedang bekerja dan belajar melalui media-media Daring. Pada bagian ini, sekali lagi ditekankan pentingnya spiritualitas kehadiran bagi seorang anak.

Kelima, orang tua, para pastor, dan para mitra harus selalu mengingatkan anak akan pentingnya menjaga etika bermedia sosial. Etika itu misalnya, selalu menggunakan kata-kata yang sopan dan tidak saling memaki.

Keenam, sebagai pengasuh, tentu saja orang tua, para pastor, dan para mitra juga harus memiliki pengetahuan yang memadai tentang literasi teknologi digital. Oleh karena itu, mau tidak mau, orang tua juga harus mempelajari seluk beluk dunia digital dan segala tuntutan-tuntutannya.

Tommy Duang

Kamar Mandi, Memupuk Kemandirian dan Kebersamaan

Jurnalisme Siswa

Kamar Mandi, Memupuk

Kemandirian dan Kebersamaan

Kebersamaan dan kemandirian dapat manusia pupuk dalam berbagai aktivitas dan tempat, termasuk di kamar mandi.

SMP Seminari Ma­taloko mem­punyai Ka­m­ar mandi yang besar dan lebar sebab me­miliki siswa yang ba­nyak. Kamar mandi ini terletak  di  samping k­a­­­­­­­­­­­­­­mar lama Rm. A­lex­ander Dae Laba se­laku pe­­­­­­­mbina.  Rm ini bi­a­sanya mengurus air di ka­mar mandi. Ia me­latih kami untuk ber­hemat.

Di kamar mandi SMP, para seminaris me­laku­kan banyak kegi­at­an. Me­­­­­­reka  mencuci pakai­an, mandi, dan membagi ce­rita. Semua kegiatan itu, dilakukan pada wak­­tunya.   Me­­n­cu­ci pa­­­k­a­i­an juga ada wa­k­tu­nya, yakni setiap hari Rabu, Sabtu, dan Ming­gu. Hari-hari ini p­un dibagi lagi. Kelas VII setiap hari Rabu si­ang saat tidur siang, se­dang­kan hari Sabtu siang untuk kelas VIII dan kelas IX. Hari Minggu berlaku umum un­tuk  semua siswa SMP. Pada hari Minggu, bi­asanya men­cuci pa­kaian setelah studi pagi. Pada hari-ha­ri inilah para semi­naris berlatih man­diri dan me­­mupuk kebersa­maan atau tali persau­dara­an.

Pada hari Rabu siang dan Sabtu siang para seminaris harus mencuci dalam keadaan diam, sebab itulah wa­ktu he­ning (sillentium). Para se­mina­ris yang mencuci pa­kaian haruslah men­jaga kebersihan. Mereka di­la­rang bu­ang sam­­pah di­­ sem­ba­rang tem­pat, se­perti got-got se­bab dapat mengakibat­kan sa­­luran tersumbat se­hingga air akan melu­ap. Ge­nangan air dapat men­­jadi sarang jen­tik nya­muk dan me­nim­bulkan aroma yang tidak enak.

Pada saat mencuci pa­ra seminaris dilarang mem­­bawa sa­bun ke da­lam toilet. Apa lagi men­­­jatuhnya ke dalam kloset. Tindakan itu me­nyum­bat saluran kloset. Se­lesai men­­­­­­­­­cuci pa­ka­ian, para seminaris men­jemurnya di je­muran, di samping unit C. Jika je­muran pen­uh, para se­minaris dapat me­njemur pakaian di depan kamar tidur. Ka­mar jemur di­bagi dalam 3 tempat, yaitu di sa­mping unit C, di bela­kang aula, dan di sam­ping kamar yang lama.

Selain men­cuci pa­kai­an, ka­mar mandi juga menjadi te­mpat mandi. Para seminaris dilarang ribut saat mandi agar cepat selesai dan tidak memboroskan air. Na­mun, kebanyakan se­mi­naris me­langgarnya. Pa­da wa­k­tu itulah para seminaris membagikan peng­ala­ma­nnya.

Selain itu, pada saat ma­n­­di sem­inaris dila­rang mem­b­u­ang sa­mpah di sem­ba­rang te­mpat, khu­s­usnya dalam bak mandi. Se­minaris harus men­jaga ke­ber­sihan ka­mar man­di karena ka­mar ma­ndi adalah tem­pat  yang selalu di­kun­jung oleh se­mi­naris.

Kamar m­a­­ndi memi­liki 2 deret  bak be­­sar untuk ke­perluan cuci dan man­di para se­mi­na­ris. Para seminaris ju­ga mem­punyai ke­wajib­an un­tuk mem­bersihkan ka­­­­­­mar ma­­ndi dan toilet. Namun, bukan semua se­minaris me­m­bersih­kan­­nya. Ada kelompok yang diperca­yakan un­tuk mem­ber­sih­­kannya. Kelompok u­ta­­ma yang mem­ber­sih­kan kamar mandi ia­lah seksi toilet.  Me­reka mem­­ber­sih­kan­nya se­tiap hari Rabu dan Sab­tu se­telah bangun ti­dur. Ta­hap awal yang me­reka la­­kukan adalah me­nyi­ram lantai de­ngan a­ir, la­­lu me­nyikat lantai sam­­pai bersih. Semua pe­­­ker­j­a­­an ini se­lesai pu­kul 15.45. Sebagai­ma­na bia­sa, keadaan ka­mar wc dan ka­mar m­andi tam­­pak sangat ber­sih. Se­mua ini di­lakukan siswa di kamar man­­di se­cara bersama. Se­mi­naris gem­bira ka­re­na pe­ker­ja­an ini dila­ku­kan  ba­­gi ke­­pentingan ber­sa­­ma.

Rino Nanga

Kelas VIII A

GRATIA SUPPONIT NATURAM (2)

Cabang Meluas karena Akar Mendalam – Kilas Balik (3)

GRATIA SUPPONIT NATURAM (2)

Catatan Pendidikan ala Gymnasium

Di samping pengajaran, ditekankan sekali pembinaan watak. Oleh karena itu kurikulum tidak hanya mencantumkan mata pelajaran-mata pelajaran intelektual. Disediakan juga waktu dan peluang untuk berbagai kegiatan yang bertujuan untuk menanamkan dan menumbuhkan paham, nilai dan sikap hidup di dalam diri para siswa. Ada kegiatan untuk mengembangkan perasaan, merangsang imajinasi, memperlancar komunikasi, interaksi dan hubungan yang baik antar sesama.

Latihan-latihan otoekspresi seperti membuat karangan, berdeklamasi, latihan seni teatrikal, latihan seni suara, olah musik instrumental mendapat tempat pula dalam sistem pendidikan ini. Kegiatan seni musik misalnya, mendapat perhatian yang besar di seminari. P. Karel van Trier, SVD mengajarkan teori dan praktik musik mulai dari kelas satu sampai kelas enam.  Dari beliau, para siswa mendapatkan latihan mengolah seni suara secara intensif. Ada koor dewasa (Mannen-koor) untuk para siswa di kelas-kelas tinggi, ada koor anak-anak (Kinder-koor). Ada latihan intensif dirigen, latihan musik instrumental, pembentukan orkes seminari. Semuanya diarahkan dalam rangka pembinaan watak dan kepribadian.

Bahkan juga kerja tangan dalam rangka kebersihan sekolah, asrama, penataan taman, mendapat porsinya. Kegiatan seperti ini langsung dipelopori pembinanya. P. Yan Smit SVD, misalnya, sangat berjasa dalam penataan taman di halaman tengah kompleks seminari. Beliau memesan bibit-bibit bunga dari negeri Belanda dan bersama siswa menanamnya dalam petak-petak yang artistik. Beliau berpendapat, bunga-bunga yang indah menggairahkan para siswa untuk hidup dan belajar.

Demikian pula kegiatan-kegiatan yang diarahkan untuk menumbuhkan semangat kelompok, kerja sama, solidaritas, tenggang rasa satu sama lain, cinta lingkungan alam dan masyarakat mendapat perhatian serius.

Salah satu bentuk kegiatan itu adalah liburan terpimpin berupa ekskursi ke suatu tempat tertentu, baik secara bersama-sama atau dalam kelompok kecil, di mana para siswa dan Staf Pembina membaur dengan masyarakat, menikmati piknik bersama ke pantai, mendaki gunung dan lain-lain. P. Cornelissen SVD menyimpan banyak kenangan dari kegiatan-kegiatan seperti ini.

Mendaki gunung Ebulobo atau Inerie, beramai-ramai mengunjungi kampung terpencil seperti Warukia di Riung Barat, atau berjalan kaki ke utara untuk berlibur di pulau Pata, Riung, sungguh merupakan pengalaman yang membekas. Di sana ada solidarity making, ada kemenyatuan dengan alam dan masyarakat, ada kemerdekaan dan kegembiraan, ada persahabatan yang tulus.

“Saya sendiri menikmati perjalanan-perjalanan seperti itu, sembari melupakan kesibukan-kesibukan sehari-hari, menghirup udara dalam alam bebas, bersama dengan kelompok pemuda-pemuda sebagai kawan. Ya, mereka benar-benar sahabat!”  kata P. Cornelissen (P.F. Cornelissen, SVD. 50 Tahun Pendidikan Imam di Flores, Timor dan Bali. Ende: Arnoldus, 1978:  28).

Ketika berkisah tentang pendakian gunung api Ebulobo, P. Cornelissen berkata, “Betapa kecil nampak puncak gunung yang tinggi itu dari bawah, tapi setelah berdiri di atasnya orang akan kagum betapa luas di sekitarnya. Jika untuk pertama kalinya mendaki sampai pada puncak sebuah gunung berapi yang tinggi menjulang ke langit itu, barulah terasa suatu pengalaman yang tak pernah akan terlupakan.”

Pulang dari liburan-liburan seperti itu terasa ada energi baru yang menyuburkan jiwa dan menyegarkan panggilan; terasa terpulihkan kekuatan untuk melayani dengan totalitas yang tinggi, untuk mengeksplorasi pertumbuhkembangan diri dan sesama.

Karena itulah pendidikan dengan sistem seperti ini telah sangat besar dirasakan manfaatnya. Tentang hal ini J. Riberu menulis, “Pengaruh seminari bukan saja dirasakan lewat mereka yang ditahbiskan. Kebanyakan mereka yang menikmati jamahan pendidikan seminari mampu membina kepribadiannya sedemikian rupa, sehingga dapat berjasa bagi masyarakat sekitarnya” (Riberu Dr. J.Setengah Abad Lalu: Jasa Pendidikan dan Para Pendidik Flores” dalam Dungkal.A. Jejak Langkah Pendidikan dan Para Pendidik Flores.Jakarta: Yayasan Padi Jagung 1999: 16-17).

Yang Perlu Kita Pelajari

Catatan Bapak John Riberu pantas kita cermati. Di situ tersimpan arti dari judul karangan ini: Gratia supponit naturam. Rahmat bekerja melalui pengembangan diri yang maksimal. Dengan mengembangkan diri secara maksimal baik secara intelektual maupun personal, orang menjadi manusia yang baik, dan dengan menjadi manusia yang baik, orang mampu menjadi berkat bagi banyak orang.

Sudah sepantasnya seluruh proses pembelajaran, baik yang dilakukan guru maupun siswa, menjadi suatu proses yang menumbuh-kembangkan. Itulah salah satu ilham yang bisa ditarik dari praksis pendidikan para pendahulu kita.

Orang belajar bukan untuk menghafal, karena otak bukan alat perekam semata. Orang belajar untuk dapat mengembangkan kegemaran berdaya cipta, kebiasaan dan keberanian berpikir, agar kualitas intelektual benar-benar bertumbuh.

Orang mengapresiasi seni dan musik bukan demi selera dan panggung semata, atau pertunjukkan, atau perlombaan, tapi demi penghalusan kepribadian, dan pada gilirannya, penghalusan peradaban.

Orang melakukan kerja tangan bukan karena terpaksa, tetapi untuk mengembangkan disponibilitas: kerelaan dan kemurahan hati seorang manusia yang baik untuk melayani sesamanya, kendatipun harus berkotor-tangan, berkorban dan bahkan menjadi kuli.

Orang mencintai doa dan berbagai latihan rohani lainnya bukan sekedar sebagai dekorasi dan ekshibisi, tetapi sebagai sarana untuk merasakan kehangatan KasihNya, dan sarana untuk memurnikan motivasi hidupnya untuk berkarya, pertama-tama dan di atas segalanya Ad Maiorem Dei Gloriam – demi kemuliaan nama Tuhan. (Nani Songkares, PrBagian II, habis).

untitled21

GRATIA SUPPONIT NATURAM (1)

Cabang Meluas karena Akar Mendalam – Kilas Balik (3)

GRATIA SUPPONIT NATURAM (1)
Catatan Pendidikan ala Gymnasium

Gratia supponit naturam. Rahmat mendukung kodrat. Itu terjemahan harafiahnya. Maksudnya, rahmat bekerja maksimal melalui pengembangan bakat-bakat secara maksimal. Secara negatif berarti rahmat tidak akan bekerja dengan maksimal apabila kita menyia-nyiakan kesempatan dan kemungkinan untuk mengembangkan bakat dan kemampuan yang ada pada kita secara sungguh-sungguh. Rahmat tidak akan bekerja maksimal apabila kita menjadi setengah-setengah dan minimalis. Artinya juga, kita mengembangkan bakat dan kemampuan yang ada pada kita bukan pertama-tama demi kepentingan diri kita sendiri, tetapi demi penyaluran rahmat itu bagi pelayanan kepada orang lain melalui bakat dan kemampuan kita.

Pertanyaannya adalah, bagaimana bakat-bakat itu dapat dikembangkan secara maksimal? Pertanyaan inilah yang sebetulnya mau dijawab melalui pendidikan. Kata bahasa Inggris untuk pendidikan adalah education. Kata tersebut berasal dari bahasa Latin educare, yang merupakan bentuk yang disederhanakan dari ex-ducere, yang berarti menarik keluar segala sesuatu yang tersembunyi dalam diri seseorang. Pendidikan berarti menarik keluar bakat dan kemampuan yang masih terpendam, dan mungkin tidak disadari, dalam diri seseorang untuk dipersemaikan dan ditumbuh-kembangkan. Melalui proses pendidikan bakat seseorang terlihat, bertumbuh dan berkembang.

Pendidikan yang menumbuh-kembangkan berbagai bakat dalam diri seseorang itulah yang dikembangkan semaksimal mungkin dalam tradisi pendidikan di Seminari-Seminari, terutama ketika Seminari-Seminari, termasuk Alma Mater kita, menggunakan kurikulum Gymnasium ala Eropa pada saat-saat awal berdirinya, sampai beberapa waktu kemudian setelah kemerdekaan.

Beberapa hal sangat menonjol dalam kurikulum itu, yakni pengembangan bakat-bakat dan kemampuan intelektual terutama melalui bahasa (di mana otak diperlakukan sungguh sebagai alat untuk berpikir, sehingga kegemaran berpikir, kebiasaan berpikir bahkan keberanian berpikir sungguh dikembangkan), pengembangan bakat-bakat dan kemampuan artistik terutama melalui kesenian dan musik, pengembangan bakat-bakat dan kemampuan jasmani melalui olahraga, dan pengembangan kemampuan rohani melalui pendidikan dan latihan-latihan rohani.

Dengan demikian melalui kurikulum pendidikan seperti ini diupayakan agar sebagian besar bakat yang terpendam dalam diri manusia diberi ruang untuk bertumbuh, sehingga ia dapat menjadi manusia yang baik.

Melihat kurikulum pendidikan seperti ini, manusia seperti apakah yang mau dihasilkan? Manusia yang baik, manusia tipe ideal, yang bertumbuh-kembang secara seimbang dalam hampir semua bakat-bakatnya. Kita lalu tergoda untuk bersikap skeptis: dapatkah manusia tipe ideal itu terwujud?

Dalam hal ini, menurut hemat saya, sebaiknya kita tidak berandai-andai. Kita perlu memasang telinga untuk mendengar kembali suara dari kedalaman sejarah, khususnya sejarah pendidikan di Seminari kita kurun waktu 25 tahun yang pertama (1926-1950).

Mendengar Suara Sejarah

Dari catatan sejarah pendidikan di Seminari kita terlihat betapa penumbuh-kembangan bakat-bakat diwujud-nyatakan dalam pendidikan humaniora yang kokoh. Dua hal mau dicapai sekaligus, yakni kualitas pengetahuan dan kualitas watak yang kokoh.

Para pendidik di Seminari adalah pengajar-pengajar yang profesional. Mereka menyiapkan materi dan metode pengajaran secara baik. Mereka menerapkan disiplin yang ketat, bukan untuk membelenggu dan memasung kreativitas siswa, tetapi untuk memacu siswa berkembang secara maksimal baik intelek maupun kepribadiannya.

Karena itu, dalam pandangan J. Riberu, mereka, para pendidik itu, bukan hanya pengajar, tetapi sekaligus benar-benar pendidik. Bagi pendidik tipe ini, kegiatan mengajar yang berarti pengembangan pengetahuan dan keterampilan dalam diri siswa memang penting. Akan tetapi tujuan utama adalah pembinaan watak (Riberu Dr. J.”Setengah Abad Lalu: Jasa Pendidikan dan Para Pendidik Flores” dalam Dungkal.A. Jejak Langkah Pendidikan dan Para Pendidik Flores.Jakarta: Yayasan Padi Jagung 1999).

Mereka merasa tidak puas kalau peserta didik hanya pandai karena menguasai pengetahuan dan keterampilan. Mereka berusaha agar anak asuhannya memiliki peringai dan sikap hidup yang menyebabkan dia dianggap manusia yang baik. Cita-cita mereka adalah menjadikan anak asuhannya manusia yang baik dalam arti yang seasli-aslinya. Itulah pendidikan humaniora yang mereka kembangkan melalui sistem ini.

Berbagai mata pelajaran yang diberikan pun menampakkan cita-cita ini: manusia berpengetahuan dan manusia berwatak. Ada mata pelajaran, tapi tidak banyak dan bertumpuk-tumpuk. Yang penting adalah penguasaan tiga kompetensi dasar: membaca, menulis, berhitung, yang mengarah pada pengembangan kemampuan berpikir (Nani Songkares, Pr – Bagian I).

KECEMASAN, TOTALITAS, DAN HARAPAN

Cabang Meluas, karena Akar Mendalam – Kilas-Balik (2)

KECEMASAN, TOTALITAS, DAN HARAPAN

Berpindah ke tempat baru dengan fasilitas lebih memadai tidak serta merta membuat hidup dan pergulatan pendidikan mudah. Ada berbagai tantangan baru yang mesti dihadapi.

Butuh Keberanian dan Tekad Baja

Ketika masih di Sikka, seminari berada di tengah kampung, dengan atmosfir Katolik yang kental, karena semua penduduk beragama Katolik. Di Mataloko seminari berada di tempat yang sunyi. Beberapa perkampungan sekitar, seperti Dolu, Wogo atau pun Belu tersembunyi di rerumpunan bambu.

Kalau di Sikka, sejak sebelum tahun 1600 orang sudah mengenal agama Katolik, di Ngada umumnya, dan Mataloko khususnya, agama Katolik baru diperkenalkan tahun 1920 dengan kedatangan P. Ettel, SVD. Jadi ketika seminari didirikan di Mataloko, baru 9 tahun agama Katolik diperkenalkan di wilayah itu. Sebagian besar umat belum beragama Katolik. Para misionaris lebih dilihat sebagai orang “kulit putih” daripada sebagai imam atau biarawan.

Bahwa seminari diletakkan di tengah bangsa yang sebagian besar belum mengenal agama Katolik, rasanya itu sebuah pertaruhan besar. Lagi-lagi di sini keyakinan kedua tokoh, Mgr. Vestraelen, SVD, dan P. Frans Cornelissen, SVD, bahwa bangsa Flores itu gens naturaliter christiana serta mempunyai cita-rasa religius dan moral yang tinggi, dan tekad baja yang total untuk menyelenggarakan pendidikan calon imam yang bermutu berperan besar di balik keberanian ini.

Belakangan, P. Cornelissen, SVD tegas menulis, “Orang sangat keliru kalau menganggap bahwa seminari harus berada di tengah-tengah masyarakat Katolik” (50 Tahun Pendidikan Imam di Flores, Timor dan Bali, hal. 33).

Menjaga Kesehatan Siswa

Tantangan lain yang dihadapi adalah kesehatan siswa. Kala itu Flores dibagi dalam 5 wilayah administratif kepemerintahan (Onderafdeling), dan di setiap Onderafdeling ditempatkan seorang dokter. Namun tak jarang dokternya kurang dari lima, bahkan sering hanya dua. Di Bajawa sendiri dokter sering tidak ada. Kunjungan dokter setiap bulan datang dari Ende. Tidak selalu seminari mendapat pelayanan medis dari seorang dokter yang kebetulan berkunjung ke Bajawa itu.

Karena itu banyak hal diupayakan sendiri, agar kesehatan para siswa bisa ditangani. Biasanya seorang imam atau suster yang sedikit banyak mengenal obat-obatan ditugaskan untuk menangani kesehatan siswa.

Masalahnya adalah kalau para siswa menderita penyakit berbahaya, seperti radang paru-paru, atau pun TBC. Sering kali mereka tidak ditangani semestinya, atau terlambat penanggulangannya. Akibatnya, beberapa siswa tidak tertolong. Ada yang meninggal di seminari, yang lain meninggal di rumah. Itu beberapa catatan pedih P. Frans Cornelissen, SVD.

Bukan Mendidik Imam Kelas Dua

Namun semua tantangan itu tidak menyurutkan semangat untuk terus mendidik para calon imam. Dari tahun ke tahun jumlah siswa makin bertambah, begitupun jumlah pendidiknya.

Seluruh proses pendidikan dijalankan dengan kesungguhan dan totalitas yang amat besar. Pendidikan Gymnasium ala Eropa diterapkan, dengan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantarnya. Ini merupakan sistim pendidikan seminari menengah di Belanda (Klein Seminarie) untuk mempersiapkan para pemuda melanjutkan studi di seminari tinggi (Groot Seminarie).

Mengapa proses pendidikan seperti ini yang dipilih dan dijalankan dengan segenap totalitas, padahal yang dididik adalah calon imam pribumi? Catatan P. Frans Cornelissen, SVD membantu memahami pergumulannya.

Dalam kata sambutannya pada Upacara Peresmian Seminari 15 September 1929, P. Frans Cornelissen, SVD, mengutip Paus Benediktus XV dalam ensiklik Maximum Illud yang mengatakan bahwa para rohaniwan pribumi harus dididik sebaik-baiknya, tidak hanya sekedar diberi pengetahuan elementer. Pendidikan yang diberikan haruslah “lengkap sempurna dan utuh dalam semua seginya sebagaimana lazimnya diberikan dalam pendidikan imam-imam dari bangsa-bangsa yang sudah maju” (50 Tahun Pendidikan di Flores, Timor dan Bali, 35).

Ini merupakan sikap yang dipilih untuk mengembangkan proses pendidikan di seminari, sebuah sikap yang sangat maju karena beberapa hal. Pertama, cukup banyak seminari yang dikembangkan di Asia dan Amerika Latin memilih mendidik imam-imam pribumi sebagai imam kelas dua. Ada banyak contoh yang dikemukakan. Kedua, masa penjajahan Belanda saat itu menganggap wajar perlakuan kelas dua bagi pendidikan kaum pribumi. Tapi P. Cornelissen memilih menerapkan proses pendidikan yang sama kualitasnya dengan proses pendidikan calon imam di negara maju.

Itu sebabnya pilihan ini mewarnai atmosfir pendidikan di seminari sejak awal. Karena itu imam yang akan dihasilkan adalah imam dengan proses pendidikan, hak, kedudukan dan kualitas yang sama, imam sebagai sesama saudara.

Buah-Buah Pertama

Pertengahan tahun 1932 para siswa angkatan pertama yang berawal dari Sikka menamatkan pendidikannya di seminari menengah. Itulah buah-buah pertama hasil pendidikan di seminari ini.

Dengan pemikiran bahwa pendidikan calon imam pribumi haruslah pendidikan yang “lengkap sempurna dan utuh dalam semua seginya”, maka tanggal 8 Januari 1932, diputuskan untuk mendirikan sebuah seminari tinggi, agar para calon imam dapat melanjutkan studi filsafat dan teologi. Seminari tinggi itu didirikan di Mataloko. Sebuah rumah bertingkat dua bagi seminari tinggi itu dikerjakan tahun 1932 dan selesai tahun 1933 dengan nama rumah Arnoldus, atau lebih dikenal di kalangan masyarakat sebagai Rumah Tinggi (Kemah Tabor saat ini). Mereka yang melanjutkan pendidikan ke seminari tinggi itu diterima sebagai anggota novisiat SVD, sesama saudara sederajat dengan para anggota serikat dari Eropa.

Dari angkatan pertama novisiat SVD yang berjumlah 7 orang itu (yang merupakan penggabungan angkatan 1926 dan 1927 di Sikka), 4 orang menjadi imam, yakni Lukas Lusi dan Marsel Seran dari angkatan 1926, dan Gabriel Manek serta Karel Kale Bale dari angkatan 1927. Dari ke-4 orang itu, seorang menjadi Uskup, yakni Mgr. Gabriel Manek, SVD, sebuah pembuktian nyata bahwa seminari yang pada awal mula dibangun dengan sederhana menghasilkan buah yang matang dengan  mencapai pucuk pimpinan tertinggi gereja lokal (Nani).

DARI SIKKA KE MATALOKO

Cabang Meluas, karena Akar Mendalam – Kilas-Balik (1)
DARI SIKKA KE MATALOKO

Berdirinya Seminari Menengah St. Yohanes Berkhmans Todabelu Mataloko tidak terpisahkan dari dua tokoh besar, yakni Mgr. Arnold Vestraelen, SVD, Vikaris Apostolik Kepulauan Sunda Kecil (1922-1932) dan P. Frans Cornelissen, SVD.

Mgr. Vestraelen, SVD mendapat tantangan luar biasa dari para Vikaris Apostolik dan Perfek Apostolik se Indonesia ketika ia mengutarakan maksudnya untuk mendirikan sebuah seminari di Flores, dalam sebuah konferensi di Batavia.

Penolakan yang jauh lebih besar datang dari para misionaris di Kepulauan Sunda Kecil. Baru sebagian kecil masyarakat Flores dipermandikan, sebagian besar masih kafir. Karena itu mendirikan sebuah seminari di tengah masyarakat yang sebagian besar kafir itu hampir terasa mustahil. Itu keberatan utama mereka. Maklum banyak dari para misionaris ini adalah pindahan dari tanah misi di Togo, Afrika. Di sana mereka gagal mendirikan seminari karena alasan serupa.

Namun Mgr. Vestraelen, SVD teguh dengan keyakinannya, bahwa bangsa Flores itu gens naturaliter christiana, bangsa yang secara alamiah Kristen. Bangsa ini mempunyai citra-rasa religius dan moral yang tinggi, dan itu menjadi alasan kuat baginya mendirikan seminari.

Ketika P. Frans Cornelissen, SVD tiba di Indonesia tahun 1925, gayung bersambut. Mgr. Vestraelen segera memerintahkan P. Frans mendirikan seminari. Dia tahu watak P. Frans Cornelissen, dan dia tahu pula bahwa imamnya itu telah menyelesaikan kursus guru bantu dan kursus Kepala Sekolah di Belanda, dan baginya bekal itu cukup untuk tugas yang dia sendiri tidak bisa gariskan.

Karena itu ketika P. Frans Cornelissen kebingungan bagaimana memulai proses pendidikan calon imam, Mgr. Vestraelen berkata, “Ajarkan apa saja yang kau anggap berguna. Anda kan guru, anda tahu lebih baik daripada saya”.

Dari yang Kecil
Dengan kepercayaan begitu besar dari Bapak Uskup, P. Cornelissen memulai karya besar ini. Tempat yang dipilih adalah Sikka, sebuah kampung kecil di pantai selatan Maumere, dengan penduduk 1000 orang.

Alasan terpilihnya Sikka sebagai tempat dimulainya seminari ini sederhana saja. Saat itu paroki Sikka tidak mempunyai pastor tetap. Sementara itu di Sikka pastoran peninggalan para imam Jesuit itu besar, terbuat dari kayu jati yang kuat. Jadi kalau seminari dimulai di Sikka, pastor pembina bisa sekaligus merangkap pastor paroki, dan pastoran besar itu dapat langsung dijadikan asrama seminari.

Dengan persiapan dan fasilitas seadanya, seminari itu diresmikan tanggal 2 Februari 1926, oleh Mgr. Vestraelen, SVD. “In het land der blinden is ḗḗn-oog koning! – seorang bermata satu di antara orang-orang buta, dialah raja”, ungkap P. Cornelissen, untuk melukiskan bagaimana karya besar ini dimulai dengan serba sederhana, dan dilakukan nyaris seorang diri.

Itulah uniknya karya Tuhan. Tentang awal yang serba kecil dan sederhana ini, P. Tarsis Djuang, SVD, dan P. Elias Doni Seda, SVD, menulis catatan menarik berkenaan dengan 60 tahun seminari, 15 September 1989: “Hampir setiap orang dapat melakukan hal besar dalam dan bagi suatu peristiwa besar. Tapi hanya Tuhanlah yang melakukan hal besar dalam peristiwa kecil. Karya penyelamatanNya adalah karya besar, tapi dilaksanakan lewat inkarnasi, suatu peristiwa yang begitu kecil dan hina”.

Berpindah ke Mataloko
Tahun 1928, setelah dua tahun berada di Sikka, jumlah siswa membengkak dari 7 orang angkatan pertama menjadi 26 orang. Sebuah tanda jelas, yang menunjukkan suburnya panggilan di Flores, sekaligus mencengangkan sebagian misionaris yang pesimis.

Namun, sebuah tantangan besar menghadang. Pastoran tidak bisa diperluas lagi, dan Sikka tidak mempunyai tanah luas dan kosong untuk membangun sebuah kompleks seminari. Harus dipilih tempat yang baru, di luar Sikka. Di mana?

Ada banyak pro kontra di kalangan misionaris. Namun akhirnya P. Jan van Cleef, SVD dalam jabatannya sebagai Provikaris, meyakinkan para misionaris bahwa Mataloko adalah tempat yang paling cocok sebagai lokasi baru bagi seminari. Iklimnya sejuk, di ketinggian lebih dari 1000 m di atas permukaan laut. Di sana nyamuk tak bertahan hidup dan karena itu para siswa bisa terhindar penyakit malaria. Selain itu, tanah di Mataloko luas dan subur, sehingga dapat diusahakan kebun untuk makanan sehari-hari.

Maka pada tanggal 15 Juli 1928 Mgr. Vestraelen meletakkan batu pertama pembangunan kompleks seminari di Mataloko. Setahun kemudian, pada liburan besar bulan Juni-Juli 1929, mulailah perpindahan seminari dari Sikka ke Mataloko. Pada tahun itu juga beralih tahun ajaran baru dari bulan Januari ke Agustus, sehingga pada bulan Agustus diterima lagi murid baru. Total siswa seminari pada tahun ajaran baru 1929 berjumlah 30 orang.

Tanggal 15 September 1929 dilangsungkan misa pontifical pemberkatan sekaligus peresmian seminari ini oleh Mgr. Arnold Vestraelen, SVD. Hadir saat itu sejumlah tokoh Pemerintah dan Gereja.

Catatan paling lengkap mengenai peristiwa bersejarah itu dibuat oleh P. Henricus Leven, SVD, Provikaris saat itu. Ia menuliskan laporan lengkap mengenai pembicaraan-pembicaraan saat itu, baik oleh P. Frans Cornelissen, SVD, seorang siswa seminari bernama Gabriel Manek, Mgr. Arnold Vestraelen, SVD, maupun Asisten Residen Flores, C.A. Bosselaar.

Semua pembicaraan bernada syukur dan optimisme yang besar, bahwa seminari ini akan tetap eksis, apapun krisis yang dihadapinya, dan akan berkiprah jauh ke depan, tidak hanya demi kepentingan Gereja, tetapi juga bangsa dan tanah air.

Sebagian kata-kata P. Cornelissen, SVD layak digemakan kembali: “Kita berdiri lagi di sini untuk menunjukkan salah satu dari vitalitas yang tak tertahankan dari Gereja Katolik, yang sering mencengangkan mereka yang berbeda pikirannya. Kadang-kadang ketika ia (gereja) seolah-olah melihat bahwa kehancurannya sudah dekat, ia menegakkan dirinya kembali dan setelah kesulitan yang tak henti-hentinya ia pun kembali dengan penuh kejayaan”.

Tentang seminari ini ia mengungkapkan keyakinannya: “Kami memiliki harapan yang teguh, bahwa dari sekolah ini akan muncul para pemimpin bangsa yang berasal dari Flores dan Timor” (Daniel Dhakidae, dalam Percik-Percik Kenangan Alumni, hal.230-233) (Nani – Disarikan dari buku In Dei Providentia).

MOANA DAN KISAH ANAK YANG HILANG

Ia maju ke depan kelas dengan langkah canggung. Beberapa orang teman bertepuk tangan untuknya tetapi ia menampilkan ekspresi datar. Seluruh perhatian anggota kelas terarah kepadanya tetapi ia hanya terpaku memandangi lantai. Ia menyembunyikan tangan dan bukunya di belakang pinggang. Suasana kelas seketika hening. Semua menanti rangkaian kalimat yang akan keluar dari mulutnya. Ia membuka buku, melirik singkat ke arahku dan menarik napas. Aku mengangguk pelan, memberinya kesempatan untuk mempresentasikan hasil diskusi kelompoknya kepada seluruh anggota kelas.

Ia mulai membaca hasil diskusi kelompok dari buku catatannya. Suaranya bergetar, seirama dengan getaran jari tangan yang memegang buku. Gugup. Beberapa kata salah diucapkan tapi cepat diperbaiki. Seluruh anggota kelas diam menyimak penjelasannya. Aku sendiri mulai meraba-raba alur gagasan kelompok yang sedang dipresentasikannya.

Pada semester ini, aku dipercayakan untuk mengampu mata pelajaran ekstrakulikuler Pendidikan Nilai bagi seminaris kelas delapan. Pendidikan Nilai merupakan pelajaran khas Seminari St. Yohanes Berkhmans, Mataloko. Melalui pelajaran ini siswa diperkenalkan dengan nilai-nilai khas seminari yang dikenal dengan nama 5S (Sanctus, Scientia, Sapientia, Sanitas, Sosialitas) beserta penjabaran yang relevan dengan kehidupan mereka sehari-hari di asrama. Tujuan pelajaran ini adalah agar para seminaris menghayati kelima nilai tersebut dalam kehidupan mereka sehari-hari sehingga mereka dapat menjadi pribadi-pribadi calon imam yang berkembang secara holistik.

Saya mengawali pertemuan pertama bersama para seminaris kelas delapan dengan tema sosialitas. Secara sederhana sosialitas berkaitan dengan kenyataan bahwa para seminaris hidup bersama dalam satu asrama. Mereka hidup bersama dalam asrama dengan aturan yang ketat lantaran satu visi yang sama: membina diri untuk menjadi pekerja di kebun anggur Tuhan. Oleh karena itu, mereka mesti memiliki suatu cara pandang dan kebiasaan yang khas di mana aturan hidup harian menjadi penuntun bagi mereka. Setiap seminaris tidak dapat hidup untuk dirinya sendiri saja, tetapi ia juga hadir dan ada bagi seminaris yang lain. Segala tindakan yang dilakukannya, entah baik atau kurang berkenan, pasti memiliki dampak bagi seminaris lain. Proses pembentukan diri juga terjadi berkat bantuan dan dukungan di antara mereka.

Pertemuan pertama kami awali dengan menonton film animasi Moana. Film keluaranWalt Disney Animation Studiotahun 2016 dan disutradarai oleh Ron Clements dan John Musker ini mengangkat cerita rakyat dari wilayah Polinesia. Film Moana berkisah tentang perjuangan Moana, anak kepala suku Motunoui bersama Maui, manusia setengah dewa dalam mengarungi latuan luas. Mereka berlayar untuk mengembalikan jantung Te Fiti (The Heart of Te Fiti), Ibu Bumi, yang sebelumnya dicuri oleh Maui dari Te Fiti. Jantung Te Fiti mesti dikembalikan untuk meredam amarah Te Fiti dan mengakhiri bencana global termasuk gagal panen yang dialami penduduk Motunoui. Moana menjalani tugas ini karena satu alasan utama. Ia telah dipilih oleh lautan (the ocean) sejak ia masih kecil untuk menjadi penyelamat.Singkat cerita, Moana dan Maui berhasil menjalankan tugas mereka dengan baik. Bencana berakhir dan masyarakat Motunoui mengetahui takdir mereka adalah bangsa penjelajah samudera.

     Setelah menonton film para seminaris mulai berdiskusi dalam kelompok. Diskusi dilakukan dengan bantuan pertanyaan penuntun untuk membahas tentang tokoh-tokoh dalam film Moana beserta karakter baik dan buruk yang mereka miliki berdasarkan pengamatan atas film. Saya juga meminta mereka untuk memilih tokoh yang disukai dan tidak disukai beserta alasan mereka menyukai atau tidak menyukai tokoh tersebut. Hasil diskusi dalam kelompok akan dipresentasikan kepada seluruh anggota kelas.

Selama diskusi berlangsung, para seminaris menaati empat aturan yang disepakati bersama. Pertama, selama diskusi berlangsung mereka tidak diperbolehkan untuk mengeluarkan argumen yang bermaksud menghina atau mengolok anggota kelompok. Kedua, siswa yang maju untuk memberikan presentasi adalah siswa yang jarang atau bahkan tidak pernah tampil di hadapan teman-temannya. Ketiga, orang yang ditunjuk tersebut tidak boleh menolak. Menolak berarti membuang kesempatan untuk menjadi orang hebat dan tidak menghargai dukungan dari teman-teman dalam kelompok. Keempat, siapapun yang tampil untuk berbicara harus didengarkan oleh seluruh anggota kelas.

Setelah diskusi, tiga orang pertama maju ke depan kelas mewakili kelompok masing-masing. Ketiganya memberikan presentasi yang menarik. Film Moana diulas dalam tiga perspektif yang berbeda. Elaborasi kelompok mengenai film tidak sekadar menjawab pertanyaan penuntun. Mereka juga mengkonfrontasikan dan mengaitkan film tersebut dengan kehidupan sehari-hari di asrama dalam berbagai sudut pandang. Ada yang mengidolakan Moana karena komitmennya menjawabi panggilan Ocean untuk mengembalikan The Heart of Te Fiti. Ada juga yang megidolakan Maui karena sikapgentleman mengakui kesalahandan bersedia menebus kesalahan dengan cara menemani Moana mengembalikan The Heart of Te Fiti. Ada juga yang mengidolakan Heihei, ayam konyol teman setia Moana sepanjang perjalanan bertemu Te Fiti. Alasan mereka sederhana, dalam kehidupan bersama di asrama dibutuhkan komitmen seperti Moana. Jika melakukan kesalahan mereka dapat bertindak seperti Maui Mereka juga dapat menjadi penghibur seperti Heihei bagi teman-teman yang mengalami kesulitan, meskipun mereka harus terlihat konyol.

Setelah tiga perwakilan kelompok tersebut, saya menunjuk ke kelompok selanjutnya. Kelompok ini berdiskusi di pojok kelas. Berbeda dengan kelompok lain yang terlihat sibuk ketika berdiskusi bahkan sampai beradu argumen, kelompok ini tidak menunjukkan sesuatu yang istimewa. Suara mereka  tertutup oleh suara kelompok lain. Aktivitas diskusi yang mereka lakukan terlihat biasa saja. Lalu mereka mengutus dia yang duduk di pojok untuk memberikan presentasi.

Ia masih berbicara dengan suara bergetar. Saya terus mendengarkan presentasinya sambil mencoba meraba alur pemikiran yang ditawarkan. Sekali lagi, kelompok ini hadir dengan cara pandang yang berbeda dengan tiga kelompok sebelumnya. Pada pertengahan presentasinya aku terkesiap. Sudut pandang yang ditawarkan oleh kelompok ini istimewa. Mereka bukan hanya membahas film Moana. Film fantasi yang diadaptasi dari cerita rakyat Polinesia itu juga dikaitkan dengan perikop kitab suci yang dibacakan pada perayaan Ekaristi pagi hari itu, Perumpamaan tentang Anak yang Hilang (Luk. 15: 1-3, 11-32). Perumpamaan ini khas pengarang Lukas. Pada injil sinoptik lain tidak ditemukan kisah serupa. Lukas menggambarkan dinamika relasi antara Allah dengan manusia dalam injilnya dengan begitu menarik. Allah hadir dalam pribadi Bapa dengan sifat maharahimNya yang tidak terbatas dan karakter manusia dengan segala dinamika keterbatasan dan kesadarannya terwakili pada diri anak bungsu dan anak sulung. Ia membacakan hasil diskusi dalam kelompok.

Injil pada hari ini berkisah tentang Yesus yang menceritakan perumpamaan tentang anak yang hilang kepada para ahli Taurat dan orang Farisi. Kisah ini berbicara tentang relasi Ayah dan Anak. Ayah dalam Injil sama dengan Te Fiti dalam Film. Mereka adalah sumber kehidupan bagi anak-anaknya. Maui dalam film seperti anak bungsu dalam Injil. Maui mencuri hati Te Fiti. Ia mengkhianati Te Fiti yang memberikan kehidupan bagi dunia. Anak bungsu meminta warisan ketika ayahnya masih hidup. Akhir kisah anak Bungsu dan Maui sama. Keduanya berlumur penyesalan dan rasa malu.

Moana adalah harapan untuk kembali. Ia menjadi jalan bagi Maui untuk kembali berdamai dengan Te Fiti, Sang Pemilik kehidupan. Ia menjadi jalan bagi Maui untuk secara gentleman mengakui kesalahan yang telah dibuat. Satu hal yang membuat anak bungsu dalam injil kembali adalah harapan akan pengampunan. Reaksi Te Fiti serupa dengan reaksi Bapa dalam Injil. Ia tidak menghukum anaknya yang berbuat salah tetapi mengampuninya. Bahkan bagi anak bungsu dibuatkan pesta yang besar. Maui mendapatkan pancing ajaib baru dari Te Fiti setelah pancing ajaibnya yang lama rusak ketika bertempur melawan Te Ka.

     Selalu ada jalan untuk memperbaiki kesalahan. Selalu ada kesempatan untuk bertobat dari kesalahan dan memperbaiki diri menjadi lebih baik. Kelemahan manusia adalah selalu jatuh dalam dosa dan kesalahan. Akan tetapi, Allah menganugerahkan kepadanya budi baru sehingga ia dapat selalu bertobat dan menyadari kesalahannya. Masa prapaskah ini adalah jalan bagi kita sebagai seminaris untuk kembali kepada Allah. Memperbaiki hubungan yang telah rusak karena kesalahan yang telah kita perbuat”

Ruangan kelas diliputi keheningan. Suara-suara cibiran ketika ia mengaitkan film Moana, perumpamaan tentanganak yang hilang, masa prapaskah, dan hidup sebagai seminaris lenyap. Presentasinya telah membius kami semua. Aku terkesima mendengar presentasinya. Ide yang ditawarkan luar biasa. Kelompok ini mampu melihat adanya kesamaan dalam empat situasi yang berbeda dan mengaitkannya dengan apik. Film bukan sekadar hiburan bagi mereka tetapi mengandung nilai-nilai yang dapat menyentuh aspek personal kehidupan mereka. Sekarang, giliran dirinya menatap seluruh penghuni kelas. Setelah sepersekian detik takjub kami mengapresiasi presentasi itu dengan tepuk tangan keras. Ia kembali ke tempat duduk sambil tersipu malu.

Aku keluar ruangan kelas sambil tersenyum kecil. Proses pembelajaran yang baru saja kami lakukan mengungkap banyak hal. Para seminaris cilik ini telah memahami makna pengalaman. Pada setiap pengalaman yang mereka dapatkan di seminari terpendam nilai-nilai kehidupan. Mereka sendiri yang menemukan nilai-nilai itu dan saling berbagi satu dengan yang lain, dimulai dalam ruang kelas. Film hanyastimulan, membantu mereka untuk berimajinasi, berpikir, dan merenungkan kehidupan mereka sendiri, menemukan nilai-nilai kehidupan, menyadarinya, dan perlahan-lahan menghayatinya. Para seminaris cilik ini menunjukkan potensi diri yang luar biasa dibalik kesahajaan hidup sehari-hari.

Mereka belajar saling mendukung satu sama lain dengan berbagi pikiran dan refleksi. Mereka mendukung temannya yang jarang tampil untuk presentasi dengan cara memberi kepercayaan kepadanya. Ia diberi kepercayaan untuk tampil dan seluruh anggota kelas setia mendengarkan presentasinya. Setelah presentasi teman-teman mengapresiasinya dengan tepukan tangan. Sebuah tindakan kecil tetapi sangat berharga bagi orang yang diberi kepercayaan karena dirinya merasa dihargai dan didukung.

Aku keluar dari ruang kelas dengan suatu niat. Para seminaris cilik ini memendam harta berharga pada dirinya. Harta itu harus ditemukan dan dikembangkan agar berguna bagi banyak orang. Agar mereka dapat bertumbuh dan berkembang secara utuh serta bahagia menjadi manusia dan ketika dipanggil menjadi pekerja di kebun anggur Tuhan.

Sdr. Rio Edison, OFM

TOPER