Romero2

DARI KUBURAN KEPADA MAKNA HIDUP

Oleh: Rm. Nani Songkares, Pr

Saya ingin bercerita tentang seorang siswa Seminari dari sebuah kampung yang terpencil. Sekarang dia sudah berada di kelas XII SMA dan sedang menyiapkan diri ke Seminari Tinggi.

Saat masih di SMP, perkembangannya lamban sekali. Dia terbilang bodoh. Keluarganya memutuskan agar dia tinggal di Seminari pada masa Covid dulu. Berkali-kali saat bekerja di kebun, dia mengelamun sendiri.

Pernah ayahnya bertanya kepada saya mengenai perkembangannya. Saya ceritakan apa adanya. Mereka pernah punya niat menariknya keluar dari Seminari. Namun saya berusaha meyakinkan mereka untuk merelakan anaknya tinggal di Seminari. Saya minta agar mereka menahan diri, membatasi komunikasi dengan putranya, untuk sementara.

Mereka patuh. Bagi saya, ini pengorbanan besar dari ayah-ibunya. Mereka menahan diri,  membatasi kontak dengan putranya.

Saat ini, anak itu menjadi teman diskusi saya. Dia mempunyai keterampilan lebih yang dia pelajari sendiri, khususnya mengenai dunia digital. Kecepatan belajarnya tinggi sekali. Lingkaran pertemanannya luas sekali. Sampai ke mancanegara. Saya sering meminta bantuannya. Kalau ada tanggung jawab yang diserahkan kepadanya, terlihat sekali dedikasinya.

Seandainya keluarganya tidak bisa menahan diri, dan terus ‘mengganggu’-nya dengan berbagai kunjungan dan intervensi, mungkin dia tidak bisa berkembang sejauh ini. Sayapnya tidak cukup kuat untuk terbang tinggi, melampaui batas-batas. Bahkan, apa-apa menjadi batas: makanan, tempat tidur, benturan saat bermain sepakbola, persahabatan. Padahal bagi anak, sangat mungkin tidak ada batas untuk terbang. Hanya langitlah batasnya. The sky is the limit!

Saya teringat kisah seorang anak laki-laki ketika pertama kali melihat kupu-kupu keluar dari kepompong. Kupu-kupu itu menggeliat, berusaha dengan susah payah agar bisa keluar dari kepompong.

Anak itu jatuh kasihan. Dia berlari ke rumah, mengambil gunting. Dengan alat itu, dia ‘membantu’ kupu-kupu keluar dari kepompong. Diguntingnya kepompong itu sedikit demi sedikit, sampai akhirnya kupu-kupu terbebaskan.

Anak itu gembira luar biasa. Namun, apa yang terjadi? Kupu-kupu tidak bisa terbang. Dia mondar-mandir kebingungan, karena tidak punya kekuatan. Dia paling-paling hanya bisa merayap. Tampaknya anak itu memberi kemudahan bagi kupu-kupu, tapi kemudahan ternyata menjadi kebuntuan, bahkan kuburan.

Zona nyaman paling pertama seorang anak adalah rahim mama. Apa-apa mama yang urus: napas, makan, minum, bahkan berak. Semuanya di rahim mama. Dia merasa nyaman, terlindungi, tidak perlu susah-susah.

Namun, seandainya dia berada di dalam rahim lebih dari 9 bulan, 10 atau 11, rahim mama sudah berubah jadi kuburan. Yang mati mungkin bukan hanya anak, tapi bisa jadi mama, dan ini menyakitkan sekali.

Anak perlu keluar dari zona nyaman itu. Dia pasti menangis karena ketakutan, tidak berani menghadapi tantangan. Itulah zona ketakutan (fear zone).

Godaan ketika anak berada dalam zona ketakutan adalah pulang ke zona nyaman, ke ‘rahim mama’. Kalau kita tidak bijak, perjalanan belajar anak terhenti. Dia takut menghadapi dunia, gemetar di hadapan tantangan. Hilang rasa percaya diri. Dia mencari-cari alasan untuk membenarkan diri, bahkan dengan cara mendramatisasi, membesar-besarkan untuk minta dikasihani. Dia berlari kembali ke ‘rahim mama’, zona nyaman, yang bisa menjadi kuburan bagi kemerdekaannya. Ini berbahaya untuk dirinya, dan orang lain.

Sebenarnya ada jalur lain yang harus anak tempuh, yakni masuk ke zona belajar (learning zone). Di sana dia menghadapi tantangan dan masalah, dan berusaha mengolahnya. Dia mencari jalan pemecahan. Dia belajar berkomunikasi dan bernegosiasi untuk mengumpulkan kekuatan. Dia belajar mengatur diri.

Dengan itu dia mendapatkan keterampilan-keterampilan baru, yang membuat sayapnya lebih kuat untuk terbang. Belajar menjadi keasyikan baru. Di sini, dia membangun zona nyamannya sendiri, yang jauh lebih luas dari rahim mama. Dia bergerak dari sekadar bertahan (surviving), ke pembelajaran-pembelajaran baru yang memperkaya diri (thriving), dan lebih dari itu, dia berlangkah ke zona baru, zona pertumbuhan (growth zone).

Dalam zona pertumbuhan ini, transformasi yang dialami sering mencengangkan. Anak tidak hanya belajar keterampilan-keterampilan baru yang kasat mata maupun yang halus tapi amat dibutuhkan (disiplin, tanggung jawab, tahan banting, determinasi, kesetiaan pada nilai, kepemimpinan), tapi juga belajar melihat misi hidupnya, tujuan hidupnya. Belajar bahwa dia bisa mendedikasikan diri, mempersembahkan diri, bahkan berkorban. Dia belajar menempatkan dirinya pada pelayanan di luar dirinya, yang lebih besar dari dirinya – pelayanan kepada orang lain, kepada komunitas, daerah, bangsa, dunia, dan tentu, kepada Tuhan. Di situ dia belajar menemukan makna hidupnya.

Rasanya pembelajaran yang ditawarkan di Seminari kita itu bukan joyful learning, tapi meaningful learning, pembelajaran yang bermakna. Jalan untuk mendapatkan makna hidup sejati adalah jalan salib. Itu jalan yang diajarkan Guru Agung kita.

Dia berkata, “Setiap orang yang mau mengikuti Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikuti Aku. Karena barangsiapa mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya; tetapi barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan menyelamatkannya” (Lk. 9:23-24).

Sr-3

Ketika Menjadi Tenaga Kesehatan di Seminari Mataloko

Saya mencoba memutar waktu. Kurang lebih enam tahun yang lalu, tepatnya pada bulan November 2018, saya mulai menginjakkan kaki di Lembah Sasa, di sebuah lembaga pendidikan calon Imam, Seminari St. Yohanes Berkhmans Todabelu Mataloko. Lembaga ini terletak di tempat kelahiranku sendiri, Mataloko, Ngada, Flores, NTT. Kami orang Mataloko sangat bangga dengan lembaga ini, karena oleh nama besarnya, Mataloko bisa dikenal di seantero jagat.

Sejak kecil, kami hanya bisa masuk ke dalam kompleks Seminari, ketika berlangsung pertandingan sepak bola, kor bersama saat POPSI (sekarang PORSENI), menyaksikan pentas seni yang ditampilkan oleh para siswa Seminari, serta saat menonton film/slide tentang orang-orang kudus yang lazimnya ditayangkan oleh Pater Yan Kozlowski, SVD.

Di luar acara-acara itu kompleks Seminari adalah “tempat sakral” yang sangat kami hormati dan segani , sehingga kami tidak asal masuk. Bagi kami orang Mataloko, siswa-siswa yang masuk di Seminari sudah dianggap “Imam Kecil” yang tidak boleh diganggu (tegur sapa saja kami sangat segan).

Saya hadir di lembaga Seminari sebagai tenaga kesehatan yang diutus oleh pimpinan CIJ (Congregatio Imitationis Jesu). Sejak tahun 1999, CIJ sudah membangun kerja sama dengan Seminari untuk mengambil bagian dalam tugas pelayanan bagi para calon Imam. Hal ini atas permintaan Uskup Agung Ende saat itu, almarhum Mgr. Abdon Longinus da Cunha.

Sebelum tiba di tempat ini banyak pergulatan dalam diri saya. Saya berpikir bagaimana saya mampu menjalankan tugas sebagai tenaga kesehatan di sebuah lembaga pendidikan. Namun, saya mencoba belajar dari situasi yang ada dan berusaha menyesuaikan diri dari hari ke hari.

Saya belajar bahwa jikalau di klinik umum pasien datang berobat sesuai jam buka klinik, maka di Seminari pasien (para seminaris) bisa datang kapan saja. Saat para seminaris mengalami kecelakaan-kecelakaan kecil, semisal jatuh, saya pun harus bergegas ke klinik untuk mengobati.

Belajar dari kondisi hidup di Seminari yang demikian, membuat saya harus menata waktu secara baik, antara waktu melayani pasien dan melakukan pekerjaan-pekerjaan sampingan, seperti membersihkan alat-alat, ruangan, dan lingkungan klinik.

Saya bersyukur pula bahwa dengan terbatasnya tenaga kesehatan di Seminari, para romo, frater, karyawan/ti dan para siswa bisa membantu saya, tatkala berhadapan dengan pasien yang membutuhkan penanganan segera.

Meski demikian, saya terkadang cukup kesulitan menghadapi seminaris yang berjumlah ratusan dan memiliki karakternya masing-masing. Terkadang, mereka tidak taat untuk minum obat secara teratur; menunda berobat ketika mengalami sakit yang cukup serius; serta mengonsumsi bahan makanan siap saji yang tidak sesuai ketentuan yang sebenarnya. Akibatnya, para seminaris cenderung mengalami sakit yang tidak diinginkan.

Tindakan para seminaris yang demikian  turut memengaruhi sikap dan tingkah laku saya sebagai petugas kesehatan. Demi kesehatan dan kebaikan mereka, terkadang saya tampil sebagai “ibu yang keras dan tegas”.

Meski demikian, dalam karya pelayanan saya di Seminari, saya selalu percaya Tuhan itu Mahabaik dan Mahapenyelenggara. Ia selalu hadir dalam karya pelayanan saya sehari-hari. Ia selalu hadir melalui romo, frater, pendidik, tenaga kependidikan, seminaris, serta situasi demi situasi di Seminari.

Orang-orang yang saya jumpai dan situasi-situasi yang saya alami selalu tetap membangkitkan semangat saya untuk tetap setia dalam menjalankan tugas sebagai tenaga kesehatan di Seminari. Saya selalu percaya dengan moto ziarah panggilan saya sebagai biarawati CIJ, “Di luar Dia saya tidak dapat berbuat apa-apa” (Yoh. 15:5) (Sr. Ferdinanda, CIJ)

Tambahkan Teks Tajuk Anda Di Sini

Pater-Paul-Budi-Kleden-3975846948

SELAMAT DATANG MGR. PAUL BUDI KLEDEN, SVD

Terpilihnya Mgr. Paul Budi Kleden, SVD sebagai Uskup Agung Ende yang baru disambut sangat antusias. Banyak sekali whatsapp group di mana para imam bergabung, dan di sana mengalir rasa syukur penuh kegembiraan atas terpilihnya Bapak Uskup Agung kita.

Pagi ini (Minggu, 26/5/24) di paroki-paroki, saya yakin ada doa syukur, karena hanya dalam setengah tahun masa sede vacante, doa-doa umat se-Keuskupan Agung Ende terkabulkan. Dan bahwa yang terpilih adalah salah satu dari misionaris kita, mungkin ini sejalan dengan dan sekaligus menegaskan arah-dasar Gereja Keuskupan Agung Ende yang mandiri, solider, injili, dan misioner.

Biasanya para misionaris, SVD khususnya di Keuskupan Agung Ende, mengarahkan perhatiannya ke luar wilayah keuskupan. Dengan terpilihnya Mgr. Paul Budi Kleden, SVD, ada semacam gerak balik, mungkin untuk mengingatkan bahwa setiap medan pastoral adalah medan misioner.

Begitu mendengar nama Mgr. Paul Budi Kleden, SVD, saya teringat sederetan nama para Uskup SVD yang melayani Gereja Keuskupan Agung Ende, dari awal berdirinya. Saat umat se-keuskupan berdoa bagi pemilihan Uskup yang baru, nama-nama para Uskup itu disebut satu persatu, dalam satu tarikan napas dengan para Uskup dari kalangan imam diosesan, lengkap dengan moto tahbisan episkopal yang memperkaya.

Mgr. Petrus Noyen, SVD dengan moto “Mutiara dari Timur”; Mgr. Arnoldus Vestraelen, SVD dengan moto “Bagi Allah dan jiwa-jiwa”; Mgr. Henricus Leven memilih moto “Salam, O, Salib, satu-satunya Harapan”; disebutkan juga para uskup dari Jepang, yakni Mgr. Paulus Yamaguchi dan Mgr. Aloysius Ogihara, SJ, yang menjadi perpanjangan tangan Tuhan yang memelihara umat di saat krisis. Lalu disebutkan Mgr. Antonius Thijssen, SVD yang mengusung moto “Di dalam SabdaMu”; Mgr. Gabriel Manek, SVD bermotokan “Bunda Maria, Pelindung segala Bangsa”; Mgr. Donatus Djagom, SVD mengambil moto “Mari Kita Wartakan Kristus yang Disalibkan”; Mgr. Abdon Longinus Da Cunha mempunyai moto “Mendengarkan dan Mewartakan”; dan moto Mgr. Vinsensius Sensi Potokota adalah “Beritakanlah Firman, Baik atau Tidak Baik Waktunya”.

Tampak sekali semangat misioner yang universal dan terbuka yang menembus sekat-sekat primordial: pribumi non pribumi, Eropa-Asia, penjajah-jajahan, imam diosesan-imam tarekat. Semangat misioner itu serasa mengalir dari waktu ke waktu dan menggembalakan umat Keuskupan Agung Ende.

Saat ini, ketika Mgr. Paul Budi Kleden, misionaris SVD, terpilih menjadi Uskup Agung Ende yang baru, rasanya semangat misioner itu sama sekali tidak hilang dalam lintasan sejarah, bahkan, atas bimbingan Roh, bernyala dengan cemerlang. Maka pantas kalau umat bergembira, dan kita semua merayakan berita ini dengan rasa syukur yang besar, hari ini, persis pada Pesta Tritunggal Mahakudus. Selamat datang Bapak Uskup!

Kalau terpilihnya Mgr. Paul Budi Kleden, SVD dikaitkan dengan kaderisasi para imam, baik imam diosesan maupun imam tarekat, taruhan kaderisasi bukanlah pada terpilihnya seseorang menduduki jabatan tertentu dalam gereja, seakan-akan tidak ada ruang lagi bagi The Invisible Hand yang mengorkestrasi semua ini. Taruhan kaderisasi, bagi saya, letaknya pada kualitas pelayanan sehari-hari dengan semangat misioner yang tidak pudar dalam tugas apa pun yang dipercayakan gereja kepada kita.

Semua kita mengenal Bapak Uskup Agung kita yang baru ini, baik kompetensi intelektualnya, kerohanian, kepribadian, maupun keluasan hatinya. Bagi saya ini berkat yang luarbiasa bagi gereja lokal kita.

Saya teringat tahun 2018 sesudah Mgr. Budi dipilih jadi Superior General SVD. Dia jalan-jalan ke Mataloko. Saat itu sudah sore. Saya sedang berada di English Room bersama sejumlah anak. Saya terkejut bukan main. Spontan saya peluk dia, dan saya katakan pada anak-anak, “He anak-anak, tahu tidak, ini Pater Superior General SVD yang baru, pemimpin tertinggi SVD sedunia!”

Anak-anak terkesima. Pater Budi, seperti biasa, sangat sederhana, sangat rendah hati. Tidak terasa ada tendensi megalomania pada dirinya, padahal semua orang tahu, dia raksasa.

Sesudah dia tinggalkan English Room, saya terdiam. Orang besar ini begitu manusiawinya, begitu bersahajanya. Saya merasa seperti temannya, saudaranya, padahal saya tahu, dan anak-anak tahu, betapa saya sering konyol, dan tidak ada model.

Sekarang dia bapak Uskup saya, Mgr. Paul Budi Kleden, SVD. Sebentar lagi saya akan cium tangannya, meletakkan tanganku di dalam genggaman tangannya. Rasanya ini rahmat.

Kadang saya bertanya, apakah spirit misioner itu masih mengalir deras dalam nadiku?

Mgr. Noyen naik kuda, jalan kaki dari ujung timur Flores sampai ujung barat Labuan Bajo. Mereka pasti capai sekali. Namun itu bukan alasan bagi mereka untuk menimba kekuatan misioner lewat brevir, doa rosasio, baca Kitab Suci, dan terutama Ekaristi.

Paul Arndt, SVD, P. Herman Bader, SVD, Pater Glinka, SVD, untuk menyebut beberapa nama, pioner dalam menyelami hati terdalam dari umat dalam nilai-nilai budaya.

Mereka tidak besar karena pewartaan mereka tentang dirinya. Mereka besar karena melalui karya mereka kita lebih mengenal kedalaman diri kita sebagai orang Flores, local wisdom yang ternyata tak ternilai.

Dan mereka sendiri, dengan kedalaman refleksi dan penguasaan pengetahuan menjadi artikulator dari kebernasan budaya kita. Mereka mengekspresikan teologi kebijaksanaan yang dihayati orang-orang kita.

Pater Hubert Hermens SVD, Pater Mommersteg, SVD, untuk menyebut beberapa, adalah pastor paroki, tapi bau tanah Flores yang mereka hirup membuat para petani, nenek moyang kita, orang-orang kita, berjalan dengan kepala tegak.

Semangat misioner itu tidak pernah hilang dalam lintasan sejarah.

Namun, terkadang saya pikir, mungkin urat nadi yang mengalirkan darah misioner itu sudah mulai tersumbat oleh berbagai kolestrol, di era invasi teknologi dengan turbulensinya yang tinggi ini, di era di mana hidup jadi gampang tapi cenderung menyukai yang maya, tawaran gaya hidup menggiurkan dan enak tapi hilang kedalaman.

Jadi terpilihnya Mgr. Paul Budi Kleden, SVD rasanya tepat pada waktu Tuhan, untuk menjadi tanda nyata bahwa semangat misioner itu harus tetap mengalir dalam urat nadi keberimanan dan pastoral kita.

Karena itu, mari kita bersatu hati mendoakan Bapak Uskup kita yang baru, dan karya misioner di Keuskupan Agung Ende (Nani Songkares).

John Berchmans

SANTO YOHANES BERKHMANS

Pelindung para pemuda calon imam

Santo Yohanes Berkhmans dilahirkan di Diest, Belgia, tanggal 13 Maret 1599, sebagai anak sulung dari 5 bersaudara.

Ketika hendak bersekolah, ia tinggal bersama Pastor Pieter van Emmerich. Ia terkenal sopan, rajin berdoa dan senang menjadi misdinar. Ia juga senang menyendiri untuk meditasi dan berdoa dan mempunyai kebaktian khusus kepada Sengsara Tuhan Yesus dan Santa Perawan Maria.

Di sekolah, Yohanes Berkhmans terkenal sebagai anak pintar dan rajin belajar. Ia bertekad untuk menjadi imam dan karena terus bertekad belajar untuk menjadi imam, ia pindah ke kota Mechelen untuk meneruskan studinya. 

Di sana ia menjadi teladan dalam kebaikan dan kesucian hati tidak hanya bagi anak-anak, tapi juga bagi orang besar. Ia mengerjakan apa saja dengan rajin dan sabar. Ia sangat bersahaja.

Yohanes Berkhmans memilih masuk Ordo Jesuit tanggal 24 September 1616 karena kerelaan hatinya berserah diri kepada Tuhan. Maxime facere minima: Perhatikan dengan sungguh hal-hal kecil. Itu salah satu tulisan yang ditemukan di buku catatan Yohanes Berkhmans.

Ia mangatakan “Kasih akan kebajikan sangat nyata dalam perhatian dan kesetiaan pada perkata-perkara kecil”. Karena kebajikan-kebajikan yang dimilikinya, ia sangat disenangi teman-temannya.

Ia suka mengerjakan pekerjaan-pekerjaan kotor, ia suka mengkontemplasikan salib Tuhan dan merasakan kebahagiaan dari salib. Teman-teman menganggapnya sebagai orang kudus, malaekat. 

Ia pernah berkata: “Saya ingin menjadi kudus dalam waktu yang singkat”. Ia juga berkata: “Jika saya tidak dapat menjadi kudus pada masa mudaku, saya tidak akan pernah menjadi kudus”.

Namun Yohanes Berkhmans tidak menjadi kudus karena perbuatan besar, tetapi karena perbuatan biasa yang dilakukan dengan kesungguhan hati yang luarbiasa. Maka apapun yang ditugaskan atau diperintahkan padanya, biar kecil, dilakukannya dengan sungguh-sungguh dan dengan senang hati.

Katanya: “Multum facere, parum loqui” – banyak bekerja, sedikit bicara. Dan itu dilakukannya dalam keseharian hidupnya. 

Ia menjalani hidup dengan ringan, dengan keceriaan dan kegembiraan, sehingga teman-temannya menjulukinya “frater hilaris”, frater yang ceria. Motonya: Semper ridens. – Senantiasa tertawa/bergembira.Tanggal 25 September 1618 Yohanes Berkhmans mengucapkan kaul pertamanya sebagai anggota Yesuit.  

Yohanes Berkhmans menjalani tugas belajar filsafat di Universitas Gregoriana Roma. Selama masa studinya, ia terkenal karena kebaktiannya yang luarbiasa kepada Sakramen maha Kudus dan Santa Maria serta para Orang Kudus.

Sapaan khasnya untuk menghormati Sakramen Mahakudus dan Bunda Maria adalah “Ave Maria, Ave venerabile Sacramentum” (Salam Maria, Salam ,o, Sakramen yang patut dihormati). Tentang Bunda Maria sendiri ia berkata: “Santa Maria dapat mengusir pikiran jahat dalam diri seseorang hanya dengan memandang wajahnya”. Ia juga sangat mencintai Santo Aloysius.

 Yohanes Berkhmans juga adalah teladan dalam ketaatan. Ia sangat mencintai hidup berdasarkan kaul-kaul yang diikrarkannya. Ia juga seorang yang rendah hati. Ia akan patuh pada siapapun, betapapun orang itu sederhana.

Tentang kepatuhannya pada seorang Bruder pengurus koster yang sederhana ia berkata: “Saya taat pada bruder sebagaimana saya taat pada Kristus”.  

Ia juga sangat baik dan ramah terhadap teman-temannya. Ia selalu dapat mendamaikan orang-orang atau kelompok-kelompok yang bertikai. Ia selalu menolong teman-temannya yang mengalami kesulitan dalam belajar.  Ia senang membahagiakan orang lain. Ia tidak suka mencari-tahu atau membicarakan kesalahan orang lain.

Ia berkata kepada dirinya sendiri: “Ingatlah kesalahanmu sendiri dan jangan memperhatikan kesalahan orang. Kalau engkau melihat satu kesalahan yang dibuat orang lain, amatilah kelakuanmu sendiri dan berdoalah untuk orang tersebut, agar ia memperbaiki kesalahannya”. 

Sebaliknya, ia berusaha menemukan kebaikan yang ada pada diri setiap orang. Ia menulis sekurang-kurangnya satu kebaikan yang dimiliki setiap orang dalam buku catatannya.

Di tahun-tahun terakhir menjelang kematiannya, kehidupan Yohanes Berkhmans semakin religius. Ia menulis dalam catatannya: “Caritas; fugere otium: vivere in horas” (harafiah berarti: Cinta; berlarilah jika anda tidak berbuat sesuatu pun; hiduplah hanya untuk saat ini). Maksudnya: “kerjakan segala sesuatu dengan kepenuhan cinta, seakan-akan hidupmu hanya saat ini”. Maxime facere minima!

Ia lebih peduli pada hal-hal rohani daripada hal-hal duniawi. Ia mengerjakan hal-hal biasa, kecil dan kotor untuk melayani sesamanya. Tapi setiap kali ia mengerjakannya, ia selalu berdoa, membiarkan diri berada di hadirat Allah. Tak satu pekerjaanpun yang tidak dimulainya dengan berdoa. Karena itu ia selalu mengerjakan segala sesuatu dengan sungguh-sungguh dan sempurna.

Ia juga sering berbuat tapa, seperti tidak makan pagi, menyesah dirinya tiga kali seminggu, tidak tidur siang, dll. Di bulan terakhir hidupnya, semakin sering ia bertapa dan berdoa. Juga semakin banyak waktu digunakannya untuk membantu sesamanya, khususnya mereka yang mengalami kesulitan dalam belajar. Ia bahkan mewakili biaranya berdebat dengan seorang ilmuwan tentang alam.

Pada pesta St. Ignasius Loyola, 31 Juli 1621, Yohanes Berkhmans mendapat satu kertas dengan nama seorang kudus yakni Santo Zephyrinus. Di kertas itu tertulis: “Videte et vigilate, nescitis enim quando tempus sit” – berjaga-jagalah dan berdoalah karena kamu tidak tahu kapan saatnya tiba (Mrk. 13:33).

Yohanes Berkhmans merasa ini merupakan peringatan dari Tuhan bahwa kematiannya makin mendekat. Ia senang akan hal itu, karena telah lama ia rindu memandang wajah Allah. Ia teringat Santo Stanislaus Kostka. Ketika Santo Petrus Canisius mengatakan kepadanya “Hiduplah tiap-tiap bulan seakan-akan itulah bulanmu yang terakhir”, Santo Stanis merasa bahwa perkataan itu cocok untuk dirinya. Ia memang meninggal kemudian. Hal yang sama terjadi pada Santo Yohanes Berkhmans.

            Hari-hari terakhir menjelang kematiannya Yohanes Berkhmans hanya bisa terbaring di kamarnya karena lemah dan tak berdaya. Namun ketika dibawakan kepadanya Sakramen Mahakudus, Yohanes Berkhmans bangun, lalu berlutut dan sambil memandang Sakramen Mahakudus ia berkata: “Saya percaya ini sungguh Putra Allah Bapa yang Maha Kuasa, Putra Santa Perawan Maria. Saya mau hidup dan mati sebagai anak yang setia dari Gereja Katolik dan Apostolik. Saya mau hidup dan mati selaku anak yang setia dari Santa Perawan Maria, saya mau hidup dan mati selaku anak yang setia dari Serikat Yesus”.

Ia pun minta agar ia diberikan Salib, Rosario dan  buku Pedoman Serikat Yesus, yang dipandangnya sebagai senjata hidupnya. Di saat terakhir ketika mengalami godaan setan, ia memegang salib, rosario dan buku Pedoman tersebut dan berkata: “Inilah senjataku. Alangkah bercahayanya salibku ini, laksana emas! Alangkah bersinarnya Rosarioku ini”. Ia lalu membukakan buku Pedoman dan membaharui kaul-kaulnya.

Yohanes Berkhmans menghembuskan nafas terakhir di pagi hari, 13 Agustus 1621, sebagai frater dari Serikat Yesus.

Banyak tanda heran dialami setelah kematian pemuda kudus yang dijuluki “Santo Aloysius yang baru” ini. Tentang tanda heran ini, Pater Cepari, seorang pembinanya di Roma, mengatakan bahwa tanda heran yang lebih besar dari kekudusan Yohanes Berkhmans adalah  hormat yang diberikan kepadanya sesudah kematian.

Pater Cepari berkata: “Siapakah yang mengetahui berapa banyak pemuda yang tergerak oleh teladan kesucian Yohanes Berkhmans, siapa yang mengetahui berapa banyak orang yang luput dari perbuatan cabul karena berdoa kepadanya, berapa banyak orang yang meninggalkan dunia dan masuk ke biara-biara. Barangsiapa menyaksikan semua itu, ia harus berkata: Digitus Dei est hic – Jari Tuhan ada di sini!”

Tahun 1865 ia digelari Beato dan tanggal 15 Januari 1888, ia digelari kudus bersama Santo Petrus Claver dan Santo Alphonsus Rodriquez (Nani Songkares).

Ibu Yustin1

TERPANGGIL KARENA SOSOK GURU

Oleh: Ibu Yustina Ia, S. Pd

Menjadi guru itu bukan sekadar profesi melainkan panggilan hidup. Panggilan untuk mendidik dan mengajar anak-anak menjadi generasi yang cerdas. Bagi saya menjadi guru adalah suatu tugas yang sangat mulia. Kemuliaan seorang guru datang karena ia merupakan sosok yang sangat penting bagi masa depan anak didiknya.

Perkenalkan nama saya Yustina Ia. Anak-anak biasa menyapa saya Ibu Yustin. Saya mengajar mata pelajaran Bahasa Indonesia di SMPS Seminari St. Yoh. Berkhmans Mataloko yang terletak di Kecamatan Golewa, Kabupaten Ngada, Provinsi NTT sejak tahun 2015.

Ketertarikan menjadi guru saya rasakan sejak di bangku Sekolah Dasar. Waktu itu saya terinspirasi dengan salah seorang guru matematika. Saya dikenal sebagai siswa yang pandai dalam pelajaran matematika. Bagi saya, pelajaran matematika adalah pelajaran yang sangat menyenangkan. Selain itu, kehadiran guru juga membuat saya menikmati pelajaran matematika. Namanya Bapak Paskalis Pasi. Sosok itulah yang membuat saya terinspirasi menjadi guru.

Ketika saya melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Pertama, ketertarikan saya pada pelajaran matematika semakin menurun. Alasannya karena menurut saya, guru yang mengajar mata pelajaran tersebut sangat membosankan. Meskipun ketertarikan saya pada pelajaran matematika semakin menurun, itu tidak membuat motivasi belajar saya berkurang.

Cita-cita saya menjadi guru mendapat inspirasinya lagi dari sosok seorang guru muda yang sangat cantik ketika saya duduk di bangku SMA. Waktu itu dia mengajar mata pelajaran Bahasa Indonesia. Dan mungkin karena itulah, ketika masuk perguruan tinggi saya mengambil jurusan tersebut, sampai pada akhirnya saya pun menjadi seorang sarjana pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.

Di awal tahun 2015, saya diterima untuk menjadi guru di SMPS Seminari St. Yohanes Berkhmans Mataloko, yang peserta didiknya laki-laki. Peserta didik ini dipersiapkan untuk menjadi imam Katolik. Saya tidak langsung diterima begitu saja. Proses penerimaannya dilakukan melalui tes. Yang pertama, kami mengikuti micro teaching, dan yang kedua kami diminta menulis artikel yang temanya diberikan oleh panitia.

Dari sekian banyak pelamar, saya termasuk orang yang sangat beruntung. Betapa bahagianya ketika mengetahui bahwa saya lulus tes dan diterima menjadi guru di SMPS Seminari St. Yoh. Berkhmans Mataloko.

Menjadi guru baru di lembaga pendidikan calon imam, pada awalnya membuat saya tidak merasa  percaya diri atau bisa dikatakan menyerah sebelum mencoba. Saya katakan demikian karena dalam pandangan orang, siswa yang bersekolah di SMPS Seminari St. Yoh. Berkhmans Mataloko adalah kumpulan siswa yang cerdas. Walaupun demikian saya tetap memberanikan diri untuk menghadapi situasi ini dengan sebuah tekad untuk harus bisa.

Awal ketika saya bergabung di lembaga tersebut, selain menjadi guru, ada dua tugas tambahan yang dipercayakan kepada saya. Yang pertama sebagai wali kelas VII, dan yang kedua sebagai kepala perpustakaan. Saya sangat menikmati tugas yang telah dipercayakan. Sebagai wali kelas, saya berusaha mengenal lebih dekat setiap siswa. Bahkan kadang kala berkomunikasi dengan orangtua siswa demi kemajuan anaknya. Sebagai kepala perpustakaan saya selalu berusaha menjalin komunikasi bersama tenaga perpustakaan di sela-sela waktu senggang.

Tugas tambahan tidak menghalangi panggilan saya sebagai guru. Saya masuk ruangan kelas secara tertib. Saya merasa senang saat bertatap muka dengan siswa di kelas. Segala beban yang ada di pikiran saya seolah hilang ketika bertemu dengan mereka.

Sebelum proses pembelajaran berlangsung biasanya saya terlebih dahulu menyiapkan semua perangkat pembelajaran. Dimulai dari modul ajar, LKPD, dan video pembelajaran. Materi pembelajaran yang akan diberikan kepada siswa, saya susun dengan sederhana agar siswa lebih mudah memahami.

Dalam penerapan kurikulum merdeka pembelajaran Bahasa Indonesia terdiri dari empat aspek. Yakni aspek menyimak, membaca, berbicara, dan aspek menulis. Ketika hendak mengembangkan keterampilan menyimak sering saya gunakan video, karena menurut saya dengan menayangkan video pembelajaran pada aspek ini, anak-anak dilatih  untuk lebih berpikir kritis.

Hal positif yang saya temukan ketika proses pembelajaran berlangsung adalah antusiasme sebagian besar siswa yang berlomba-lomba untuk bertanya berkaitan dengan materi yang saya sampaikan. Hal ini sungguh saya nikmati sehingga membuat saya merasa ditantang untuk terus belajar, berinovasi dan kreatif dalam menyiapkan materi dan strategi untuk selalu menghidupkan suasana kelas.

Namun, ada juga hal negatif yang saya temukan di dalam kelas. Misalnya ada siswa yang susah ditegur, siswa yang suka berpindah-pindah tempat duduk, siswa yang suka menyanyi, dan bahkan ada siswa yang tidur pada saat proses pembelajaran. Ketika menemukan hal itu, saya biasanya tidak menghukum mereka. Saya memanggil mereka dengan aura keibuan saya, kemudian menasihati mereka, memberi motivasi dan memperingatkan mereka untuk tidak mengulangi perbuatan tersebut.

Menjadi guru memang tidaklah mudah. Namun jika dijalani dengan penuh keikhlasan maka semua kelelahan yang kita rasakan dapat diganti dengan kebahagian dan kebanggaan tersendiri.

Saya berusaha memberikan yang terbaik bagi siswa. Oleh karena itu saya terus belajar. Mungkin untuk saat ini saya belum maksimal, tetapi saya yakin, dengan belajar, saya akan menjadi guru yang lebih baik. Saya selalu berharap, apa yang saya lakukan bermanfaat dan berguna bagi mereka di masa depan.

Saya bersyukur bisa mendidik anak-anak bangsa. Saya bersyukur menemukan tantangan dalam proses pembelajaran. Ada anak yang kelihatan tidak punya motivasi. Saya melihatnya sebagai kesempatan belajar memotivasi mereka.  Ada siswa yang bermasalah karena kepribadian. Saya belajar memperkokoh karakter mereka.  

Saya berusaha memperbaiki diri secara terus menerus sehingga menjadi guru yang professional dan baik. Saya berusaha segenap hati menjalani tugas panggilan sebagai seorang guru dan terus berproses dari waktu ke waktu.

Yovita1

BELAJAR DAN BERBAGI

Ibu Yovita Narsi Mat

Profesi guru termasuk salah satu pekerjaan yang mudah untuk dijalankan.  Rutinitasnya hanya berkisar dari bangun pagi lalu berangkat ke sekolah dan tengah hari sudah pasti kembali ke rumah. Jatah hari libur banyak, punya waktu yang cukup untuk berkumpul dengan orang tersayang, dan lebih leluasa mengatur agenda di musim liburan Panjang. Nikmat sekali, bukan?” Ini potongan anggapan lisan yang sering saya dengar dari orang-orang sekitar terkait profesi yang saya jalani sekarang.

Saya Yovita Narsi Mat, seorang tenaga pendidik pada SMPS Seminari St. Yoh. Berkhmans Mataloko. Saya menamatkan studi Pendidikan S1 pada tahun 2021 di Unika St. Paulus Ruteng. Tepat di tahun 2023, saya diterima menjadi tenaga pendidik di sekolah tempat saya mengabdi sekarang.

Sekolah ini merupakan sekolah swasta katolik yang hanya menerima peserta didik laki-laki – single gender school. Sebuah awal karir yang menawarkan cerita pengalaman yang unik. Saya kembali ke sekolah sebagai seorang guru (guru baru), guru perempuan, dan mengajar hanya peserta didik laki-laki.

Tugas pengabdian sebagai guru menuntut seseorang untuk menjalankannya dengan hati lapang. Ia membagi ilmu, dan sekaligus laku hidupnya diteladani. Seorang guru harus mampu membiasakan diri untuk bisa bertindak multiperan. Ruangan kelas menjadi saksi betapa guru paling handal dalam bertukar peran dari menjadi pengajar, orang tua, teman hingga sebagai sahabat yang menyenangkan. Profesi ini memang menuntut dan mengasah kesabaran.

Pengalaman menjadi guru baru menyajikan banyak cerita menarik dan menantang. Sebagai guru baru, saya mengalami banyak tantangan di awal karir. Mulai dari beradaptasi dengan situasi baru hingga pada perubahan identitas dari pelajar menjadi pengajar. Jeda waktu dari status sebagai pelajar terasa singkat; sekarang saya menjadi si pemberi pembelajaran di kelas.

Para seminaris cilik di ruangan kelas

Krisis identitas tidak lagi bisa terelakkan diawal karir ini. Di tengah keresahan ini, saya sebagai pengajar tentunya harus tetap berhadapan dengan para siswa. Mengedepankan tanggung jawab untuk mengajar dan mendidik.

Mengajar tidak rumit, namun juga tidak bisa dianggap mudah. Saya mendapatkan banyak pengalaman baru. Hal-hal praktis yang saya temukan sedikit berbeda dari teori yang saya pelajari tentang profesi guru. Pengalaman yang masih minim membuat saya belum menemukan pola mengajar yang baik dan tepat. Saya kerap kali membandingkan diri sendiri dengan orang lain.

Dalam pembelajaran di kelas, saya terkadang merasa kewalahan dalam menyeimbangkan antara ekspetasi pribadi dengan realita yang ada. Saya sering merasa belum bisa menjadi guru yang tepat untuk murid di sekolah.

“Saya merasa sudah mengajar maksimal, tetapi kenapa siswa sebagian belum juga menunjukkan kemajuan dalam belajarnya. Sepertinya saya gagal.” Sebuah keluhan yang menunjukkan betapa seringnya saya menyalahkan diri sendiri. Menuntut siswa untuk sesegera mungkin paham dengan materi yang diajarkan sementara di lain pihak mereka belum tentu terbiasa dengan kehadiran guru baru.

Menjadi guru berarti berbakti untuk kepentingan banyak individu, dalam hal ini peserta didik. Mereka adalah pribadi yang dari segi pemikiran masih berkembang dan perlu tuntunan. Saya perlu belajar untuk menurunkan ego dan ekspektasi yang kurang realistis. Saya perlu membuka diri dan merasakan suasana menjadi murid agar bisa benar-benar tahu akan bantuan apa yang mereka butuhkan. Hal ini mungkin tidak mudah untuk dilakukan.

Menghilangkan sekat antara “ aku guru dan kamu hanya muridku” membutuhkan waktu dan kesadaran penuh bahwa sekolah adalah tempat semua orang belajar, baik murid maupun guru. Pemikiran inilah yang telah menguatkan saya untuk terus berusaha dan tidak menyerah pada situasi.

Sebagai guru baru saya perlu belajar banyak hal. Melihat tantangan sebagai peluang untuk bertumbuh. “Miss, saya suka pelajaran (xx) dan lebih mudah memahami penjelasan karena gurunya baik. Kami mau diperhatikan semua”. Ini adalah pengakuan polos yang saya baca pada lembar refleksi siswa. Hal ini menyadarkan saya bahwa guru tidak bisa gegabah dalam menentukan keputusan.

Berhadapan dengan kemampuan murid yang beragam memiliki tantangan tersendiri. Kondisi di dalam kelas menunjukkan siswa tidak memiliki kemampuan yang sama. Ada siswa yang belajar dengan cepat, sebagian lainnya membutuhkan waktu untuk memahami materi yang diajarkan. Sebagai guru, tentunya saya punya tanggung jawab untuk menciptakan kelas yang inklusif, adil untuk semua.  Sekali lagi hal ini bisa terwujud dengan kerelaan membuka diri untuk belajar memahami peserta didik sekalipun jalannya tidak mudah.

Dari sekian tantangan dan keresahan yang saya alami, satu hal yang menyadarkan saya untuk tetap berjuang menjalankan profesi ini dengan sepenuh hati adalah kenyataan bahwa sebelum jadi guru saya juga pernah menyandang status sebagai pelajar. Saya belajar dari sekolah dasar, kemudian berlanjut ke sekolah menengah pertama, lalu menikmati proses di sekolah menengah atas. Perjalanan yang memakan waktu belasan tahun, lebih tepatnya 12 tahun.

Tidak berhenti di situ, saya melanjutkan pendidikan tinggi di fakultas keguruan selama empat tahun. Proses belajar yang memakan banyak waktu. Terkadang kejadian yang saya alami di kelas membawa saya kembali pada pengalaman masa lalu sebagai pelajar. Murid perlu didampingi, dan dalam proses ini seorang guru juga akan bertumbuh di dalamnya. Inilah yang saya rasakan selama setahun menjadi guru. Saya mengajar sekaligus belajar banyak dari peserta didik.

Memilih menjadi guru adalah jalan panggilan untuk selamanya belajar dan berbagi. Sekolah menjadi tempat yang paling jelas melihat pemandangan orang belajar, berjuang, sekaligus bertumbuh sebagai manusia. Saya menikmati pemandangan luar biasa ini.

Ilmu yang didapatkan kurang lebih selama enam belas tahun kembali saya dedikasikan untuk murid di sekolah. Inilah komitmen yang bisa saya berikan sebagai bentuk kontribusi terhadap perkembangan dunia pendidikan Indonesia dan wujud pelayanan memberi dengan sebaik-baiknya terhadap sesama lewat profesi guru.

Weekend11

BERIKAN CINTA TANPA MAMANDANG STATUS SILSILAH

Cinta merupakan sebuah perasaan tulus yang disampaikan dari hati. Cinta yang tulus datang dari dasar hati yang paling dalam. Cinta hadir karena sikap saling percaya. Cinta yang besar itu, dirasakan oleh seminaris saat berpastoral. Joanne Baptista Wolosambi tempatnya. Cinta yang begitu besar dan dalam itu hadir dengan penuh hangat.

Umat Wolosambi memiliki cinta yang besar terhadap seminaris. Hubungan keluarga mungkin tak ada. Namun cinta yang diberi, bak cinta kedua orang tua kandung saja. Perhitungan. Mungkin kata yang tidak mereka kenal saat memberikan kasih sayang.

Banyak kisah indah yang dilewati, bersama umat Wolosambi. Kisah indah, yang sulit untuk dilupakan. Kisah cinta seorang ibu yang begitu besar kepada anaknya. Walaupun tak punya hubungan kekerabatan, ataupun garis keturunan.

Nyaman. Kata itu sangat tepat disematkan. Untuk para umat Wolosambi. Ketulusan yang diberi, membuat kami sangat nyaman. Sangat beda sekali perlakuan yang kami alami. Saat ini, saya menyadari bahwa betapa umat menantikan kehadiran seorang calon imam di tengah mereka. Oleh sebab itu, jadilah seorang calon imam yang berpribadi baik dan berkarakter mulia. Agar presepsi umat tidak dapat dipatahkan.

Dari kebaikan umat. Saya yakin hal serupa tidak hanya seminaris rasakan saat di Wolosambi saja. Namun, dapat di mana saja jika seminaris membawa kebiasaan baik yang diperoleh saat di asrama. Sikap yang baik dan ramah, sangat diapresiasi oleh banyak orang. Para calon imam sampai diberikan respon baik oleh umat, bukan hanya status belaka. Tetapi dibalik perawakan yang beragam itu, tertanam tujuan yang sama. Yaitu sebagai para saksi Kristus.

Terima kasih Wolosambi. Banyak pelajaran yang kami peroleh. Namamu akan menghiasi segala warna yang indah dalam perjalanan imamat kami. Segala hal baik yang tercurah, akan kami terima dan akan kami tanamkan dalam hidup dan karya kami. Segala macam pemberian, akan kami kembalikan dalam bentuk doa. Dan pada akhirnya kami hanya dapat mengucapkan terima kasih yang besar terhadap keluarga besar Paroki Joanne Baptista Wolosambi. (Eskil Lou – IX B)

Weekend2

Berpastoral: Kunci Menuju Imamat

Berpastoral merupakan kegiatan kunjungan di tengah-tengah umat. Kegiatan yang berlandaskan pada pewartaan dan kesaksian hidup melalui katekese, dan lain-lain. Pada tanggal 8 – 10 Maret 2024, lembaga pendidikan calon imam SMPS Seminari Mataloko menjalankan kegiatan pastoral di Paroki St. Joanne Baptista Wolosambi. Pewartaan dan kesaksian hadir pula, melalui katekese dan kegiatan lainnya. Berpastoral menjadi bahan pokok dalam membekali calon imam menuju imamat, terkhususnya dalam mewartakan Sabda Allah.

Katekese Umat itu Penting

Katekese merupakan kegiatan pembinaan iman bagi anak-anak, kaum muda dan orang dewasa, singkatnya semua umat beriman. Katekese tersebut diajarkan secara sistematis dengan maksud mampu mengantar para pendengar memasuki kepenuhan hidup Kristiani. Katekese ini menjadi penting karena menjadi landasan pengetahuan iman. Orang beriman tentu tahu apa yang diimani dan makna yang terkandung di dalamnya. Jadi, katekese umat merupakan suatu kegiatan di mana umat berkumpul dan membahas, serta bersaksi akan Yesus Kristus dalam berbagai pandangan yang mampu menguatkan iman mereka yang berpegang pada Sabda Allah, yakni Kitab Suci.

Hidup kita harus bermakna. Panggilan itu berarti melayani sesama dalam Nama Tuhan. Pelayanan  harus mengalir dari Sabda Allah. Semua aktivitas kita mesti terarah pada tujuan utama misi Yesus, yaitu mewartakan Injil. Begitu pentingnya hal ini, Rasul Paulus pernah menandaskan hal yang sama, “celakalah aku jika aku tidak mewartakan Injil.” (1Kor. 9:18)

Semangat Mewartakan Kabar Baik

Tugas mewartakan Injil atau kabar baik adalah tugas dan panggilan anak-anak Allah. Yesus yang adalah Anak Allah mengajar para murid untuk mewartakan kabar baik ke seluruh dunia. Ia mengajak muridnya untuk tidak hanya mewartakan kebaikan keluarga atau lingkungan tertentu Yesus ingin sesuatu yang lebih, yaitu supaya baik juga Injil dirasakan oleh orang-orang di daerah lain. Dengan semangat dan antusias, Yesus mengajak muridnya untuk berangkat pagi hari.

Semangat mewartakan kabar baik, pertama-tama bersumber dari relasi dengan Allah. Melalui kedekatan dengan sang sumber kebaikan, anak-anak dimampukan menjadi pewarta kabar baik. Hal ini tampak dalam diri Yesus yang menjalin relasi dengan bapa dalam doa. Pagi-pagi benar, ia telah berjumpa dan menimba kebaikan dari Allah Bapa-Nya. Dari Bapalah, Yesus memiliki semangat untuk berbuat dan mewartakan kebaikan. Tanpa terkait pada kedekatan emosional manusiawi semata. Pembelajaran inilah yang penting bagi seluruh umat Allah dan terlebih sebagai pengikut Kristus. Jalan doa adalah sumber semangat bagi para pewarta kabar baik.

Teguh Dalam Pewartaan

Percaya dalam tindakan Roh Kudus harus selalu memandang kita untuk pergi dan mewartakan Injil, menjadi saksi iman yang berani, tetapi selain dari kemungkinan adanya tanggapan positif terhadap karunia iman, juga ada kemungkinan penalakan terhadap Injil.

Dalam situasi baik ataupun buruk, Injil atau kabar baik harus diwartakan lewat perkataan dan juga perbuatan baik. Semangat itulah yang membedakan antara pekerjaan sosial, dan anak-anak Allah. Semangat untuk mewartakan pertama-tama bukan dari aspek psikologis dan sosial, tetapi aspek rohani yang mendalam. Kesadaran sebagai makhluk rohani yang sadar bahwa segala kebaikan berasal dari Allah semata, akan mendorong anak-anak Allah untuk belajar hal-hal yang sama. Karena kita semua telah menerima apa yang baik dari Allah, maka sudah sepatutnya memberikan apa yang baik kepada sesama dan Allah. (Clovis Mere – IX C).

Weekend10

Meluncur di Tengah Umat

Komunitas SMPS Seminari Santo Yohanes Berkhmans Mataloko mengadakan kegiatan weekend periode kedua. Kegiatan itu berlangsung dari tanggal 8 – 10 Maret 2024. Pada periode kedua ini Seminari Mataloko mengunjungi Paroki Santo Joanne Baptista Wolosambi setelah pada periode pertama tahun lalu mengunjungi Paroki Santo Fransiskus dan Santa Clara Aimere. Kegiatan weekend ini merupakan kegiatan berpastoral di tengah umat yang melibatkan siswa kelas IX, kelas VIII, beberapa dari kelas VII dan para guru dan pembina.

Kegiatan ini dilakukan bukan untuk berekreasi, jalan-jalan semata, menikmati pemandangan tetapi membantu seminaris belajar mewartakan dan memberi kesaksian tentang hidup di Seminari sembari membangun kembali motivasi panggilan para seminaris dalam menjalani pendidikan sebagai calon imam.

Di paroki Wolosambi, para seminaris dibagi di setiap Stasi dan KUB. Itulah yang menjadi tantangan baru bagi masing-masing seminaris. Berusaha untuk beradaptasi dengan kebudayaan sekitar dan aktivitas harian masyarakat yang terkadang berubah-ubah membuat tantangan  semakin besar, tetapi hal itu tidak mematahkan semangat kami untuk bersaksi.

Selama weekend, kami tinggal di Stasi Sukamaju tepatnya di KUB Pohon Kehidupan dengan bapak Yosep Die sebagai ketua stasi. Keberadaan kami selama di sana, memang sedikit mengganggu kegiatan setiap keluarga yang menerima kami. Tetapi kami tetap diterima dengan baik oleh mereka. Mendapatkan perhatian yang begitu penuh dari bapa dan mama asuh dan anggota KUB, saya merasa semacam berada di rumah sendiri. Kami diperlakukan layaknya anak kandung. Walaupun terdapat banyak kekurangan tetapi mereka tetap memberikan yang terbaik dari apa yang mereka miliki.

Di sana kami juga melaksanakan beberapa kegiatan terjadwal seperti katekese bersama umat di KUB, kerja bakti, pertandingan persahabatan dengan SMPN 1 Mauponggo dan ditutup dengan perayaan Ekaristi pada hari minggu. Kegiatan ini lebih banyak melibatkan para seminaris dan umat. Lebih banyak waktu untuk bertukar cerita, berbagi pengalaman dengan umat sekitar.

Selama berada di sana banyak hal yang saya dapatkan, mulai dari pengalaman baru, tempat baru, teman baru dan keluarga baru. Bukan hanya sekedar makan durian, rambutan, tetapi bagaimana kami mencoba masuk sebagai umat dan turut serta ambil bagian dalam setiap kegiatan harian.

Weekend juga menjadi salah satu jalur panggilan bagi siswa-siswa luar yang ingin melanjutkan pendidikan di Seminari. Weekend juga bukan hanya untuk kepentingan para seminaris. Tetapi juga untuk keberlangsungan pendidikan di Seminari Mataloko yang selaras iman dan selaras zaman. (Brian Lenga – IX B)

Testing

Seminari Langsungkan Testing Penerimaan Siswa Baru

Seminari St. Yohanes Berkhmans Todabelu Mataloko melangsungkan testing penerimaan siswa baru untuk tahun pelajaran 2024/2025, Sabtu (16/03).

Testing ini merupakan testing tahap kedua yang bertempat di Seminari Todabelu Mataloko dan diperuntukkan bagi calon seminaris asal Kevikepan Bajawa, Kevikepan Mbay, dan dari luar Keuskupan Agung Ende. 

Sebelumnya, testing tahap pertama yang diperuntukkan bagi calon seminaris asal Kevikepan Ende dan dari luar Keuskupan Agung Ende, telah dilaksanakan di Rumah Bina Olangari, Jalan Melati Ende, Senin (11/03).

Sekretaris Panitia Testing, Pak Kris Bata menyampaikan bahwa calon seminaris yang mengikuti tes berjumlah 146 orang.

“Jumlahnya sebanyak 146 orang. Untuk testing tahap pertama yang dilaksanakan di Ende; calon siswa SMP sebanyak 50 orang dan 3 orang untuk siswa KPB.

Untuk tes kedua di Mataloko hari ini; calon siswa SMP sebanyak 89 orang dan 4 orang untuk calon KPB,” ungkap Pak Kris.

Jumlah ini kemungkinan akan bertambah seiring bertambahnya jumlah calon seminaris yang masuk Kelas Persiapan Bawah (KPB) yang pendaftarannya masih terus dibuka hingga akhir Juni 2024.

Bagi calon seminaris yang masuk KPB diberi kekhususan oleh pihak Seminari untuk masuk Seminari tanpa melalui jalur tes tertulis.

Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Ketua Panitia Testing, RD. Beni Lalo dalam perjumpaannya dengan para calon seminaris dan orang tua/wali calon seminaris di awal testing tahap kedua di Aula SMPS Seminari Mataloko.

“Seminari beri kekhususan untuk mereka untuk masuk tanpa melalui tes tertulis. Mereka hanya mengikuti tes wawancara. Karena itu, para calon siswa KPB yang datang pada hari ini; kamu harus berbahagia. Kamu tentu pasti lulus. Ya, jikalau ada penyakit seperti hepatitis, tentu itu menjadi halangan tersendiri. Kita beri kekhususan ini, mengingat jumlah siswa KPB yang menurun selama beberapa tahun terakhir,” ungkap RD. Beni.

Selain itu, kekhususan juga diberikan kepada calon seminaris yang berasal dari luar Pulau Flores.

“Kita juga beri kekhususan untuk calon seminaris yang berasal dari luar Pulau Flores. Mereka tidak mengikuti tes wawancara dan tes tertulis. Mereka hanya mengirimkan biaya kontribusi untuk panitia testing. Kita pahami, karena jarak dan biaya yang juga tidak mudah untuk sampai ke dua tempat tes ini”, terang RD. Beni.

Dalam perjumpaannya dengan para calon seminaris dan orang tua/wali calon seminaris di akhir testing, Romo Beni menyampaikan bahwa hasil testing akan dikirim ke Paroki masing-masing calon seminaris dan akan diumumkan oleh Pastor Paroki saat Minggu Paskah atau satu Minggu setelah Pekan Suci. (Bayu Tonggo).