Pater-Paul-Budi-Kleden-3975846948

SELAMAT DATANG MGR. PAUL BUDI KLEDEN, SVD

Terpilihnya Mgr. Paul Budi Kleden, SVD sebagai Uskup Agung Ende yang baru disambut sangat antusias. Banyak sekali whatsapp group di mana para imam bergabung, dan di sana mengalir rasa syukur penuh kegembiraan atas terpilihnya Bapak Uskup Agung kita.

Pagi ini (Minggu, 26/5/24) di paroki-paroki, saya yakin ada doa syukur, karena hanya dalam setengah tahun masa sede vacante, doa-doa umat se-Keuskupan Agung Ende terkabulkan. Dan bahwa yang terpilih adalah salah satu dari misionaris kita, mungkin ini sejalan dengan dan sekaligus menegaskan arah-dasar Gereja Keuskupan Agung Ende yang mandiri, solider, injili, dan misioner.

Biasanya para misionaris, SVD khususnya di Keuskupan Agung Ende, mengarahkan perhatiannya ke luar wilayah keuskupan. Dengan terpilihnya Mgr. Paul Budi Kleden, SVD, ada semacam gerak balik, mungkin untuk mengingatkan bahwa setiap medan pastoral adalah medan misioner.

Begitu mendengar nama Mgr. Paul Budi Kleden, SVD, saya teringat sederetan nama para Uskup SVD yang melayani Gereja Keuskupan Agung Ende, dari awal berdirinya. Saat umat se-keuskupan berdoa bagi pemilihan Uskup yang baru, nama-nama para Uskup itu disebut satu persatu, dalam satu tarikan napas dengan para Uskup dari kalangan imam diosesan, lengkap dengan moto tahbisan episkopal yang memperkaya.

Mgr. Petrus Noyen, SVD dengan moto “Mutiara dari Timur”; Mgr. Arnoldus Vestraelen, SVD dengan moto “Bagi Allah dan jiwa-jiwa”; Mgr. Henricus Leven memilih moto “Salam, O, Salib, satu-satunya Harapan”; disebutkan juga para uskup dari Jepang, yakni Mgr. Paulus Yamaguchi dan Mgr. Aloysius Ogihara, SJ, yang menjadi perpanjangan tangan Tuhan yang memelihara umat di saat krisis. Lalu disebutkan Mgr. Antonius Thijssen, SVD yang mengusung moto “Di dalam SabdaMu”; Mgr. Gabriel Manek, SVD bermotokan “Bunda Maria, Pelindung segala Bangsa”; Mgr. Donatus Djagom, SVD mengambil moto “Mari Kita Wartakan Kristus yang Disalibkan”; Mgr. Abdon Longinus Da Cunha mempunyai moto “Mendengarkan dan Mewartakan”; dan moto Mgr. Vinsensius Sensi Potokota adalah “Beritakanlah Firman, Baik atau Tidak Baik Waktunya”.

Tampak sekali semangat misioner yang universal dan terbuka yang menembus sekat-sekat primordial: pribumi non pribumi, Eropa-Asia, penjajah-jajahan, imam diosesan-imam tarekat. Semangat misioner itu serasa mengalir dari waktu ke waktu dan menggembalakan umat Keuskupan Agung Ende.

Saat ini, ketika Mgr. Paul Budi Kleden, misionaris SVD, terpilih menjadi Uskup Agung Ende yang baru, rasanya semangat misioner itu sama sekali tidak hilang dalam lintasan sejarah, bahkan, atas bimbingan Roh, bernyala dengan cemerlang. Maka pantas kalau umat bergembira, dan kita semua merayakan berita ini dengan rasa syukur yang besar, hari ini, persis pada Pesta Tritunggal Mahakudus. Selamat datang Bapak Uskup!

Kalau terpilihnya Mgr. Paul Budi Kleden, SVD dikaitkan dengan kaderisasi para imam, baik imam diosesan maupun imam tarekat, taruhan kaderisasi bukanlah pada terpilihnya seseorang menduduki jabatan tertentu dalam gereja, seakan-akan tidak ada ruang lagi bagi The Invisible Hand yang mengorkestrasi semua ini. Taruhan kaderisasi, bagi saya, letaknya pada kualitas pelayanan sehari-hari dengan semangat misioner yang tidak pudar dalam tugas apa pun yang dipercayakan gereja kepada kita.

Semua kita mengenal Bapak Uskup Agung kita yang baru ini, baik kompetensi intelektualnya, kerohanian, kepribadian, maupun keluasan hatinya. Bagi saya ini berkat yang luarbiasa bagi gereja lokal kita.

Saya teringat tahun 2018 sesudah Mgr. Budi dipilih jadi Superior General SVD. Dia jalan-jalan ke Mataloko. Saat itu sudah sore. Saya sedang berada di English Room bersama sejumlah anak. Saya terkejut bukan main. Spontan saya peluk dia, dan saya katakan pada anak-anak, “He anak-anak, tahu tidak, ini Pater Superior General SVD yang baru, pemimpin tertinggi SVD sedunia!”

Anak-anak terkesima. Pater Budi, seperti biasa, sangat sederhana, sangat rendah hati. Tidak terasa ada tendensi megalomania pada dirinya, padahal semua orang tahu, dia raksasa.

Sesudah dia tinggalkan English Room, saya terdiam. Orang besar ini begitu manusiawinya, begitu bersahajanya. Saya merasa seperti temannya, saudaranya, padahal saya tahu, dan anak-anak tahu, betapa saya sering konyol, dan tidak ada model.

Sekarang dia bapak Uskup saya, Mgr. Paul Budi Kleden, SVD. Sebentar lagi saya akan cium tangannya, meletakkan tanganku di dalam genggaman tangannya. Rasanya ini rahmat.

Kadang saya bertanya, apakah spirit misioner itu masih mengalir deras dalam nadiku?

Mgr. Noyen naik kuda, jalan kaki dari ujung timur Flores sampai ujung barat Labuan Bajo. Mereka pasti capai sekali. Namun itu bukan alasan bagi mereka untuk menimba kekuatan misioner lewat brevir, doa rosasio, baca Kitab Suci, dan terutama Ekaristi.

Paul Arndt, SVD, P. Herman Bader, SVD, Pater Glinka, SVD, untuk menyebut beberapa nama, pioner dalam menyelami hati terdalam dari umat dalam nilai-nilai budaya.

Mereka tidak besar karena pewartaan mereka tentang dirinya. Mereka besar karena melalui karya mereka kita lebih mengenal kedalaman diri kita sebagai orang Flores, local wisdom yang ternyata tak ternilai.

Dan mereka sendiri, dengan kedalaman refleksi dan penguasaan pengetahuan menjadi artikulator dari kebernasan budaya kita. Mereka mengekspresikan teologi kebijaksanaan yang dihayati orang-orang kita.

Pater Hubert Hermens SVD, Pater Mommersteg, SVD, untuk menyebut beberapa, adalah pastor paroki, tapi bau tanah Flores yang mereka hirup membuat para petani, nenek moyang kita, orang-orang kita, berjalan dengan kepala tegak.

Semangat misioner itu tidak pernah hilang dalam lintasan sejarah.

Namun, terkadang saya pikir, mungkin urat nadi yang mengalirkan darah misioner itu sudah mulai tersumbat oleh berbagai kolestrol, di era invasi teknologi dengan turbulensinya yang tinggi ini, di era di mana hidup jadi gampang tapi cenderung menyukai yang maya, tawaran gaya hidup menggiurkan dan enak tapi hilang kedalaman.

Jadi terpilihnya Mgr. Paul Budi Kleden, SVD rasanya tepat pada waktu Tuhan, untuk menjadi tanda nyata bahwa semangat misioner itu harus tetap mengalir dalam urat nadi keberimanan dan pastoral kita.

Karena itu, mari kita bersatu hati mendoakan Bapak Uskup kita yang baru, dan karya misioner di Keuskupan Agung Ende (Nani Songkares).

John Berchmans

SANTO YOHANES BERKHMANS

Pelindung para pemuda calon imam

Santo Yohanes Berkhmans dilahirkan di Diest, Belgia, tanggal 13 Maret 1599, sebagai anak sulung dari 5 bersaudara.

Ketika hendak bersekolah, ia tinggal bersama Pastor Pieter van Emmerich. Ia terkenal sopan, rajin berdoa dan senang menjadi misdinar. Ia juga senang menyendiri untuk meditasi dan berdoa dan mempunyai kebaktian khusus kepada Sengsara Tuhan Yesus dan Santa Perawan Maria.

Di sekolah, Yohanes Berkhmans terkenal sebagai anak pintar dan rajin belajar. Ia bertekad untuk menjadi imam dan karena terus bertekad belajar untuk menjadi imam, ia pindah ke kota Mechelen untuk meneruskan studinya. 

Di sana ia menjadi teladan dalam kebaikan dan kesucian hati tidak hanya bagi anak-anak, tapi juga bagi orang besar. Ia mengerjakan apa saja dengan rajin dan sabar. Ia sangat bersahaja.

Yohanes Berkhmans memilih masuk Ordo Jesuit tanggal 24 September 1616 karena kerelaan hatinya berserah diri kepada Tuhan. Maxime facere minima: Perhatikan dengan sungguh hal-hal kecil. Itu salah satu tulisan yang ditemukan di buku catatan Yohanes Berkhmans.

Ia mangatakan “Kasih akan kebajikan sangat nyata dalam perhatian dan kesetiaan pada perkata-perkara kecil”. Karena kebajikan-kebajikan yang dimilikinya, ia sangat disenangi teman-temannya.

Ia suka mengerjakan pekerjaan-pekerjaan kotor, ia suka mengkontemplasikan salib Tuhan dan merasakan kebahagiaan dari salib. Teman-teman menganggapnya sebagai orang kudus, malaekat. 

Ia pernah berkata: “Saya ingin menjadi kudus dalam waktu yang singkat”. Ia juga berkata: “Jika saya tidak dapat menjadi kudus pada masa mudaku, saya tidak akan pernah menjadi kudus”.

Namun Yohanes Berkhmans tidak menjadi kudus karena perbuatan besar, tetapi karena perbuatan biasa yang dilakukan dengan kesungguhan hati yang luarbiasa. Maka apapun yang ditugaskan atau diperintahkan padanya, biar kecil, dilakukannya dengan sungguh-sungguh dan dengan senang hati.

Katanya: “Multum facere, parum loqui” – banyak bekerja, sedikit bicara. Dan itu dilakukannya dalam keseharian hidupnya. 

Ia menjalani hidup dengan ringan, dengan keceriaan dan kegembiraan, sehingga teman-temannya menjulukinya “frater hilaris”, frater yang ceria. Motonya: Semper ridens. – Senantiasa tertawa/bergembira.Tanggal 25 September 1618 Yohanes Berkhmans mengucapkan kaul pertamanya sebagai anggota Yesuit.  

Yohanes Berkhmans menjalani tugas belajar filsafat di Universitas Gregoriana Roma. Selama masa studinya, ia terkenal karena kebaktiannya yang luarbiasa kepada Sakramen maha Kudus dan Santa Maria serta para Orang Kudus.

Sapaan khasnya untuk menghormati Sakramen Mahakudus dan Bunda Maria adalah “Ave Maria, Ave venerabile Sacramentum” (Salam Maria, Salam ,o, Sakramen yang patut dihormati). Tentang Bunda Maria sendiri ia berkata: “Santa Maria dapat mengusir pikiran jahat dalam diri seseorang hanya dengan memandang wajahnya”. Ia juga sangat mencintai Santo Aloysius.

 Yohanes Berkhmans juga adalah teladan dalam ketaatan. Ia sangat mencintai hidup berdasarkan kaul-kaul yang diikrarkannya. Ia juga seorang yang rendah hati. Ia akan patuh pada siapapun, betapapun orang itu sederhana.

Tentang kepatuhannya pada seorang Bruder pengurus koster yang sederhana ia berkata: “Saya taat pada bruder sebagaimana saya taat pada Kristus”.  

Ia juga sangat baik dan ramah terhadap teman-temannya. Ia selalu dapat mendamaikan orang-orang atau kelompok-kelompok yang bertikai. Ia selalu menolong teman-temannya yang mengalami kesulitan dalam belajar.  Ia senang membahagiakan orang lain. Ia tidak suka mencari-tahu atau membicarakan kesalahan orang lain.

Ia berkata kepada dirinya sendiri: “Ingatlah kesalahanmu sendiri dan jangan memperhatikan kesalahan orang. Kalau engkau melihat satu kesalahan yang dibuat orang lain, amatilah kelakuanmu sendiri dan berdoalah untuk orang tersebut, agar ia memperbaiki kesalahannya”. 

Sebaliknya, ia berusaha menemukan kebaikan yang ada pada diri setiap orang. Ia menulis sekurang-kurangnya satu kebaikan yang dimiliki setiap orang dalam buku catatannya.

Di tahun-tahun terakhir menjelang kematiannya, kehidupan Yohanes Berkhmans semakin religius. Ia menulis dalam catatannya: “Caritas; fugere otium: vivere in horas” (harafiah berarti: Cinta; berlarilah jika anda tidak berbuat sesuatu pun; hiduplah hanya untuk saat ini). Maksudnya: “kerjakan segala sesuatu dengan kepenuhan cinta, seakan-akan hidupmu hanya saat ini”. Maxime facere minima!

Ia lebih peduli pada hal-hal rohani daripada hal-hal duniawi. Ia mengerjakan hal-hal biasa, kecil dan kotor untuk melayani sesamanya. Tapi setiap kali ia mengerjakannya, ia selalu berdoa, membiarkan diri berada di hadirat Allah. Tak satu pekerjaanpun yang tidak dimulainya dengan berdoa. Karena itu ia selalu mengerjakan segala sesuatu dengan sungguh-sungguh dan sempurna.

Ia juga sering berbuat tapa, seperti tidak makan pagi, menyesah dirinya tiga kali seminggu, tidak tidur siang, dll. Di bulan terakhir hidupnya, semakin sering ia bertapa dan berdoa. Juga semakin banyak waktu digunakannya untuk membantu sesamanya, khususnya mereka yang mengalami kesulitan dalam belajar. Ia bahkan mewakili biaranya berdebat dengan seorang ilmuwan tentang alam.

Pada pesta St. Ignasius Loyola, 31 Juli 1621, Yohanes Berkhmans mendapat satu kertas dengan nama seorang kudus yakni Santo Zephyrinus. Di kertas itu tertulis: “Videte et vigilate, nescitis enim quando tempus sit” – berjaga-jagalah dan berdoalah karena kamu tidak tahu kapan saatnya tiba (Mrk. 13:33).

Yohanes Berkhmans merasa ini merupakan peringatan dari Tuhan bahwa kematiannya makin mendekat. Ia senang akan hal itu, karena telah lama ia rindu memandang wajah Allah. Ia teringat Santo Stanislaus Kostka. Ketika Santo Petrus Canisius mengatakan kepadanya “Hiduplah tiap-tiap bulan seakan-akan itulah bulanmu yang terakhir”, Santo Stanis merasa bahwa perkataan itu cocok untuk dirinya. Ia memang meninggal kemudian. Hal yang sama terjadi pada Santo Yohanes Berkhmans.

            Hari-hari terakhir menjelang kematiannya Yohanes Berkhmans hanya bisa terbaring di kamarnya karena lemah dan tak berdaya. Namun ketika dibawakan kepadanya Sakramen Mahakudus, Yohanes Berkhmans bangun, lalu berlutut dan sambil memandang Sakramen Mahakudus ia berkata: “Saya percaya ini sungguh Putra Allah Bapa yang Maha Kuasa, Putra Santa Perawan Maria. Saya mau hidup dan mati sebagai anak yang setia dari Gereja Katolik dan Apostolik. Saya mau hidup dan mati selaku anak yang setia dari Santa Perawan Maria, saya mau hidup dan mati selaku anak yang setia dari Serikat Yesus”.

Ia pun minta agar ia diberikan Salib, Rosario dan  buku Pedoman Serikat Yesus, yang dipandangnya sebagai senjata hidupnya. Di saat terakhir ketika mengalami godaan setan, ia memegang salib, rosario dan buku Pedoman tersebut dan berkata: “Inilah senjataku. Alangkah bercahayanya salibku ini, laksana emas! Alangkah bersinarnya Rosarioku ini”. Ia lalu membukakan buku Pedoman dan membaharui kaul-kaulnya.

Yohanes Berkhmans menghembuskan nafas terakhir di pagi hari, 13 Agustus 1621, sebagai frater dari Serikat Yesus.

Banyak tanda heran dialami setelah kematian pemuda kudus yang dijuluki “Santo Aloysius yang baru” ini. Tentang tanda heran ini, Pater Cepari, seorang pembinanya di Roma, mengatakan bahwa tanda heran yang lebih besar dari kekudusan Yohanes Berkhmans adalah  hormat yang diberikan kepadanya sesudah kematian.

Pater Cepari berkata: “Siapakah yang mengetahui berapa banyak pemuda yang tergerak oleh teladan kesucian Yohanes Berkhmans, siapa yang mengetahui berapa banyak orang yang luput dari perbuatan cabul karena berdoa kepadanya, berapa banyak orang yang meninggalkan dunia dan masuk ke biara-biara. Barangsiapa menyaksikan semua itu, ia harus berkata: Digitus Dei est hic – Jari Tuhan ada di sini!”

Tahun 1865 ia digelari Beato dan tanggal 15 Januari 1888, ia digelari kudus bersama Santo Petrus Claver dan Santo Alphonsus Rodriquez (Nani Songkares).

Weekend2

Berpastoral: Kunci Menuju Imamat

Berpastoral merupakan kegiatan kunjungan di tengah-tengah umat. Kegiatan yang berlandaskan pada pewartaan dan kesaksian hidup melalui katekese, dan lain-lain. Pada tanggal 8 – 10 Maret 2024, lembaga pendidikan calon imam SMPS Seminari Mataloko menjalankan kegiatan pastoral di Paroki St. Joanne Baptista Wolosambi. Pewartaan dan kesaksian hadir pula, melalui katekese dan kegiatan lainnya. Berpastoral menjadi bahan pokok dalam membekali calon imam menuju imamat, terkhususnya dalam mewartakan Sabda Allah.

Katekese Umat itu Penting

Katekese merupakan kegiatan pembinaan iman bagi anak-anak, kaum muda dan orang dewasa, singkatnya semua umat beriman. Katekese tersebut diajarkan secara sistematis dengan maksud mampu mengantar para pendengar memasuki kepenuhan hidup Kristiani. Katekese ini menjadi penting karena menjadi landasan pengetahuan iman. Orang beriman tentu tahu apa yang diimani dan makna yang terkandung di dalamnya. Jadi, katekese umat merupakan suatu kegiatan di mana umat berkumpul dan membahas, serta bersaksi akan Yesus Kristus dalam berbagai pandangan yang mampu menguatkan iman mereka yang berpegang pada Sabda Allah, yakni Kitab Suci.

Hidup kita harus bermakna. Panggilan itu berarti melayani sesama dalam Nama Tuhan. Pelayanan  harus mengalir dari Sabda Allah. Semua aktivitas kita mesti terarah pada tujuan utama misi Yesus, yaitu mewartakan Injil. Begitu pentingnya hal ini, Rasul Paulus pernah menandaskan hal yang sama, “celakalah aku jika aku tidak mewartakan Injil.” (1Kor. 9:18)

Semangat Mewartakan Kabar Baik

Tugas mewartakan Injil atau kabar baik adalah tugas dan panggilan anak-anak Allah. Yesus yang adalah Anak Allah mengajar para murid untuk mewartakan kabar baik ke seluruh dunia. Ia mengajak muridnya untuk tidak hanya mewartakan kebaikan keluarga atau lingkungan tertentu Yesus ingin sesuatu yang lebih, yaitu supaya baik juga Injil dirasakan oleh orang-orang di daerah lain. Dengan semangat dan antusias, Yesus mengajak muridnya untuk berangkat pagi hari.

Semangat mewartakan kabar baik, pertama-tama bersumber dari relasi dengan Allah. Melalui kedekatan dengan sang sumber kebaikan, anak-anak dimampukan menjadi pewarta kabar baik. Hal ini tampak dalam diri Yesus yang menjalin relasi dengan bapa dalam doa. Pagi-pagi benar, ia telah berjumpa dan menimba kebaikan dari Allah Bapa-Nya. Dari Bapalah, Yesus memiliki semangat untuk berbuat dan mewartakan kebaikan. Tanpa terkait pada kedekatan emosional manusiawi semata. Pembelajaran inilah yang penting bagi seluruh umat Allah dan terlebih sebagai pengikut Kristus. Jalan doa adalah sumber semangat bagi para pewarta kabar baik.

Teguh Dalam Pewartaan

Percaya dalam tindakan Roh Kudus harus selalu memandang kita untuk pergi dan mewartakan Injil, menjadi saksi iman yang berani, tetapi selain dari kemungkinan adanya tanggapan positif terhadap karunia iman, juga ada kemungkinan penalakan terhadap Injil.

Dalam situasi baik ataupun buruk, Injil atau kabar baik harus diwartakan lewat perkataan dan juga perbuatan baik. Semangat itulah yang membedakan antara pekerjaan sosial, dan anak-anak Allah. Semangat untuk mewartakan pertama-tama bukan dari aspek psikologis dan sosial, tetapi aspek rohani yang mendalam. Kesadaran sebagai makhluk rohani yang sadar bahwa segala kebaikan berasal dari Allah semata, akan mendorong anak-anak Allah untuk belajar hal-hal yang sama. Karena kita semua telah menerima apa yang baik dari Allah, maka sudah sepatutnya memberikan apa yang baik kepada sesama dan Allah. (Clovis Mere – IX C).

Taize1

SEMBAH BAGI-MU DALAM HENINGNYA DOAKU

Oleh: Anjelo Jago (IX A)

Taize merupakan kegiatan rohani yang sudah tidak asing lagi di telinga para seminaris. Pasalnya, ibadat taize telah menjadi satu event pokok dalam kalenderium asrama SMPS Seminari St. Yohanes Berkhmans Mataloko dalam bidang pengembangan rohani. Kegiatan ini dilaksanakan dengan tujuan agar para seminaris dapat meningkatkan spiritualitas hidup rohani ke arah yang lebih baik. Dalam kegiatan ini, seminaris dituntut agar dapat mengalahkan rasa kantuk dan memusatkan seluruh perhatian kepada Firman Allah serta renungan yang dibawakan oleh Frater yang memimpin ibadat taize.

Makna dan Pengertian Taize

Ibadat Taize adalah bentuk ibadat yang unik dan menarik, yang berasal dari desa Taize, sebuah desa kecil di Perancis yang terletak di wilayah Burgundy. Ibadat Taize dikenal karena musiknya yang khas, dengan lagu-lagu yang sederhana, ringkas, dan diulang-ulang dengan irama yang tenang dan mengalun. Ibadat ini dimulai dengan waktu kesunyian yang cukup lama, kemudian dilanjutkan dengan bacaan dari Alkitab dan doa-doa yang dipimpin oleh seorang pemimpi ibadat. Musik menjadi bagian penting dari ibadat Taize, yang membekali suasana yang tenang dan hening, serta memperluas hubungan antara umat dengan Tuhan.

Ibadat Taize mendorong konsep kebersamaan, persatuan, dan kedamaian antara umat manusia, serta kesederhanaan dan keheningan dalam beribadat. Selain itu, ibadat ini juga mempromosikan pentingnya meditasi dan kontemplasi dalam proses ibadat. Ibadat Taize telah menjadi salah satu bentuk ibadat yang popular di seluruh dunia, dan seringkali diadakan dalam acara-acara ekumenis atau interfaith.

Mencari Diri-Nya Melalui Doa

Pada kesempatan kali ini, tema renungan yang diangkat adalah “Bagaimana Mencari Sebuah Tempat Bernama Surga”? Di zaman yang penuh dengan kemudahan ini, berbagai tempat dapat ditelusuri dengan bantuan google maps. Mau sekolah, tempat wisata, semua tempat pasti akan terjangkau dengan mudahnya. Tapi, apakah google maps dapat menjangkau sebuah tempat bernama ‘Surga’?

Tentu, jawabannya tidak. ‘Surga’ mempunyai google maps-nya sendiri. Google maps yang hanya dapat dipakai melalui doa dan karya kita di dunia, kendati google maps tersebut tidak muncul dalam bentuk aplikasi di handphone atau gadget yang kita miliki. Maksudnya, kita hanya dapat menemukan ‘Surga’ apabila kita dapat memaksimalkan doa dan amal bakti kita selama berada di dunia. Surga adalah tempat yang diinginkan oleh semua orang beriman, namun sulit untuk dicapai lantaran kita sendiri yang menjauhkan diri dari tempat tersebut.

Surga bukan hanya nama sebuah tempat di alam baka. Kata ini juga bertindak untuk menyatakan kondisi pribadi dan lingkungan bagi sesama. Kondisi yang disebut surga adalah kondisi dimana kita dapat mewujudkan situasi yang kondusif bagi sesama menuju perdamaian.

Mewujudkan Surga Melalui Heningnya Doa

Kita dapat mewujudkan ‘kondisi Surga’ melalui banyak cara. Salah satunya adalah melalui cara menciptakan keheningan. Keheningan dapat dinyatakan sebagai perwujudan dari seseorang yang dapat mengondisikan suara.

Taize membantu kita agar dapat mencapi keheningan dalam doa. Dengan mencapi kehenigan, seorang seminaris dapat masuk lebih dalam melalui doa. Pendalaman doa membantu seminaris agar dapat memperat hubungan dengan Allah.

Selain keheningan, taize juga mengajak seminaris untuk mengalahkan rasa kantuk, yang kita ketahui bersama sebagai momok dalam setiap aktivitas rohani di lembaga ini. Kiranya, taize dapat menjadi sarana bagi para seminaris agar dapat mengesampingkan nafsu ragawi, dan berfokus pada keilahian Sang Pencipta (Editor: Fr. Orsan, OFM)

DAK1

PROYEK DENGAN DAK, JAWABAN SEBUAH MIMPI

Oleh: P. Anton Waget, SVD

Sedari momen pelantikan menjadi kepala sekolah, 17 Februari 2023, saya sadar bahwa posisi kepala sekolah adalah sebuah amanah atau kepercayaan yang diberikan kepada saya. Di dalam kepercayaan ini terkandung perintah, tanggung jawab, dan kewajiban yang harus saya penuhi supaya seluruh proses pendidikan berjalan lancar dan kualitasnya terus ditingkatkan.

Mohon izin saya memperkenalkan diri. Nama lengkap saya Antonius Waget. Karena saya seorang imam Katolik, maka saya selalu disapa Pater Anton, SVD. Setelah ditahabiskan pada 1998, saya dikirim untuk bekerja di Botswana, Afrika (1999-204). Setelah perawatan kesehatan selama tahun 2005, saya ditugaskan untuk mengajar Bahasa Inggris di SMA dan Agama di SMP Seminari St. Yohanes Berkhmans Mataloko sejak Januari 2006.

Untuk meningkatkan profesionalitas, saya mengambil Pendidikan Bahasa Inggris di Universitas Sanata Dharma (2009 – 2014). Sekembali dari sana, saya diberikan kesempatan mengajar bahasa Inggris pada jenjang SMP sampai pada hari pelantikan 17 Februari 2023.

Renovasi dan Pengadaan Sarana Prasarana Penunjang

Tanggung jawab sekaligus tantangan pertama yang saya hadapi adalah merenovasi ruang-ruang kelas dan pengadaan sarana prasarana penunjang. Lembaga pendidikan yang dibangun pada 1929 ini amat butuh direnovasi karena dimakan usia, dan amat perlu dilengkapi berbagai sarana penunjang lainnya.

Tentu hal ini sudah dilakukan dengan luar biasa oleh para kepala sekolah pendahulu saya. Banyak sekali bangunan yang sudah direnovasi. Kapela, dan kamar makan, misalnya, telah direnovasi dan menjadi layak pakai. Sebagian ruang kelas juga telah mengalami renovasi. Terima kasih Romo Kristo Betu, Pr, dan Rm. Gabriel Idrus, Pr.

Namun, karena kompleks SMP Seminari luas, tidak semua ruang kelas direnovasi. Sebagian ruang kelas yang belum renovasi, keadaannya memprihatinkan. Dinding kusam, lantai berlubang, atap bocor. Hal ini sangat mengganggu proses pembelajaran. Apalagi kalau musim hujan tiba. Mimpi peningkatan kualitas pendidikan itu besar. Namun, tanpa sarana dan prasarana yang memadai, mimpi akan susah menjadi kenyataan.

Perabot yang ada di dalam kelas tidak kalah memprihatinkan. Kursi dan meja yang dipakai siswa banyak yang rusak. Bagaimana mungkin siswa bisa betah di dalam sebuah ruangan kelas tanpa sarana dan prasarana yang memadai. Disiplin belajar perlu mendapat dukungan secara fisik berupa adanya sebuah belajar dengan perabot yang memungkinkan mereka betah dan nyaman belajar.

Selain itu, keseluruhan kompleks SMP Seminari Mataloko luas sekali. Ruangan kelas memanjang hampir dua kali lapangan sepakbola. Itu menyulitkan pemantauan dan kontrol. Tanpa pemantauan dan kontrol yang baik siswa yang berada pada masa akil-balik dapat melakukan tindakan-tindakan indisipliner yang merugikan proses belajar, bahkan merusak. Apalagi pada jam-jam studi sore dan malam, ketika guru tidak berada di tempat.

Kecuali itu, setiap langkah kreatif dan positif dari seorang guru bersama para siswa di kelas akan luput dari perhatian Kepala Sekolah. Padahal jika Kepala Sekolah dapat memantau proses-proses pembelajaran seperti itu, tentu akan membantu guru saling meneguhkan dan menginspirasi, kelas yang satu dapat belajar dari keunggulan kelas yang lain. Itu sebabnya pengadaan CCTV sangat membantu.

Sarana lain yang amat dibutuhkan ialah LCD. Sarana ini amat membantu para guru mempresentasikan bahan-bahan ajarnya. Juga sarana ini amat mempermudah para siswa menangkap semua materi yang diajarkan di dalam kelas, dan mereka juga ditantang menjadi aktif dan kreatif dengan melakukan presentasi yang menarik.

Sudah tiba waktunya papan tulis putih harus dipasang di dalam kelas. Papan lama yang terbuat dari kayu sudah lama tidak dipakai. Selain karena semuanya sudah berlubang, juga karena penggunaan kapur tulis sudah bukan zamannya lagi.

Bantuan Pemerintah dan Pemerhati Pendidikan

Bagai  gayung bersambut, mimpi saya terjawab. Setelah sebulan dilantik, saya mendapat informasi dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Ngada bahwa SMPS Seminari Mataloko mendapat bantuan dari Jakarta sebesar Rp 1,209,529,930,00. Rp 685,655,980 diperuntukan merehab tiga ruang kelas. Rp 91,539,150 diperuntukkan merehab tiga toilet para guru, ruang tata usaha, ruang kepala sekolah, dan ruang guru. Rp 166,298,450 diperuntukkan membangun baru toilet siswa. Dan Rp 266,036,350 diperuntukan membangun gedung baru, yakni Unit Kesehatan Sekolah.

Sejujurnya, tanpa bantuan pemerintah pusat ini, saya tidak bisa memulai apa-apa. Dana dari sekolah sendiri tidak ada. Sistem pengelolaan dana ini adalah swakelola. Maka berdasarkan gambar dan dicocokkan dengan Rancangan Anggaran Belanja (RAB) saya belanja bahan-bahan bangunan. Pihak Dinas pun mengizinkan saya belanja bahan bangunan yang kualitasnya di atas ketetapan RAB.

Pada dasarnya saya mementingkan kualitas bangunan yang bertahan puluhan tahun. Maka selain kualitas bahan bangunan, saya juga mendatangkan tenaga kerja asal Jawa. Kualitas kerja mereka jauh dari pada tukang lokal. Kosekuensi yang ditanggung selama proses pengerjaan ini ialah risiko defisit anggaran, sekitar Rp 150an juta. Tapi hal ini bisa diatasi ketika banyak sahabat dari dalam maupun luar negeri turut membantu.

Saat ini para siswa dan para guru sedang menikmati fasilitas yang hampir 100% rampung dibangun itu. Kepala Sekolah dan para pegawai bisa bekerja dengan nyaman di dalam ruangan yang luas dan dilengkapi dengan toilet. Selain menikmati fasilitas toilet yang bersih, para guru pun bisa menayangkan bahan ajarnya dengan menggunakan fasilitas LCD. Mereka bisa menuliskan bahan ajarnya pada dua papan putih yang bebas kapur tulis itu. Para siswa pun bisa membaca bahan ajar yang ditayangkan gurunya. Toilet terdekat pun sudah siap melayani kebutuhan mereka.

All the Universe Conspires

Tentu saja, semua sarana prasarana ini diperbaharui dan dibangun agar manusianya berkualitas. Saya ingin menumbuhkan kesadaran dari para guru dan pegawai tentang pentingnya pelayanan pada waktunya. Saya ingin juga memfasilitasi proses pembelajaran yang saling menumbuhkembangkan. Saya ingin pengalaman positif yang satu menggerakkan pengalaman positif yang lain. Saya ingin juga membantu memaksimalkan kemerdekaan dan kenyamanan belajar para siswa, dan menguatkan karakter mereka. Saya yakin, renovasi, pembangunan baru, dan pengadaan sarana prasarana yang memadai membantu mewujudkan semua keinginan di atas.

Dalam artikel ini yang mau saya tonjolkan prinsip yang menjadi pedoman kerja saya ialah kualitas pendidikan di lembaga ini yang lima tahun lagi genap satu abad. Kualitas pendidikan di lembaga ini amat ditentukan oleh kualitas Kepala Sekolah, guru, pegawai, dan siswa. Kualitas dari keempat komponen ini amat turut ditentukan oleh ketersediaan sarana dan prasarana yang andal. Maka saya bersyukur sekali kepada Tuhan. Dia menjawabi mimpi saya melalui kemurahan hati Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang menurunkan Dana Alokasi Khusus ke SMP Seminari pada awal masa jabatan saya ini. Seluruh proses pembangunan rampung pada bulan Februari, bulan pelantikan saya sebagai Kepala Sekolah.

 Kualitas Pendidikan yang mau ditingkatkan adalah terjemahan dari kepercayaan dan tanggung jawab yang sudah diletakkan di pundak saya pada hari pelantikan. Usaha peningkatan semangat kerja para guru dan pegawai, dan semangat belajar para siswa adalah prioritas yang akan dilakukan sebagai pengejawantahannya.

Sebelum menutup goresan ini, saya mau menyampaikan satu keyakinan besar yang saya miliki saat ini yakni setiap kepala sekolah di seantero Nusantara sudah menggantung mimpi-mimpi besarnya di langit untuk meningkatkan kualitas pendidikan di sekolahnya sendiri.

Asal kita mau melayani dengan tulus, dan bekerja sekuat tenaga untuk menggapai cita-cita kita, maka “All the universe conspires” – seluruh alam semesta akan mendukung, kata Paulo Coelho.

Tambahkan Teks Tajuk Anda Di Sini

Tobat3

PERTOBATAN: JALAN MENUJU KESEMPURNAAN

Kita merupakan manusia yang tidak akan pernah luput dari dosa. Sering kali kita jatuh ke dalam dosa tanpa rasa ketakutan. Pertanyaannya adalah apakah kita menyesali dosa-dosa yang telah kita lakukan selama ini? Jika ya, maka kita tentunya akan memiliki rasa penyesalan yang dalam terhadap Tuhan. Satu-satunya cara untuk membayar dosa-dosa dan rasa penyesalan tersebut adalah dengan pertobatan. Pertobatan akan menghantar kita kembali kepada Allah dan merasakan kedamaian di dalam pelukan kasih-Nya.

Panggilan Untuk Bertobat

Sebagai seorang Katolik, secara khusus sebagai seorang seminaris, kita percaya bahwa panggilan untuk bertobat adalah suatu panggilan yang sangat penting dan relevan dalam kehidupan kita. Bertobat bukanlah hanya sekedar mengakui dosa-dosa kita, tetapi juga merupakan suatu proses yang melibatkan perubahan hati dan pikiran kita. Ini adalah suatu panggilan untuk mengubah hidup kita, untuk kembali kepada Tuhan dan memperbaiki hubungan kita dengan Dia.

Dalam Kitab Suci, kita sering kali mendengar tentang panggilan untuk bertobat. Yesus sendiri berkhotbah tentang pentingnya bertobat dan mengajarkan kita untuk mengakui dosa-dosa kita dan berbalik kepada Allah. Yesus memberikan: “Bertobatlah, sebab Kerajaan Sorga sudah dekat” (Matius 4:17). Ini menunjukkan bahwa bertobat adalah suatu panggilan yang sangat penting dalam kehidupan kita sebagai sebagai seminaris dan hal ini menyangkut jaminan akan kehidupan setelah kematian (eskaton).

Selain itu, bertobat juga merupakan suatu panggilan untuk mengubah hidup kita agar lebih sesuai dengan ajaran-ajaran Yesus. Ini berarti kita harus berusaha untuk hidup sesuai dengan nilai-nilai Kerajaan Allah, seperti kasih, keadilan, ketaatan, kedisiplinan, dan kerendahan hati. Bertobat juga berarti kita harus berusaha untuk memperbaiki hubungan kita dengan orang lain, dan dengan Tuhan.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering kali menghadapi godaan untuk tidak bertobat. Kita mungkin merasa malas, takut, atau bahkan tidak peduli dengan pentingnya menjaga stabilitas aturan hidup bersama di seminari. Namun, sebagai seminaris, kita harus selalu mengingat panggilan untuk bertobat dan berbuah dalam ketaatan untuk menjalankan aturan hidup harian dengan baik dan penuh tanggung jawab. Yesus telah menunjukkan ketaatan-Nya yang total kepada kehendak Bapa-Nya (Yoh 6:38). Dengan demikian, panggilan kita adalah taat kepada aturan-aturan yang ada di seminari. Aturan-aturan yang ada di seminari merupakan sarana bagi kita untuk mencapai kedewasaan hidup sebagai seorang pengikut Kristus yang sejati; sebagai seorang calon imam yang baik. Dengannya, kita pun telah mengambil bagian di dalam ketaatan Yesus terhadap kehendak Bapa-Nya (Mat 12:50).

 

 

Berguru Pada Santo Paulus Rasul

Santo Paulus merupakan salah seorang tokoh yang berpengaruh dalam Gereja Katolik. Ia adalah seorang pendosa yang bertobat. Pertobatan Santo Paulus sangat unik dan radikal hingga ia dipilih langsung oleh Kristus untuk menjadi rasul-Nya (Kis 9:1-19a).

Pertobatan Santo Paulus tidak saja berguna bagi dirinya sendiri. Setelah mengalami pertobatan, Santo Paulus tidak berpuas diri dan diam di tempatnya. Pertobatan justru menghantarnya pada suatu perubahan yang radikal di dalam hidupnya. Ia terus bertekun di dalam iman dan pengharapan akan Yesus Kristus sambil bekerja untuk mewartakan kasih dan kebaikan Allah melalui hidupnya.

Santo Paulus mengingatkan kita bahwa bertobat bukanlah sekadar mengakui dosa-dosa kita, tetapi juga mengubah hidup kita secara fundamental. Dalam suratnya, ia menulis: “Sebab dukacita menurut kehendak Allah menghasilkan pertobatan yang membawa keselamatan dan yang tidak akan disesalkan, yang tidak dapat ditarik kembali, tetapi dukacita yang dari dunia ini menghasilkan kematian” (2 Korintus 7:10). Ini menunjukkan bahwa bertobat adalah suatu perubahan hati yang mendalam, yang tidak hanya dipicu oleh penyesalan, tetapi juga oleh keinginan yang tulus untuk berubah dan hidup sesuai dengan kehendak Allah.

Bertobat juga berarti mengakui bahwa kita tidak dapat hidup tanpa bantuan dan anugerah Allah. Santo Paulus menulis, “Sebab oleh kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah…” (Efesus 2:8). Ini menunjukkan bahwa bertobat adalah suatu proses yang membutuhkan kerendahan hati dan ketergantungan pada Allah.

Selain itu, Santo Paulus juga mengingatkan kita bahwa bertobat adalah suatu panggilan yang terus-menerus. Dalam suratnya kepada jemaat di Roma, ia menulis, “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaruan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna” (Roma 12:2). Hal ini menunjukkan bahwa bertobat adalah suatu proses yang berkelanjutan, yang membutuhkan kesungguhan hati (komitmen) dan ketekunan.

Pertobatan Sebagai Jalan Menuju Kesempurnaan

Pertobatan adalah suatu konsep yang sangat penting dan mendalam. Ini bukan sekadar pengakuan dosa, tetapi merupakan sebuah proses spiritual yang memungkinkan seseorang untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mencapai kesempurnaan dalam hidupnya. Pertobatan bukanlah hanya sekadar mengakui kesalahan, tetapi juga merupakan sebuah perjalanan menuju transformasi spiritual yang lebih dalam.

Pertobatan dapat dianggap sebagai jalan menuju kesempurnaan karena melalui proses ini, seseorang mengakui dosa-dosanya dan berusaha untuk meninggalkannya. Dalam melakukan pertobatan, seseorang mengalami proses refleksi diri yang mendalam, mengenali kelemahan-kelemahan mereka, dan bertekad untuk berubah menjadi lebih baik. Ini merupakan langkah awal yang sangat penting dalam proses pembentukan karakter yang lebih baik.

Dalam ajaran Katolik, pertobatan juga melibatkan pertobatan kepada Allah dan kepada sesama. Ini bukan hanya tentang memperbaiki hubungan vertikal dengan Tuhan, tetapi juga hubungan horizontal dengan sesama manusia. Pertobatan mengajarkan pentingnya kasih, pengampunan, dan keadilan dalam hubungan antar manusia. Dengan memperbaiki hubungan ini, seseorang dapat mencapai kesempurnaan dalam kasih dan menjadi teladan bagi orang lain.

Selain itu, pertobatan juga melibatkan Sakramen Rekonsiliasi atau Pengakuan Dosa. Melalui sakramen ini, seseorang berbicara dengan seorang imam dan mengakui dosa-dosanya. Dengan penuh kerendahan hati, mereka menerima pengampunan Allah melalui imam yang diwakilkan-Nya. Sakramen ini memberikan kesempatan bagi seseorang untuk merasakan kasih dan pengampunan Allah secara langsung, mengalami pemulihan spiritual yang mendalam, dan memperkuat tekad untuk hidup sesuai dengan kehendak-Nya.

Oleh karena itu, pertobatan mesti melibatkan komitmen untuk meninggalkan dosa dan mengubah perilaku yang buruk. Misalnya, berubah dari perilaku yang suka ribut dan melanggar aturan menjadi pribadi yang mencintai keheningan (silentium) dan taat aturan. Ini membutuhkan kesabaran, ketekunan, dan tekad atau komitmen yang kuat untuk terus berjuang melawan godaan dan kelemahan diri.

Makna Pertobatan Bagi Para Seminaris

Kata pertobatan sudah tidak asing lagi dalam kehidupan di seminari. Sebagai seorang seminaris, kita memang sudah sering melakukan pertobatan dengan menerima sakramen tobat atau sakramen rekonsiliasi atau sakramen pengakuan dosa. Namun, sungguhkah kita memaknai secara benar pertobatan itu sendiri?

Setidaknya ada empat makna pertobatan yang perlu kita pahami. Pertama, pertobatan dimaknai sebagai perjuangan untuk setia kepada Allah. Kedua, pertobatan dimaknai sebagai perjuangan untuk memberikan ketulusan kepada Allah. Ketiga, pertobatan dimaknai sebagai perjuangan untuk setia kepada kebaikan dan kebenaran. Keempat, pertobatan dimaknai sebagai perjuangan untuk setia kepada kedisiplinan diri.

Selain itu, pertobatan juga memerlukan pengorbanan untuk berubah. Pengorbanan tersebut bisa melalui hal-hal sederhana, seperti berkorban untuk menahan diri dari kesenangan pribadi. Semua aturan yang dibuat bukan semata-mata hanya untuk kepentingan seminari, melainkan untuk menciptakan bibit-bibit berkualitas yang akan tumbuh dalam diri para seminaris, yang akan menjadi pemimpin umat dan masyarakat ataupun menjadi orang yang berguna. Namun masih banyak di antara para seminaris yang masih tidak peduli atau acuh tak acuh akan hal tersebut, dan memilih untuk melanggar pelanggaran yang ada.

Pertobatan dimaksudkan untuk melakukan perubahan menuju ke arah yang baik. Pertobatan bisa dilaksanakan dengan hal-hal sederhana, contohnya bertobat untuk maki, bertobat untuk mencuri, bertobat untuk membuat keributan pada jam-jam silentium, bertobat untuk melakukan kekerasan, dan lain-lain. Meskipun terlihat sementara, namun memberikan dampak yang signifikan bagi diri para seminaris di masa kini dan yang akan datang. Oleh karena itu, sebagai seminaris kita harus melakukan perubahan dengan pertobatan demi kesejahteraan bersama dan menjadi saksi bagi umat dan masyarakat meskipun saat ini masih menjalani proses Pendidikan di lembaga seminari St. Yohanes Berkhmans Mataloko (Jeyzco Upi (IX A editor: Fr. Orsan, OFM)

Tobat

MENAPAKI PANGGILAN SUCI MELALUI PERTOBATAN DAN HIDUP  DOA

Panggilan merupakan inisiatif Allah dalam mengumpulkan dan menyaring orang-orang terpilih sebagai pewarta firman-Nya. Seminaris terpanggil sebagai bibit bibit unggul yang disemaikan menurut sistem lambang calon imam. Namun dalam perjalanannya, sering kali seminaris tersebut menjadi pemberontak terhadap panggilannya sendiri.

Perlu kita ketahui, bahwa panggilan harus dapat dilandasi oleh 2 hal penting, yaitu tobat dan hidup doa. Perlu kita ketahui kedua hal inilah yang akan menjiwai rangkaian perjalanan seorang calon imam menuju imamat.

Pertobatan Sebagai Awal Panggilan 

Masih ingat Santo Paulus? Ya, mantan penganiaya orang Kristen ini mengawali perjalanan pewartaannya dengan pertobatan terbesar dalam hidupnya. Saulus yang semula merupakan musuh kekristenan bertransformasi menjadi Paulus, sang pembela iman Kristen.

Melalui kisah Santo Paulus, kita belajar bahwa sebelum menapaki panggilan, hal terutama yang kita penuhi adalah pertobatan diri yakni menyesali secara penuh segala dosa kita. Nah, sering kali para seminaris mengabaikan poin pertobatan. Mereka lebih memilih jatuh ke lubang yang sama, ketimbang kembali ke jalan yang benar.

Tentunya, hal itu akan merugikan seminaris itu sendiri. Perilaku buruk berulang-ulang hanya akan mengantarkan dirinya pada tahap pengawasan yang berujung pada terseleksinya seminaris tersebut.

Oleh karena itu , sangat penting bagi kita untuk dapat mencapai pertobatan. Dengan posisi ini, seorang seminaris dapat mengevaluasi diri dan mengambil keputusan terbaik bagi segala proses perjalanannya dalam menapaki panggilan imamat. Meski Paulus hidup pada zaman yang amat berbeda dengan kita, sekurang-kurangnya ia dapat memberikan sebuah gambaran pertobatan yang berkesan bagi kita.

Hidup Doa: Membangun Dialog Bersama Allah

Manusia memiliki hidup yang seluruhnya bergantung pada kehendak dan rencana Sang Pencipta. Dari sebab itu, manusia coba membangun kedekatan dengan Allah (intimitas relasional). Namun, sering kali manusia menyalahgunakan kedekatan tersebut.

Kita ambil contoh seputar kehidupan para seminaris. Umumnya pada hari-hari biasa, para seminaris sangat jarang mampir ke gua Maria untuk menyerahkan ujud intensi mereka. Namun, ketika ujian hampir tiba, kita akan menyaksikan betapa penuhnya kotak intensi yang berisikan berbagai kertas ujud di depan patung Bunda Maria.

Nah, dari ilustrasi di atas kita dapat melihat bahwa banyak para seminaris berdoa hanya Ketika dalam situasi-sulit saja. Demikian juga isi doanya, lebih banyak meminta dari pada mengucap syukur. Tentu tidak salah kalau dalam doa kita meminta kepada Tuhan. Akan tetapi, yang menjadi persoalan adalah kita lebih banyak meminta dari pada bersyukur dan membangun hubungan yang lebuh intim dengan Allah. Kesannya kita mencari dan membutuhkan Allah hanya di saat kita sedang dalam situasi sulit.

  1. Albert Dedon, ketika mengurai tema tentang Doa di hari ke-2, mengajak kita semua untuk selalu memberikan waktu yang terbaik bagi Tuhan. Jangan datang kepada Tuhan hanya di saat kita sedang dalam situasi sulit atau ketika kita sedang lelah. Doa sendiri merupakan jembatan komunikasi yang dapat membantu kita dalam memahami kehendak Allah. Jika doa hanya diisi dengan rentetan permintaan secara terus menerus, kapan kita ada waktu untuk bersyukur dan mendengarkan kehendak Sang Pencipta?

Kiranya aspek doa tetap menjadi dasar kuat yang selalu dipegang teguh dalam rutinitas seminaris menuju imamat. Perlu diingat bahwa menjadi imam berarti dipanggil untuk menjadi pelaksana kehendak-Nya. Jika kita tidak mulai berdialog dengan Allah dari sekarang, lalu kapan hubungan kita dengan Sang Pencipta menjadi lebih akrab?

Aplikasi Seminaris dalam Rutinitas dan Pastoral   

Seiring munculnya berbagai hambatan dalam menapaki panggilan, seminaris terus ditantang agar dapat mengendalikan diri dan memperkuat panggilan dalam dua aspek dasar, yaitu pertobatan dan hidup doa. Selain itu, dengan semakin maraknya teknologi dan menurunnya minat masyarakat global terhadap evangelisasi, membuat seminaris dituntut agar dapat mempersiapkan diri sebaik mungkin.

Sebelum berpastoral keluar, para seminaris mesti terlebih dahulu memperkuat aspek evangelisasi ke dalam. Dengan kata lain, para seminaris mesti terlebih dahulu diinjili sebelum ia menginjili. Ini bukan sebuah anjuran, tetapi tuntutan yang mesti dipenuhi supaya dapat menjadi manusia Injil (vir evangelicus). Hal ini dimaksudkan agar seminaris dapat memiliki bekal yang kuat dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai pewarta Firman sekaligus calon gembala umat Kristiani.

Menapaki panggilan suci melalui hidup doa adalah suatu perjalanan yang membutuhkan kesetiaan, keberanian, dan kegigihan. Ini adalah panggilan untuk menjalani kehidupan yang diperdamaikan dengan Tuhan, merenungkan kasih-Nya yang tak terhingga, dan mengabdi kepada sesama dengan cinta yang tulus. Hidup doa adalah fondasi dari kesucian kita sebagai seorang seminaris, sebuah panggilan mulia yang mengarahkan kita menuju persatuan yang lebih dalam dengan Sang Pencipta dan sesama (Anjelo Jago, IX A – editor: Fr. Orsan, OFM)

retret2

RETRET SEBAGAI SARANA MENDALAMI IMAN

MATALOKO, JB – Para siswa kelas IX SMPS Seminari St. Yohanes Berkhmans Mataloko menyelenggarakan kegiatan retret tahunan di Rumah Retret Kemah Tabor sejak Minggu (11/02/2024) hingga Selasa (13/02/2024). Kegiatan retret ini diikuti oleh 76 siswa beserta 3 orang guru pendamping (Bapak Uten, Bapak Dony, dan Fr. Orsan, OFM). Pemateri utama dalam retret kali ini adalah RD. Albert Dedon.

Para peserta retret dan pendamping mulai melakukan check in di Rumah Retret Kemah Tabor pada Minggu (11/02/2024), pukul 15.00 WITA. Setelah melakukan check in, para peserta retret diarahkan dan dipersilahkan masuk ke kamar tidur sesuai kelompoknya masing-masing oleh pegawai dan resepsionis Rumah Retret Kemah Tabor. Setelah semua peserta retret dipersilahkan masuk kamar tidur, pegawai dan resepsionis Rumah Retret Kemah Tabor kemudian mempersilahkan para pendamping untuk menempati kamar yang sudah disediakan. Para pendamping setia mendampingi kelas IX selama kegiatan retret berlangsung.

Fasilitas yang tersedia di Rumah Retret Kemah Tabor sangat lengkap untuk kelancaran kegiatan retret. Rumah Retret Kemah Tabor menjadi salah satu tempat yang cocok untuk kegiatan retret, menurut pihak Seminari. Urusan tentang makan-minum dan lain-lain disediakan dengan baik oleh pihak pengelola Rumah Retret Kemah Tabor.

Tujuan utama dari kegiatan retret ini adalah untuk mendekatkan diri dengan Tuhan dengan mencari kesunyian dan menghindari berbagai urusan pribadi. Oleh karena itu dinamika kegiatan retret hanya berputar pada kegiatan Ekaristi, doa, makan, pertemuan, menulis refleksi, dan permenungan atau meditasi. Dinamika yang sama selalu terjadi selama tiga hari kegiatan retret berlangsung.

Pertemuan-pertemuan yang diselenggarakan saat retret bertujuan untuk mengembangkan kepribadian seminaris dalam menggali iman yang lebih dalam. Semua kegiatan pertemuan, permenungan, dan penulisan refleksi terjadi di Ruang Pertemuan atau Aula Rumah Retret Kemah Tabor.

Pada Minggu (11/02/2024) pukul 17-18.30 WITA para peserta retret mengikuti pertemuan pertama. Tema yang diangkat oleh RD. Albert Dedon dalam pertemuan tersebut ialah “Pertobatan”. Para peserta mengikuti pertemuan pertama dengan penuh semangat dan khusyuk. “Pertobatan berhubungan erat dengan pengorbanan. Bentuk pengorbanan itu seperti  setia kepada Allah, setia kepada kebaikan dan kebenaran, serta mau berubah ke arah yang lebih baik,” tutur RD. Albert Dedon. Titik tolak pertobatan yang diangkat oleh RD. Albert Dedon adalah Kisah Pertobatan Saulus (Bdk. Kis 9:1-19a).

Pertemuan kedua terjadi di hari yang sama dan diisi dengan kegiatan meditasi pribadi di ruang pertemuan pada pukul 20.00 – 20.45 WITA. Setelah kegiatan meditasi pribadi selesai, para peserta retret diajak oleh RD. Albert Dedon untuk mendaraskan doa rosario bersama untuk menutup seluruh rangkaian kegiatan,  kemudian istirahat malam.

Pertemuan ketiga terjadi di hari kedua, Senin (12/02/2024), mulai pukul 08.00 – 09.45 WITA. Tema yang diangkat pada pertemuan tersebut adalah “Dekat Dengan Allah”. RD. Albert Dedon memberikan motivasi bagi peserta retret bahwa mengenal Allah jangan sebatas teori, tetapi dengan pengalaman pribadi akan kasih Allah yang dicurahkan bagi setiap orang.

Tema tentang “Berdoa” adalah topik yang dibahas pada pertemuan keempat. Pertemuan terlaksana di hari yang sama pada pukul 10.00 – 12.00 WITA. Para peserta retret mengikuti pertemuan dengan penuh perhatian.

“Tujuan berdoa adalah mendekatkan diri dengan Allah. Persahabatan yang dekat dengan Allah membuat hidup menjadi berarti,” tutur RD. Albert Dedon. Beliau juga menegaskan bahwa kita harus mempersembahkan waktu yang terbaik bagi Tuhan. “Berikanlah waktumu yang terbaik untuk Tuhan. Jangan datang kepada Tuhan hanya di saat kamu lelah atau ketika menghadapi suatu persoalan”, tambah RD. Albert Dedon.

Dalam pertemuan kelima, dibahas tema tentang “Sudut Pandang”. Pertemuan berjalan dengan baik dan lancar. Ada hal-hal penting dan menarik yang disampaikan oleh RD. Albert Dedon. Pertemuan dilaksanakan pada pukul 16.45 – 18.30 WITA. Dalam pertemuan, RD. Albert Dedon mengajak para peserta retret untuk selalu melihat sesuatu dari sisi yang positif; melihat dengan mengenakan kaca mata gandum, bukan kaca mata ilalang (Bdk. Mat 13:24-30).

Pertemuan keenam terjadi pada pukul 20.00 – 21.00 WITA. Pertemuan ini diisi dengan kegiatan permenungan dan meditasi pribadi. Setelah itu, dilanjutkan dengan doa rosario bersama untuk menutup seluruh rangkaian kegiatan retret di hari kedua.

Dalam pertemuan ketujuh, RD. Albert Dedon mengulas tema tentang “Kepemimpinan”. Pertemuan ini terjadi pada Selasa (12/02/2024) pukul 08.00 – 09.45 WITA. “Kepemimpinan dimulai dari diri sendiri. Menjadi pemimpin berarti menjadi orang yang menjalani proses pengembangan diri secara terus-menerus; ada kontinuitas”, ujar RD. Albert Dedon.

Pertemuan terakhir, pertemuan kedelapan, terjadi pada pukul 10.30 – 11.15 WITA. Pertemuan ini diisi dengan kegiatan permenungan dan meditasi pribadi atas semua pertanyaan refleksi yang diberikan dari hari pertama sampai hari ketiga.

Seluruh rangkaian kegiatan retret ditutup dengan Perayaan Ekaristi yang terjadi di Kapela Transfigurasi Rumah Retret Kemah Tabor pada pukul 11.45 – 13.00 WITA. Di akhir Perayaan Ekaristi, Ketua OSIS SMPS St. Yohanes Berkhmans Mataloko (Clovis Mere) memberikan kata penutup dan ucapan terima kasih kepada RD. Albert Dedon (selaku pemateri), para pembimbing, dan semua peserta retret.

“Saya berharap poin-poin penting yang kita peroleh dari kegiatan retret yang sudah kita jalankan menjadi pegangan bagi kita masing-masing untuk memulai proses pertobatan dan perubahan. Mari kita memulai perubahan itu dari dalam diri kita sendiri agar kita bisa menjadi orang yang berguna sesama dan semua yang ada di sekitar kita, ujar Clovis Mere dalam kata penutupnya.

Kata penutup dan ucapan terima kasih berikutnya disampaikan oleh Fr. Orsan, OFM sebagai perwakilan Tim Prefek SMP. Selain menyampaikan ucapan terima kasih, Fr. Orsan, OFM juga menitipkan pesan dan harapan bagi semua siswa kelas IX yang telah mengikuti kegiatan retret.

“Para formator mengharapkan agar teman-teman sekalian mampu menimba sesuatu dari kegiatan retret ini. Jangan sampai, teman-teman sekalian tidak membawa pulang sesuatu dari tempat ini. Tunjukkan itu melalui perubahan tingkah laku sehari-hari, baik di komunitas seminari maupun di komunitas keluarga dan masyarakat”, ungkap Fr. Orsan, OFM.

Setelah Perayaan Ekaristi penutup selesai, para peserta retret beranjak ke kamar makan untuk santap siang bersama. Sesudah itu, diadakan sesi foto bersama. Sekitar Pukul 14.30 WITA, siswa kelas IX berangkat kembali ke Seminari. Setibanya di Seminari, siswa kelas IX kembali menjalankan aktivitas harian seperti biasa.

Peliput: Dimas Wea

Alex2

MULAI DARI HAL BIASA-BIASA DAN SEDERHANA

Catatan Reflektif Rm. Alex Dae, Pr

Hingga saat ini, 26 tahun sudah saya berkarya sebagai pembina calon imam tingkat SMP di Seminari St. Yoh. Berkhmans Todabelu. Hal dasar yang menjadi fokus karya adalah membantu para calon imam mencapai kematangan dalam 5–S (sanctitas=kekudusan, scientia=pengetahuan, sapientia=kebijaksanaan, sanitas=kesehatan, sosialitas=persaudaraan). Kendatipun dalam perjalanan hidupnya, seminaris “menjadi yang lain”, minimal sebagian spirit 5–S telah terinternalisasi. Ini akan menjadi bagian dari cerita kehidupan saat mereka telah “menjadi yang lain”.

SMP dan SMA Seminari St. Yoh. Berkhmans Todabelu merupakan internat. Sebuah sekolah berasrama yang lima tahun lagi merayakan satu abad kehadirannya di Mataloko, Kec. Golewa, Kab. Ngada, NTT. Sungguh suatu kebanggaan. Selain karena usia yang sudah matang, internat calon imam ini telah melahirkan ribuan utusan dalam berbagai bidang panggilan dan karya di seantero dunia. Kualitas hidup mereka telah diakui sekurang-kurangnya karena 5–S yang pernah menjadi bagian dari jiwa mereka selama berada di Seminari.

 

Ada apa dengan Seminari?

Tidak dimaksudkan untuk menyombongkan diri. Namun, jika menimbang-nimbang kiprah hebat dan istimewa sebagian alumninya di seantero dunia, pertanyaan yang mungkin muncul adalah “Ada apa dengan Seminari atau Apa yang terjadi di Seminari?” Mungkinkah terjadi proses tumbuh kembang yang luar biasa para calon imam dalam internat ini? Sebagai komunitas khusus, berbagai pertanyaan, dugaan, bahkan prasangka dapat saja muncul. Namun, internat ini tidak hanya memunculkan dugaan ini dan itu. Fakta-fakta tentang sepak terjang “rumah” ini telah membangkitkan niat dan antusiame banyak calon imam untuk memulai dan menjalani kehidupan baru mereka di sini. Mereka yakin, internat ini adalah rumah kedua, tempat mereka memacu tumbuh kembang mereka untuk hidup masa depan.

Tidak disangkal, segelintir orang memastikan bahwa Seminari sebagai lembaga pendidikan akan melahirkan imam-imam sudah seharusnya demikian. Melalui pengelolaan pendidikan dan pembinaan yang bermutu, Seminari memang harus menghasilkan para calon pemimpin umat yang “mumpuni”. Orang lain lagi mungkin yakin sungguh bahwa memang Seminari pasti menyelenggarakan pendampingan dengan proses istimewa.  Namun, mungkin juga, mereka yang pernah menapaki kaki di internat ini akan menilai biasa-biasa saja, atau masih jauh dari harapan. Entah apa yang dipikirkan, dirasakan, dikatakan, atau dievaluasi, pertanyaan di atas merupakan spirit, kepercayaan, sekaligus harapan untuk terus berinovasi dan berkreasi dalam pengabdian.

Rm. Alex dalam sebuah perbincangan dengan novelis Maria Matildis Banda.

Mulai dari hal biasa-biasa dan sederhana untuk mandiri

Percikan pengalaman ini tidak dimaksudkan untuk membahas semua hal mengenai pedoman pendidikan calon imam. Jika menimbang-nimbang jawaban atas pertanyaan di atas, jawabannya adalah mulai dari hal sederhana dan biasa-biasa, sejauh pengalaman saya. Hal-hal sederhana itu, misalnya merapikan tempat tidur, melipat pakaian, merapikan lemari, membuang sampah pada tempatnya, cara menggunakan toilet, bekerja hingga tuntas, mengembalikan alat kerja, mencuci pakaian, serta hemat menggunakan air. Ini hal biasa dan sederhana yang sebenarnya sudah dilakukannya di rumah. Dalam internat ini, para seminaris mengulang kembali sendiri. Jauh dari ketergantungan pada intervensi orang tua. Memang, Seminari harus menjadi instansi kedua yang memudahkan calon imam mengembangkan berbagai keterampilan dasar itu. Semuanya  dilakukan secara  hidup mandiri.

Suatu saat, saya bertanya kepada para seminaris tentang arti disiplin. Ada rupa-rupa jawaban sederhana, tetapi unik. Ada yang mengatakan, disiplin berarti merapikan tempat tidur; gunakan air secukupnya untuk urusan toilet; membuang sampah pada tempatnya; tidak membuang ludah di sembarangan tempat; berdoa sebelum dan sesudah makan; tahu menyapa; rela mengucapkan maaf dan terima kasih; serta memelihara keheningan. Ada yang memandang disiplin sebagai tenggang rasa saat mandi dan cuci. Baginya, hemat menggunakan air karena ada ratusan seminaris yang sedang antre untuk mandi itulah wujud disiplin. Hemat saya, itulah konsep disiplin yang jujur dan kontekstual. Mereka merumuskan kedisiplinan sebagai apa yang dialami. Mereka tidak membutuhkan konsep disiplin yang rumit. Artinya, seminaris lebih memahami disiplin sebagai sebuah contoh hidup.

Rm. Alex bersama Rm. Nani di Jogjakarta

Mengembangkan karakter dengan contoh

Karena hal yang lebih menyatu dengan hidup mereka adalah contoh, maka pengembangan karakter semestinya bertolak dari contoh hidup. Rm. Nani Songkares adalah salah satu pendamping asrama tingkat SMP yang konsisten dalam hal ini. Sampah di lingkungan sekitarnya misalnya, pasti tidak luput dari perhatiannya. Seminaris selalu diajaknya untuk turut memungut sampah. Dari pengalamannya, kebiasaan positif anak akan menetap jika ada konsistensi keteladanan. Keluhan bahwa seminaris sembrono membuang sampah hanya dapat diatasi jika para guru dan pembina menjadi contoh yang konsisten. Guru dan pembina mesti secara sengaja memungut dan membuang sampah pada tempatnya. Bahkan jika ternyata para seminaris lupa atau tidak mau melakukannya lagi. Konsestensi contoh harus tetap dirawat hingga menjadi suatu kewajiban yang dapat ditiru dan dilakukan secara spontan oleh para seminaris sendiri.

Prinsip yang sama saya lakukan saat mengatur penggunaan air bagi para seminaris. Mereka mesti membiasakan diri dengan budaya antre untuk mandi. Dengan jumlah 300 lebih seminaris, budaya antre amatlah penting. Di samping memupuk tenggang rasa, kualitas  kesabaran para seminaris dipertebal. Penjagaan dilakukan secara konsisten hingga mereka terbiasa dengan cara itu. Kendatipun kesadaran anak-anak belum stabil, saya yakin bahwa konsistensi ini efektif meyakinkan para seminaris untuk memikirkan hak orang lain.

Selama menangani tugas ini, pengulangan sangatlah penting artinya. Peringatan dan penguatan perlu terus-menerus dilakukan. Mempertebal kesadaran anak-anak untuk melaku­kan hal baik dengan gembira tidaklah mudah. Di sini, ketahanan saya untuk menginformasikan hal yang sama berkali-kali diuji. Rasa jenuh, bosan, dan ketidaksabaran sering memancing keinginan untuk tidak melakukannya. Inilah saat kritis yang dapat memutuskan konsistensi. Hal yang dapat saya lakukan untuk keluar dari kondisi kritis ini adalah membuat refleksi diri. Sejauh pengalaman saya, inilah cara yang tepat untuk menyelamatkan konsistensi pendampingan.  Pembaharuan spirit saya perlu dilakukan untuk mengubah cara pandang dan memperkuat perilaku positif terhadap berbagai keterampilan dasar pribadi. Para seminaris perlu dilatih untuk memberi respek terhadap hal biasa-biasa dan sederhana. Saya yakin, hal ini membuat karakter anak-anak lebih berkualitas.

 

Pembelajaran pada waktu dan tempat kejadian

Selama mendampingi seminaris menjalani kehidupan asrama, saya biasa menerapkan “pembelajaran pada waktu dan tempat kejadian”. Cara ini saya diterapkan saat seminaris melakukan kesalahan. Ketika anak-anak memboroskan air saat mandi, di situlah saya melakukan evaluasi. Demikianpun saat mereka tidak bekerja secara tuntas, evaluasi dan perbaikan saya berikan pada waktu dan tempat kejadian. Hemat saya, cara ini akan meninggalkan efek yang kuat dalam pikiran dan hati mereka. Menunda saat pembelajaran dan memindahkan tempat evaluasi dan refleksi dapat memperlemah keseriusan anak untuk memahami masalah dan akibat yang ditimbulkannya.

Dalam jangka pendek, para seminaris dapat menerimanya sebagai pembelajaran yang dalam menata kehidupan bersama di asrama. Efeknya mungkin bertahan sesaat. Namun, saya yakin, jika konsistensi keteladanan dan pengulangan yang konkret terus berlangsung, cara pandang dan perilaku positif para seminaris akan menetap.  

Untuk semua itu, sejauh pengalaman hidup bersama seminaris, komitmen untuk mengolah hal-hal biasa dan sederhana secara konsisten merupakan keharusan. Butuh keterlibatan yang lebih untuk membuat hal-hal biasa dan sederhana dalam hidup berasrama menjadi luar biasa dalam diri para seminaris (Rm. Alex Dae, Pr)

Gambar Utama

TERJUN KE TENGAH UMAT

Kegiatan we­ek­­end berperan penting bagi para seminaris dalam mem­ba­ngun relasi dengan umat. Dengan week­end, seminaris mampu menyalurkan ke­sak­sian hidup yang baik bagi semua ka­la­ngan di dunia luar.

SMPS Seminari St. Yoh. Berkhmans meng­a­da­kan kunjungan pas­to­ral ke Paroki St. Fran­sis­kus dan Sta. Klara As­s­­isi, Ai­­me­re, Ngada, Jumat-Minggu (17-19/2/2023). Kun­ju­ngan pas­to­ral ini di­ikuti oleh se­mua seminaris kelas VIII dan ke­las IX serta beberapa da­ri kelas VII.

Mengapa Aimere?

Paroki St. Fransiskus dan Sta. Klara Aimere di­pilih karena letaknya dekat, sekitar 46 kilo­me­ter dari Mataloko. Lo­kasi ini dinilai se­ba­gai tempat yang cocok un­tuk weekend tahun ini.

Sela­in itu, Paroki Aimere di­pi­lih karena pontesial sebagai tempat promosi panggilan. “Harapannya, dengan kegiatan weekend ini, jum­­­lah seminaris yang ber­­asal dari Aimere dapat ber­­tambah,” ucap RD. Dino Amawawa, se­laku pre­fek SMP yang mendampingi seminaris.

Selain itu, kesediaan umat Paroki Aimere untuk menerima para seminaris membuat kegiatan weekend ini menjadi lan­car.

Antusiasme umat memang sangat besar.  Ke­ti­ka diminta sebagai tu­an ru­mah kunjungan pas­toral bagi semi­na­ris, RD. Vian Sedu, selaku Pas­tor Paroki Aimere se­gera me­nerima permo­hon­an tersebut yang di­se­tujui umat separoki.

Persiapan-persiapan

Kegiatan weekend ini tentunya membutuhkan ba­nyak persiapan. Seluruh persiapan ini paling banyak ber­a­sal dari bidang liturgi, se­perti koor, katekese, dan pelayan altar.

“Persiapan yang ba­nyak menyita waktu ada­lah katekese. Sebab, melalui katekese, umat akan menilai bagaimana hidup rohani para se­mi­na­ris,” ucap Dino. Seminaris per­­­lu dilatih agar mam­pu membawakan kate­ke­se dengan baik. Hal itu bukan pekerjaan mu­dah, apalagi untuk anak usia SMP.

Selain persiapan da­lam bidang liturgi, pi­hak Seminari juga telah menyediakan pentasan akustik. Umat juga telah menyiapkan agenda un­tuk mengisi waktu para seminaris di Paroki dan KUB. Di KUB, umat meng­hibur dan membesarkan hati para semi­na­ris.

Selain itu, siswa-siswa SMPN 1 Aimere juga menyiap­kan acara sendiri, seperti akus­tik dan per­tun­juk­kan mo­nolog. Mereka juga mementaskan pantomim.

Tanggapan Umat

Umat Paroki St. Fran­sis­kus dan Sta. Klara da­ri Assisi sangat senang dengan kunjungan anak Seminari Mataloko. Me­re­ka merasa puas atas se­mua yang telah diper­sem­bahkan oleh para semi­na­ris kepada mereka.

Mereka merasa semi­na­ris memiliki po­tensi yang patut dikembangkan. Ke­mampuan-kemampu­an tersebut antara lain bernyanyi, public speak­ing, bermain alat musik, dan memberikan kateke­se.

Kelebihan lain para seminaris juga terletak pada kemandirian yang dihayati secara nyata di tengah umat, misalnya katekese, liturgi, berinisitatif terlibat dalam pekerjaan-perkerjaan di rumah seperti membersihkan rumah, mencuci alat-alat makan, pada waktunya menyiapkan diri, dan lain-lain.

Hal-hal sederhana ini adalah bagian dari kesaksian hi­dup para se­minaris yang dijalankan dengan sukacita.

Gio Demung

Siswa kelas IX, SMP Seminari Mataloko