Sejak dipulangkan ke rumah masing-masing pada akhir Maret lalu, praktisnya sebagian besar proses formasi anak-anak Seminari Santu Yohanes Berkhmans Todabelu Mataloko berlangsung melalui metode Dalam Jaringan (Daring).
Pengasuhan digital dari orang tua, pihak seminari, para pastor dan para mitra menjadi sangat penting dan dibutuhkan. Dalam rimba raya jaringan internet, para seminaris diaspora ini perlu didampingi dan diasuh.
Dialog aktif antara anak dan orang tua, para pastor dan para mitra menjadi kunci keberhasilan pengasuhan digital untuk para seminaris diaspora. Tingkat keseringan berkomunikasi antara kedua pihak ini harus berbanding lurus dengan banyaknya waktu yang digunakan anak untuk berselancar di dunia maya.
Ketika durasi “berada di depan layar” kian meningkat, partisipasi aktif orang tua, para pastor dan para mitra dalam membangun komunikasi dengan anak harus ditingkatkan pula.
Mengapa Penting?
Pertama, situasi sekarang memaksa anak-anak seminari melakukan banyak aktivitas Daring, terutama untuk mengikuti Kegiatan Belajar Mengajar (KBM). Selain itu, interaksi untuk proses formasi sebagai calon imam juga terjadi melalui media-media Daring. Kedua tuntutan ini menyebabkan durasi waktu untuk cemplung ke dalam dunia digital semakin tinggi.
Kedua, jagat maya merupakan jagat yang sama sekali asing bagi sebagian besar anak-anak seminari. Dalam situasi normal, mereka dilarang menggunakan HP dan tidak memiliki akses ke dalam dunia maya dengan segala kemungkinan-kemungkinannya yang tidak terbatas. Dalam era kenormalan baru ini, mereka diwajibkan memiliki HP dan keahlian berselancar di dunia maya untuk melayani kepentingan formasi.
Ketiga, internet selalu berwajah ganda. Di satu sisi, akses ke dalam internet meningkatkan literasi dan wawasan anak. Di sisi lain, dalam internet terdapat sejumlah tantangan yang mengancam perlindungan dan hak anak seperti perundungan digital dan pencurian data pribadi (KOMPAS, 21/06/2020). Dampingan orang tua, para pastor dan para mitra mutlak perlu untuk meminimalisasi kejahatan siber dalam berbagai levelnya.
Keempat, alasan terkait etika digital. Walaupun memiliki banyak kesamaan, etika digital dan etika dunia nyata tetap memiliki perbedaan. Dalam dunia digital, segala sesuatu pasti meninggalkan jejak. Selain itu, semuanya serba terbuka. Oleh karena itu, anak-anak perlu mendalami etika digital dan selalu diingatkan untuk mematuhi etika-etika tersebut.
Kelima, anak-anak perlu dilindungi dari pelbagai variasi bahaya informasi-informasi palsu. Semua orang memiliki akses ke dalam internet dan oleh karena itu berbagai jenis informasi, entah itu benar atau salah, entah itu baik atau buruk, berseliweran dalam berbagai platform media-media Daring. Kontrol orang tua, para pastor, dan para mitra membantu anak-anak dalam proses penyaringan dan internalisasi informasi-informasi tersebut.
Peran Sentral Orang tua, Para Pastor dan Para Mitra
Orang tua, para pastor dan mitra memiliki peran penting dalam pengasuhan digital bagi para seminaris diaspora. Peran tersebut dapat dijalankan melalui kehadiran dan dialog aktif. Spritualitas kehadiran dan dialog aktif menjadi kunci keberhasilan proses-proses pengasuhan digital. Oleh karena itu, orang tua, para pastor dan para mitra wajib memberikan teladan dan panutan.
KOMPAS (20/06/2020) meringkas tiga lapisan yang harus dimiliki sebuah keluarga ketika (anak-anaknya) harus mencemplungkan diri ke dalam dunia digital.
Lapisan pertama adalah kesadaran akan pentingnya keselamatan, keamanan, dan privasi. Lapisan kedua adalah literasi media agar bijak menyikapi informasi palsu serta menilai kebenaran konten. Lapisan ketiga menyangkut kesadaran tentang hak dan tanggung jawab.
Orang tua, para pastor, dan para mitra memiliki kewajiban dan tanggung jawab membangun ketiga lapisan kesadaran tersebut. Perlu diakui, usaha itu tidak gampang. Oleh karena itu pada bagian berikut direkomendasikan hal-hal praktis yang perlu dibuat.
Langkah-langkah Praktis Pengasuhan
Pertama, kerja dan belajar dalam dan melalui media daring harus dijadwalkan. Orang tua dan para mitra harus melibatkan diri dalam penyusunan jadwal belajar dan kerja anak. Keterlibatan itu juga harus sampai pada tahap pengawasan, apakah jadwal itu ditaati atau tidak.
Kedua, tingkatkan komunikasi langsung dengan anak. Komunikasi itu harus dari muka ke muka dan dari hati ke hati, bukan melalui perantaraan media-media sosial.
Ketiga, ingatkan anak akan kerawanan dan bahaya yang ada di ruang virtual. Banyak bahaya yang bisa saja timbul, misalnya penipuan, kekerasan verbal, pencurian data pribadi, dan perundungan digital.
Keempat, usahakan sebisa mungkin agar menemani anak saat mereka sedang bekerja dan belajar melalui media-media Daring. Pada bagian ini, sekali lagi ditekankan pentingnya spiritualitas kehadiran bagi seorang anak.
Kelima, orang tua, para pastor, dan para mitra harus selalu mengingatkan anak akan pentingnya menjaga etika bermedia sosial. Etika itu misalnya, selalu menggunakan kata-kata yang sopan dan tidak saling memaki.
Keenam, sebagai pengasuh, tentu saja orang tua, para pastor, dan para mitra juga harus memiliki pengetahuan yang memadai tentang literasi teknologi digital. Oleh karena itu, mau tidak mau, orang tua juga harus mempelajari seluk beluk dunia digital dan segala tuntutan-tuntutannya.
Tommy Duang