Saya mencoba memutar waktu. Kurang lebih enam tahun yang lalu, tepatnya pada bulan November 2018, saya mulai menginjakkan kaki di Lembah Sasa, di sebuah lembaga pendidikan calon Imam, Seminari St. Yohanes Berkhmans Todabelu Mataloko. Lembaga ini terletak di tempat kelahiranku sendiri, Mataloko, Ngada, Flores, NTT. Kami orang Mataloko sangat bangga dengan lembaga ini, karena oleh nama besarnya, Mataloko bisa dikenal di seantero jagat.
Sejak kecil, kami hanya bisa masuk ke dalam kompleks Seminari, ketika berlangsung pertandingan sepak bola, kor bersama saat POPSI (sekarang PORSENI), menyaksikan pentas seni yang ditampilkan oleh para siswa Seminari, serta saat menonton film/slide tentang orang-orang kudus yang lazimnya ditayangkan oleh Pater Yan Kozlowski, SVD.
Di luar acara-acara itu kompleks Seminari adalah “tempat sakral” yang sangat kami hormati dan segani , sehingga kami tidak asal masuk. Bagi kami orang Mataloko, siswa-siswa yang masuk di Seminari sudah dianggap “Imam Kecil” yang tidak boleh diganggu (tegur sapa saja kami sangat segan).
Saya hadir di lembaga Seminari sebagai tenaga kesehatan yang diutus oleh pimpinan CIJ (Congregatio Imitationis Jesu). Sejak tahun 1999, CIJ sudah membangun kerja sama dengan Seminari untuk mengambil bagian dalam tugas pelayanan bagi para calon Imam. Hal ini atas permintaan Uskup Agung Ende saat itu, almarhum Mgr. Abdon Longinus da Cunha.
Sebelum tiba di tempat ini banyak pergulatan dalam diri saya. Saya berpikir bagaimana saya mampu menjalankan tugas sebagai tenaga kesehatan di sebuah lembaga pendidikan. Namun, saya mencoba belajar dari situasi yang ada dan berusaha menyesuaikan diri dari hari ke hari.
Saya belajar bahwa jikalau di klinik umum pasien datang berobat sesuai jam buka klinik, maka di Seminari pasien (para seminaris) bisa datang kapan saja. Saat para seminaris mengalami kecelakaan-kecelakaan kecil, semisal jatuh, saya pun harus bergegas ke klinik untuk mengobati.
Belajar dari kondisi hidup di Seminari yang demikian, membuat saya harus menata waktu secara baik, antara waktu melayani pasien dan melakukan pekerjaan-pekerjaan sampingan, seperti membersihkan alat-alat, ruangan, dan lingkungan klinik.
Saya bersyukur pula bahwa dengan terbatasnya tenaga kesehatan di Seminari, para romo, frater, karyawan/ti dan para siswa bisa membantu saya, tatkala berhadapan dengan pasien yang membutuhkan penanganan segera.
Meski demikian, saya terkadang cukup kesulitan menghadapi seminaris yang berjumlah ratusan dan memiliki karakternya masing-masing. Terkadang, mereka tidak taat untuk minum obat secara teratur; menunda berobat ketika mengalami sakit yang cukup serius; serta mengonsumsi bahan makanan siap saji yang tidak sesuai ketentuan yang sebenarnya. Akibatnya, para seminaris cenderung mengalami sakit yang tidak diinginkan.
Tindakan para seminaris yang demikian turut memengaruhi sikap dan tingkah laku saya sebagai petugas kesehatan. Demi kesehatan dan kebaikan mereka, terkadang saya tampil sebagai “ibu yang keras dan tegas”.
Meski demikian, dalam karya pelayanan saya di Seminari, saya selalu percaya Tuhan itu Mahabaik dan Mahapenyelenggara. Ia selalu hadir dalam karya pelayanan saya sehari-hari. Ia selalu hadir melalui romo, frater, pendidik, tenaga kependidikan, seminaris, serta situasi demi situasi di Seminari.
Orang-orang yang saya jumpai dan situasi-situasi yang saya alami selalu tetap membangkitkan semangat saya untuk tetap setia dalam menjalankan tugas sebagai tenaga kesehatan di Seminari. Saya selalu percaya dengan moto ziarah panggilan saya sebagai biarawati CIJ, “Di luar Dia saya tidak dapat berbuat apa-apa” (Yoh. 15:5) (Sr. Ferdinanda, CIJ)