Oleh: Ibu Chresentina Ngani S.Pd dan Fr. Tian Gunardo OFM
Komunitas SMPS Seminari St. Yoh. Berkhmans Mataloko menggelar untuk pertama kalinya kegiatan Komunitas Belajar pada Kamis (29/8/2024). Bertempat di ruang guru SMPS Seminari, realisasi perdana program bertajuk “Inkam Semat: Inspirasi Kamis Seminari Mataloko” ini dihadiri oleh seluruh staf guru SMPS Seminari, Praeses Seminari, dan Ibu Ida, selaku Pengawas Binaan Sekolah Kabupaten Ngada.
Kepala sekolah SMPS Seminari, P. Anton Waget, SVD, menjelaskan dalam sambutannya perihal maksud dan tujuan dari terbentuknya Komunitas Belajar. Menurutnya, Komunitas Belajar merupakan wadah yang efektif untuk meningkatkan kualitas para pendidik dan peserta didik. “Komunitas belajar terdiri dari orang-orang dengan semangat yang sama. Komunitas ini bermaksud untuk meningkatkan kualitas para pendidik itu sendiri dalam menemukan cara-cara baru dalam membimbing anak-anak didik”, jelas Pater Anton.
Kesulitan Menjaga Keheningan
Selama lebih dari satu jam pertemuan, para peserta mendalami bahan bertema “Hasil Assesmen Diagnostik non Kognitif SMPS Seminari St. Yohanes Berchmans Mataloko”, yang disajikan oleh Ibu Chresentina Ngani S.Pd, pengampu mata pelajaran BK di SMPS Seminari. Menyambut isi pembahasan yang dibawakan pemateri, Romo Praeses menyebut bahwa pemilihan warga kelas VII sebagai bahan kajian sangat selaras dengan agenda besar Seminari Mataloko pada perayaan satu abad mendatang. “Kita memang harus mengenal dan mempersiapkan anak-anak kelas VII kita dengan baik. Sebab anak-anak inilah yang akan menjadi garda terdepan dalam acara satu abad Seminari pada lima tahun mendatang”, ungkap Romo Praeses.
Dengan fokus pada karakter negatif anak-anak didik, Ibu Chresentin menunjukkan bahwa sebagian besar para peserta didik kelas VII mempunyai kesulitan untuk menjaga ketenangan dan keheningan. Lantas, pertanyaan tunggal Ibu Chrisentin, yakni apa saja langkah solutif yang dapat diambil? Menanggapi pokok ini, Romo Dinno Amawawa, selaku kepala Asrama SMPS Seminari, mengamini penilaian tersebut. “Tuntutan di Seminari untuk selalu menjaga keheningan, ketekunan, dan ketenangan memang berbanding terbalik dengan karakter siswa kita yang cenderung kinestetik, suatu kecenderungan untuk mudah bergerak ke mana-mana”, jelas Romo Dinno. Walakin, Romo Dinno sendiri pun mengaku masih kesulitan untuk menemukan jalan keluar dari tantangan ini.
Pada tempat lain, Romo Praeses juga memberikan komentar yang menarik terkait gejala ini. Beliau menyoroti trend penurunan semangat hidup rohani di tengah kalangan seminaris atau para calon imam pada umumnya. Dengan menyinggung hal ini, Romo Praeses hendak mengatakan bahwa fenomena kesulitan untuk menjaga ketenangan dan keheningan merupakan imbas dari gejala penurunan pada minat akan hal-hal rohani di tengah kalangan seminaris dewasa ini.
Memikirkan Jalan Keluar
Diskusi mengenai kesulitan para seminaris dalam menjaga keheningan menyita perhatian seluruh peserta kegiatan. Untuk memecah kebuntuan, Pater Anton memancing ide solutif atas persoalan dengan menawarkan kegiatan meditasi pagi di dalam kelas sebagai cara baru untuk melatih ketenangan anak-anak. Menurutnya, pangkal dari kesulitan menjaga keheningan yakni karena para seminaris tidak terlatih untuk mempunyai daya hening dan konsentrasi yang tinggi.
Menyambung gagasan ini, Fr. Tian OFM pun mengusulkan agar para siswa kelas VII menjalani kegiatan rohani yang lebih intens pada hari Sabtu. “Ketimbang mengikuti kelas literasi, sebaiknya pada semester satu, para siswa kelas VII difokuskan untuk mendalami latihan-latihan rohani yang dapat dipandu oleh para frater”, pungkas Frater Tian. Usulan ini diterima karena dianggap sebagai solusi sementara yang baik oleh seluruh peserta sidang.
Kegiatan Komunitas Belajar ini diakhiri dengan pesan penutup dari Ibu Ida. Secara garis besar, Ibu Ida mengapresiasi langkah baru SMPS untuk memulai kegiatan Komunitas Belajar. Serentak pula, ia menaruh harapan agar kegiatan ini dapat menjadi kesempatan yang baik bagi para pendidik di SMPS Seminari untuk belajar bersama demi menyediakan kualitas pengajaran yang sama bagi para peserta didik.
Menjadi guru itu bukan sekadar profesi melainkan panggilan hidup. Panggilan untuk mendidik dan mengajar anak-anak menjadi generasi yang cerdas. Bagi saya menjadi guru adalah suatu tugas yang sangat mulia. Kemuliaan seorang guru datang karena ia merupakan sosok yang sangat penting bagi masa depan anak didiknya.
Perkenalkan nama saya Yustina Ia. Anak-anak biasa menyapa saya Ibu Yustin. Saya mengajar mata pelajaran Bahasa Indonesia di SMPS Seminari St. Yoh. Berkhmans Mataloko yang terletak di Kecamatan Golewa, Kabupaten Ngada, Provinsi NTT sejak tahun 2015.
Ketertarikan menjadi guru saya rasakan sejak di bangku Sekolah Dasar. Waktu itu saya terinspirasi dengan salah seorang guru matematika. Saya dikenal sebagai siswa yang pandai dalam pelajaran matematika. Bagi saya, pelajaran matematika adalah pelajaran yang sangat menyenangkan. Selain itu, kehadiran guru juga membuat saya menikmati pelajaran matematika. Namanya Bapak Paskalis Pasi. Sosok itulah yang membuat saya terinspirasi menjadi guru.
Ketika saya melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Pertama, ketertarikan saya pada pelajaran matematika semakin menurun. Alasannya karena menurut saya, guru yang mengajar mata pelajaran tersebut sangat membosankan. Meskipun ketertarikan saya pada pelajaran matematika semakin menurun, itu tidak membuat motivasi belajar saya berkurang.
Cita-cita saya menjadi guru mendapat inspirasinya lagi dari sosok seorang guru muda yang sangat cantik ketika saya duduk di bangku SMA. Waktu itu dia mengajar mata pelajaran Bahasa Indonesia. Dan mungkin karena itulah, ketika masuk perguruan tinggi saya mengambil jurusan tersebut, sampai pada akhirnya saya pun menjadi seorang sarjana pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.
Di awal tahun 2015, saya diterima untuk menjadi guru di SMPS Seminari St. Yohanes Berkhmans Mataloko, yang peserta didiknya laki-laki. Peserta didik ini dipersiapkan untuk menjadi imam Katolik. Saya tidak langsung diterima begitu saja. Proses penerimaannya dilakukan melalui tes. Yang pertama, kami mengikuti micro teaching, dan yang kedua kami diminta menulis artikel yang temanya diberikan oleh panitia.
Dari sekian banyak pelamar, saya termasuk orang yang sangat beruntung. Betapa bahagianya ketika mengetahui bahwa saya lulus tes dan diterima menjadi guru di SMPS Seminari St. Yoh. Berkhmans Mataloko.
Menjadi guru baru di lembaga pendidikan calon imam, pada awalnya membuat saya tidak merasa percaya diri atau bisa dikatakan menyerah sebelum mencoba. Saya katakan demikian karena dalam pandangan orang, siswa yang bersekolah di SMPS Seminari St. Yoh. Berkhmans Mataloko adalah kumpulan siswa yang cerdas. Walaupun demikian saya tetap memberanikan diri untuk menghadapi situasi ini dengan sebuah tekad untuk harus bisa.
Awal ketika saya bergabung di lembaga tersebut, selain menjadi guru, ada dua tugas tambahan yang dipercayakan kepada saya. Yang pertama sebagai wali kelas VII, dan yang kedua sebagai kepala perpustakaan. Saya sangat menikmati tugas yang telah dipercayakan. Sebagai wali kelas, saya berusaha mengenal lebih dekat setiap siswa. Bahkan kadang kala berkomunikasi dengan orangtua siswa demi kemajuan anaknya. Sebagai kepala perpustakaan saya selalu berusaha menjalin komunikasi bersama tenaga perpustakaan di sela-sela waktu senggang.
Tugas tambahan tidak menghalangi panggilan saya sebagai guru. Saya masuk ruangan kelas secara tertib. Saya merasa senang saat bertatap muka dengan siswa di kelas. Segala beban yang ada di pikiran saya seolah hilang ketika bertemu dengan mereka.
Sebelum proses pembelajaran berlangsung biasanya saya terlebih dahulu menyiapkan semua perangkat pembelajaran. Dimulai dari modul ajar, LKPD, dan video pembelajaran. Materi pembelajaran yang akan diberikan kepada siswa, saya susun dengan sederhana agar siswa lebih mudah memahami.
Dalam penerapan kurikulum merdeka pembelajaran Bahasa Indonesia terdiri dari empat aspek. Yakni aspek menyimak, membaca, berbicara, dan aspek menulis. Ketika hendak mengembangkan keterampilan menyimak sering saya gunakan video, karena menurut saya dengan menayangkan video pembelajaran pada aspek ini, anak-anak dilatih untuk lebih berpikir kritis.
Hal positif yang saya temukan ketika proses pembelajaran berlangsung adalah antusiasme sebagian besar siswa yang berlomba-lomba untuk bertanya berkaitan dengan materi yang saya sampaikan. Hal ini sungguh saya nikmati sehingga membuat saya merasa ditantang untuk terus belajar, berinovasi dan kreatif dalam menyiapkan materi dan strategi untuk selalu menghidupkan suasana kelas.
Namun, ada juga hal negatif yang saya temukan di dalam kelas. Misalnya ada siswa yang susah ditegur, siswa yang suka berpindah-pindah tempat duduk, siswa yang suka menyanyi, dan bahkan ada siswa yang tidur pada saat proses pembelajaran. Ketika menemukan hal itu, saya biasanya tidak menghukum mereka. Saya memanggil mereka dengan aura keibuan saya, kemudian menasihati mereka, memberi motivasi dan memperingatkan mereka untuk tidak mengulangi perbuatan tersebut.
Menjadi guru memang tidaklah mudah. Namun jika dijalani dengan penuh keikhlasan maka semua kelelahan yang kita rasakan dapat diganti dengan kebahagian dan kebanggaan tersendiri.
Saya berusaha memberikan yang terbaik bagi siswa. Oleh karena itu saya terus belajar. Mungkin untuk saat ini saya belum maksimal, tetapi saya yakin, dengan belajar, saya akan menjadi guru yang lebih baik. Saya selalu berharap, apa yang saya lakukan bermanfaat dan berguna bagi mereka di masa depan.
Saya bersyukur bisa mendidik anak-anak bangsa. Saya bersyukur menemukan tantangan dalam proses pembelajaran. Ada anak yang kelihatan tidak punya motivasi. Saya melihatnya sebagai kesempatan belajar memotivasi mereka. Ada siswa yang bermasalah karena kepribadian. Saya belajar memperkokoh karakter mereka.
Saya berusaha memperbaiki diri secara terus menerus sehingga menjadi guru yang professional dan baik. Saya berusaha segenap hati menjalani tugas panggilan sebagai seorang guru dan terus berproses dari waktu ke waktu.
“Profesi guru termasuk salah satu pekerjaan yang mudah untuk dijalankan. Rutinitasnya hanya berkisar dari bangun pagi lalu berangkat ke sekolah dan tengah hari sudah pasti kembali ke rumah. Jatah hari libur banyak, punya waktu yang cukup untuk berkumpul dengan orang tersayang, dan lebih leluasa mengatur agenda di musim liburan Panjang. Nikmat sekali, bukan?” Ini potongan anggapan lisan yang sering saya dengar dari orang-orang sekitar terkait profesi yang saya jalani sekarang.
Saya Yovita Narsi Mat, seorang tenaga pendidik pada SMPS Seminari St. Yoh. Berkhmans Mataloko. Saya menamatkan studi Pendidikan S1 pada tahun 2021 di Unika St. Paulus Ruteng. Tepat di tahun 2023, saya diterima menjadi tenaga pendidik di sekolah tempat saya mengabdi sekarang.
Sekolah ini merupakan sekolah swasta katolik yang hanya menerima peserta didik laki-laki – single gender school. Sebuah awal karir yang menawarkan cerita pengalaman yang unik. Saya kembali ke sekolah sebagai seorang guru (guru baru), guru perempuan, dan mengajar hanya peserta didik laki-laki.
Tugas pengabdian sebagai guru menuntut seseorang untuk menjalankannya dengan hati lapang. Ia membagi ilmu, dan sekaligus laku hidupnya diteladani. Seorang guru harus mampu membiasakan diri untuk bisa bertindak multiperan. Ruangan kelas menjadi saksi betapa guru paling handal dalam bertukar peran dari menjadi pengajar, orang tua, teman hingga sebagai sahabat yang menyenangkan. Profesi ini memang menuntut dan mengasah kesabaran.
Pengalaman menjadi guru baru menyajikan banyak cerita menarik dan menantang. Sebagai guru baru, saya mengalami banyak tantangan di awal karir. Mulai dari beradaptasi dengan situasi baru hingga pada perubahan identitas dari pelajar menjadi pengajar. Jeda waktu dari status sebagai pelajar terasa singkat; sekarang saya menjadi si pemberi pembelajaran di kelas.
Krisis identitas tidak lagi bisa terelakkan diawal karir ini. Di tengah keresahan ini, saya sebagai pengajar tentunya harus tetap berhadapan dengan para siswa. Mengedepankan tanggung jawab untuk mengajar dan mendidik.
Mengajar tidak rumit, namun juga tidak bisa dianggap mudah. Saya mendapatkan banyak pengalaman baru. Hal-hal praktis yang saya temukan sedikit berbeda dari teori yang saya pelajari tentang profesi guru. Pengalaman yang masih minim membuat saya belum menemukan pola mengajar yang baik dan tepat. Saya kerap kali membandingkan diri sendiri dengan orang lain.
Dalam pembelajaran di kelas, saya terkadang merasa kewalahan dalam menyeimbangkan antara ekspetasi pribadi dengan realita yang ada. Saya sering merasa belum bisa menjadi guru yang tepat untuk murid di sekolah.
“Saya merasa sudah mengajar maksimal, tetapi kenapa siswa sebagian belum juga menunjukkan kemajuan dalam belajarnya. Sepertinya saya gagal.” Sebuah keluhan yang menunjukkan betapa seringnya saya menyalahkan diri sendiri. Menuntut siswa untuk sesegera mungkin paham dengan materi yang diajarkan sementara di lain pihak mereka belum tentu terbiasa dengan kehadiran guru baru.
Menjadi guru berarti berbakti untuk kepentingan banyak individu, dalam hal ini peserta didik. Mereka adalah pribadi yang dari segi pemikiran masih berkembang dan perlu tuntunan. Saya perlu belajar untuk menurunkan ego dan ekspektasi yang kurang realistis. Saya perlu membuka diri dan merasakan suasana menjadi murid agar bisa benar-benar tahu akan bantuan apa yang mereka butuhkan. Hal ini mungkin tidak mudah untuk dilakukan.
Menghilangkan sekat antara “ aku guru dan kamu hanya muridku” membutuhkan waktu dan kesadaran penuh bahwa sekolah adalah tempat semua orang belajar, baik murid maupun guru. Pemikiran inilah yang telah menguatkan saya untuk terus berusaha dan tidak menyerah pada situasi.
Sebagai guru baru saya perlu belajar banyak hal. Melihat tantangan sebagai peluang untuk bertumbuh. “Miss, saya suka pelajaran (xx) dan lebih mudah memahami penjelasan karena gurunya baik. Kami mau diperhatikan semua”. Ini adalah pengakuan polos yang saya baca pada lembar refleksi siswa. Hal ini menyadarkan saya bahwa guru tidak bisa gegabah dalam menentukan keputusan.
Berhadapan dengan kemampuan murid yang beragam memiliki tantangan tersendiri. Kondisi di dalam kelas menunjukkan siswa tidak memiliki kemampuan yang sama. Ada siswa yang belajar dengan cepat, sebagian lainnya membutuhkan waktu untuk memahami materi yang diajarkan. Sebagai guru, tentunya saya punya tanggung jawab untuk menciptakan kelas yang inklusif, adil untuk semua. Sekali lagi hal ini bisa terwujud dengan kerelaan membuka diri untuk belajar memahami peserta didik sekalipun jalannya tidak mudah.
Dari sekian tantangan dan keresahan yang saya alami, satu hal yang menyadarkan saya untuk tetap berjuang menjalankan profesi ini dengan sepenuh hati adalah kenyataan bahwa sebelum jadi guru saya juga pernah menyandang status sebagai pelajar. Saya belajar dari sekolah dasar, kemudian berlanjut ke sekolah menengah pertama, lalu menikmati proses di sekolah menengah atas. Perjalanan yang memakan waktu belasan tahun, lebih tepatnya 12 tahun.
Tidak berhenti di situ, saya melanjutkan pendidikan tinggi di fakultas keguruan selama empat tahun. Proses belajar yang memakan banyak waktu. Terkadang kejadian yang saya alami di kelas membawa saya kembali pada pengalaman masa lalu sebagai pelajar. Murid perlu didampingi, dan dalam proses ini seorang guru juga akan bertumbuh di dalamnya. Inilah yang saya rasakan selama setahun menjadi guru. Saya mengajar sekaligus belajar banyak dari peserta didik.
Memilih menjadi guru adalah jalan panggilan untuk selamanya belajar dan berbagi. Sekolah menjadi tempat yang paling jelas melihat pemandangan orang belajar, berjuang, sekaligus bertumbuh sebagai manusia. Saya menikmati pemandangan luar biasa ini.
Ilmu yang didapatkan kurang lebih selama enam belas tahun kembali saya dedikasikan untuk murid di sekolah. Inilah komitmen yang bisa saya berikan sebagai bentuk kontribusi terhadap perkembangan dunia pendidikan Indonesia dan wujud pelayanan memberi dengan sebaik-baiknya terhadap sesama lewat profesi guru.
Menjadi guru adalah sebuah panggilan mulia untuk mendidik anak bangsa. Itulah profesi yang saya jalani saat ini. Namaku Heronimus Aloysius Pulu yang biasa disapa Ronny. Aku berkarya di sebuah lembaga pendidikan calon imam Katolik yang lazim disebut seminari yaitu Seminari Menengah St. Yoh. Berkhmans Mataloko. Lembaga pendidikan ini merupakan sekolah berasrama khusus laki-laki yang didirikan oleh para misionaris Eropa pada tahun 1929. Sebuah sekolah tua yang menyisakan sedikit arsitektur bangunan bergaya Eropa dan terletak di wilayah Kecamatan Golewa Kabupaten Ngada Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Letaknya cukup strategis karena berada pada jalur utama jalan penghubung antara kota-kota kabupaten di daratan pulau Flores. Selain itu udaranya yang sejuk dan cenderung dingin semakin menambah kenyamanan sebagai sebuah taman pendidikan. Walau sering dijuluki sebagai kota kabut dengan curah hujan yang cukup tinggi, Mataloko menjadi pilihan bagi beberapa lembaga pendidikan lainnya pada berbagai jenjang. Kondisi yang mungkin mirip seperti di Eropa ini bisa saja menjadi alasan berpindahnya lembaga pendidikan calon imam Katolik ini dari Lela yang berhawa panas, sebuah tempat di pesisir selatan pulau Flores pada wilayah kabupaten lainnya. Seminari tingkat menengah ini terdiri dari jenjang SMP dan SMA. Aku menjadi salah satu guru di tingkat SMP yang berasal dari kalangan awam (non imam) di antara sejumlah guru awam dan beberapa imam Katolik serta frater (calon imam) yang sedang menjalani masa orientasi pastoralnya.
Sebelum menjadi guru, aku pernah beberapa tahun berkarya di lembaga ini sebagai instruktur yang mendampingi para siswa seminari (seminaris) tingkat SMA dalam membuat berbagai benda kerajinan pada Sanggar Kreasi Berkhmawan. Sebuah kerja tangan yang harus dicintai oleh para seminaris sesuai dengan visi dan misi lembaga pendidikan ini. Sebagai instruktur aku sangat menikmati pekerjaan ini karena sesuai dengan minat dan bakatku. Berbagai limbah alam yang terbuang mudah didapatkan, seperti kayu, kaca, ataupun bambu. Aku bisa memanfaatkannya menjadi sesuatu benda yang menarik. Ada kepuasan bathin tatkala hasil karyaku dijadikan model untuk ditiru oleh para seminaris. Bahkan beberapa kali hasil karya kami dipamerkan pada ajang tertentu baik di sekolah ini maupun pada tingkat kabupaten.
Selama mendampingi para seminaris, banyak hal yang aku alami, baik yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan, bahkan bisa memicu kemarahan. Peralatan kerja milik sanggar kadangkala menjadi rusak dan tidak bisa digunakan lagi. Cara menggunakan alat kerja juga kadang harus aku tunjukkan karena menjadi hal yang baru bagi mereka. Bahan-bahan habis pakai yang disediakan kadang digunakan seenaknya tanpa aturan. Memang perlu penguasaan diri yang cukup untuk menghadapi ulah seminaris yang seperti itu. Kesabaran mutlak sangat diperlukan. Peralatan kerja yang digunakan cukup beresiko bahkan bisa membahayakan. Pengawasan harus terus dilakukan sehingga bisa mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan.
Aktivitas kerja tangan harus dibuat menjadi sesuatu yang menyenangkan, bukan paksaan. Karena sesuatu yang dibuat karena terpaksa tentu akan menghasilkan sesuatu yang tidak maksimal. Membuat suatu benda kerajinan akan berhasil baik bila dikerjakan dengan hati. Silakan berkreasi sesuai dengan keinginan. Dua hal ini selalu aku tekankan pada seminaris. Dengan demikian mereka menjadi lebih kreatif, lebih cermat dan teliti, serta bertanggung jawab terhadap bahan dan peralatan yang digunakan. Kadang kala aku mengajak para seminaris mengevaluasi hasil karyanya secara detail, sehingga mereka bisa menyadari kekurangan untuk diperbaiki. Rasa bangga terpancar dari wajah-wajah mereka bila aku memuji. Hal ini semakin terlihat apabila hasil karyanya masuk nominasi untuk dipamerkan.
Sejak sepuluh tahun yang lalu aku dipercayakan menjadi guru untuk mata pelajaran Prakarya. Aku yang awalnya hanya berkutat dengan gergaji, mesin serut, bor, palu, dan peralatan tukang lainnya harus membiasakan diri dengan buku, spidol, laptop, dan urusan administrasi lainnya yang berhubungan dengan perangkat pembelajaran. Sebuah kepercayaan yang harus bisa dibuktikan dengan kerja nyata dalam peran sebagai guru. Memang awalnya terasa berat sekali karena aku sama sekali tidak memiliki kompetensi akademik dan pengalaman sebagai guru. Perlu perjuangan ekstra untuk masuk dalam kategori guru apalagi menjadi guru yang baik dan berkualitas. Namun lingkungan kerja yang kondusif dan menyenangkan sungguh sangat membantuku sehingga bisa beradaptasi dengan peran yang baru.
Aku harus membiasakan diri untuk menyiapkan perangkat dan materi pembelajaran, masuk kelas tepat waktu, membantu siswa dengan berbagai cara agar bisa memahami materi ajar, dan menjalankan tugas lainnya dengan penuh tanggung jawab. Sesekali aku tetap mendampingi siswa dalam kerja praktik Prakarya walau tidak lagi menggunakan ruang sanggar karena berbeda lingkungan kerjanya. Bukan sekedar mendampingi, tetapi harus bisa menilai proses dan hasilnya. Dahulu berurusan dengan ‘perangkat keras’, sekarang berurusan dengan ‘perangkat lunak’. Demikian kalimat yang pernah aku dengar dari salah seorang alumnus yang pernah menjadi siswaku.
Seorang guru tentu membutuhkan kedewasaan dalam berpikir dan bertindak serta memiliki kematangan emosional. Menguasai diri dalam menghadapi berbagai situasi kehidupan menjadi suatu keharusan. Para seminaris di sekolahku berasal dari berbagai wilayah di Indonesia, dengan berbagai latar belakang keluarga yang berbeda, dengan kultur yang kadang berbeda pula, dan sebagainya. Karena itu, dengan penuh kesabaran guru harus mampu mengelola kelas dengan baik, memberikan contoh dan teladan yang baik pula kepada para siswanya. Guru harus mampu mengarahkan para siswanya untuk saling menghormati perbedaan, dan berperilaku positif lainnya. Para siswa diharapkan untuk bisa memiliki karakter yang baik dan terus berusaha memperbaiki diri dari hari ke hari. Hari ini harus lebih baik dari hari kemarin. Besok harus lebih baik dari hari ini.
Latar belakang pendidikan saya adalah sekolah menengah kejuruan di bidang pertanian. Tujuan awal saya melamar pekerjaan adalah sebagai karyawan di PT Cengkeh Malanuza milik Keuskupan Agung Ende yang berlokasi di Kecamatan Golewa Kabupaten Ngada Provinsi NTT. Kurang lebih setahun saya bekerja di PT Cengkeh. Dalam perjalanan waktu, kesehatan saya terganggu sehingga saya tidak bisa untuk selalu berada di lapangan. Lalu saya dipindahtugaskan ke Seminari Menengah St. Yohanes Berkhmans Mataloko yang juga menjadi milik Keuskupan Agung Ende.
Seminari ini merupakan lembaga pendidikan khusus tingkat menengah untuk para siswa calon imam Katolik (seminaris). Di dalam lembaga ini ada dua sekolah berasrama untuk SMP dan SMA. Semua seminaris yang dididik di kedua jenjang sekolah ini terdiri dari laki-laki saja. Dalam kehidupan berasrama para seminaris didampingi oleh para imam Katolik. Sedangkan di sekolah ada sejumlah tenaga pendidik dan tenaga kependidikan non imam (awam), baik guru negeri maupun guru swasta. Ada yang laki-laki dan ada juga guru-guru perempuan. Para imam Katolik yang menjadi pembina di asrama juga menjadi guru sesuai dengan kompetensi masing-masing.
Nama saya Densiana Deu Mala yang biasa disapa Densi. Pada saat itu kepada saya ditawarkan dua pilihan, yaitu sebagai tenaga kependidikan di perpustakaan dan di laboratorium. Akhirnya saya lebih memilih perpustakaan karena saya suka baca novel. Jadi sejak tahun 1994 saya menjadi pustakawati di perpustakaan Seminari Mataloko dan menangani urusan buku yang berkaitan dengan kebutuhan para siswa dan guru SMP.
Awal mula bekerja di perpustakaan saya merasa bingung mau memulai dari mana, karena saya belum mengenal sistem yang harus digunakan supaya buku-buku yang ada di perpustakaan dapat dipinjamkan. Namun kebingungan itu tidak bertahan lama karena saat itu sudah ada pegawai senior bernama Ibu Lis yang sudah lebih dahulu bekerja di perpustakaan itu. Saya banyak belajar dari beliau, dan juga dari buku-buku bacaan tentang bagaimana mengelola perpustakaan sekolah.
Kedatangan Romo Nani Songkares, Pr. , seorang imam Katolik sekaligus guru bahasa Inggris pada tahun 1998, telah membawa angin segar untuk kami staf perpustakaan. Dia dipercayakan menjadi kepala perpustakaan selain juga menjadi salah satu pembina bagi para seminaris dalam kehidupan berasrama. Sebagai kepala perpustakaan dia menjalin kerja sama dengan perpustakaan Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero di Maumere Flores. Dia mendatangkan pengelola perpustakaan Seminari Tinggi Ledalero yaitu Bapak Stefanus Meo, yang sudah ahli dalam mengelola perpustakaan. Kami diberi pelatihan mengelola perpustakaan dengan menggunakan sistem Dewey Decimal Classification, sebuah sistem pengelolaan yang masih digunakan sampai saat ini. Setelah pelatihan itu, saya baru menyadari bahwa bila bekerja di perpustakaan harus membiasakan diri untuk membuka dan membaca buku. Tidak harus semua halaman, tetapi paling kurang daftar isi atau sinopsisnya agar dapat menentukan tema buku yang akan ditempatkan di rak buku sesuai sistemnya. Jadi ribuan buku yang dikoleksi oleh perpustakaan ini harus kami cermati. Dengan demikian, jika ditanya oleh para pengguna perpustakaan yang membutuhkan sumber bacaan sesuai keinginannya, maka dengan mudah kami dapat menemukan buku yang dimaksud.
Dalam pemikiran sebagian orang, yang bekerja di perpustakaan adalah orang buangan yang tidak mampu bekerja di tempat yang lebih menjanjikan. Dalam pemikiran mereka, kerja di perpustakaan berarti hari-hari pikul buku, susun buku dan lain lain yang tentu akan membosankan. Tetapi bagi saya pribadi, bekerja di perpustakaan adalah hal yang luar biasa dan membanggakan, karena setiap hari saya bekerja sambil belajar secara gratis. Di sela jam kerja pasti ada waktu kosong yang selalu saya gunakan untuk membaca buku walau tidak sampai tuntas. Selalu ada hal-hal baru yang saya dapatkan dari buku. Dan saya merasakan bahwa buku adalah guru yang paling istiwewa, yang mengajarkan banyak hal sesuai apa yang saya inginkan.
Pada tahun 2011, saya diberi kesempatan oleh pimpinan lembaga pendidikan ini untuk kuliah jurusan perpustakaan. Sekolah menyadari bahwa salah satu poin penilaian dalam akreditasi sekolah adalah keberadaan tenaga perpustakaan yang berkualifikasi diploma perpustakaan. Saya sangat antusias dan senang sekali karena Komite sekolah menyanggupi untuk menanggung sebagian dari biaya kuliah saya. Universitas Terbuka menjadi pilihan saya untuk kuliah, sehingga tugas utama di perpustakaan tidak terabaikan. Dalam menjalani proses perkuliahan saya mendapat banyak kemudahan dalam belajar. Ada beberapa modul mata kuliah yang tidak bisa saya dapatkan. Namun buku-buku di perpustakaan Seminari masih bisa menjadi sumber pengganti modul-modul tersebut.
Kehadiran para imam Katolik sebagai pembina seminari dengan berbagai kompetensi keilmuan yang mereka miliki sungguh sangat memperperkaya saya dalam banyak hal selama keberadaan saya di lembaga ini.. Saya yang dulunya sangat tidak peduli dengan disiplin menjadi sadar bahwa disipilin itu adalah harga mati karena hanya dengan disiplin saya bisa berubah menjadi lebih baik. Memulai dari diri sendiri, memulai dari hal yang kecil, memulai dari sekarang dan tidak menunda. Selain itu, keberadaan guru-guru awam senior telah banyak mengajarkan kepada saya, bagaimana harus bekerja dengan hati bagi para siswa seminari karena merekalah calon imam dan penerus masa depan gereja Katolik dan bangsa Indonesia.
Seiring berjalannya waktu, tidak terasa sudah 30 tahun saya bekerja sebagai pegawai perpustakaan Seminari Mataloko. Saya sering mendapat pertanyaan demikian, “Ibu Densi masih betah juga kerja di seminari?” “Untuk apa ke tempat lain? Karena bagi saya, Seminari adalah rumah kedua setelah rumah orang tua.” Demikian jawabanku. Ada lagi pertanyaan lain, “Ibu Densi tidak banyak berubah sejak kami masih sekolah di Seminari sampai sekarang.” Saya balik bertanya apa maksudnya. “Maksudnya wajah ibu tidak banyak berubah,” jawab mereka. Sambil tersenyum saya menjawab. “Jangan pura-pura tuh supaya membuat ibu senang sesaat. Memang ibu sangat menikmati pekerjaan ini karena sambil bekerja ibu juga belajar.”
Sebagai orang yang sudah dipercayakan sebagai pendidik dan tenaga kependidikan, saya berusaha untuk selalu bekerja dengan hati. Kalau kita benar bekerja dengan hati kita akan menemukan kebahagiaan dan kepuasan batin, sehingga seberat apapun tantangan dalam mengemban tugas pasti bisa kita lewati.
Saya berusaha jalin relasi yang baik dengan rekan kerja karena saya percaya, hubungan antar pribadi adalah perpustakaan hidup tempat kita menjadi dewasa. Tanpa tantangan dan rangsangan serta interaksi kita dengan sesama, kepribadian kita tidak berkembang dan berubah (Penulis adalah Pustakawati SMPS Seminari Mataloko)
Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Ut elit tellus, luctus nec ullamcorper mattis, pulvinar dapibus leo.
Konsep belajar sepanjang hayat (long life learning) akan terus berlangsung sepanjang kehidupan setiap orang termasuk diriku. Sesuatu hal yang baik pasti banyak ujian dalam melakukan. Namaku Heronimus Aloysius Pulu yang biasa disapa Ronny. Aku adalah seorang guru pada SMPS Seminari St. Yoh. Berkhmans Mataloko yang terletak di wilayah Kabupaten Ngada Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Sebenarnya aku tidak layak disebut sebagai guru karena hanya bermodalkan ijazah SMA. Aku sempat berada di tingkat akhir namun tidak sampai menyelesaikan pendidikan di perguruan tinggi. Lagi pula bidang yang kugeluti di perguruan tinggi tidak berkaitan dengan pendidikan di sekolah, sehingga jauh dari kompetensi seorang guru. Namun demikian, karena kuasa Tuhan dan terdorong oleh semangat belajar sebagai aktivitas yang menyenangkan, sudah hampir 18 tahun aku berada dan mengabdi di almamaterku ini. Pada awalnya, aku dipercayakan sebagai instruktur pada sanggar seni keterampilan Berkhmawan. Lalu kemudian aku dipercayakan menjadi guru untuk mata pelajaran Prakarya dan Bahasa Latin .
Sekolahku merupakan bagian dari sebuah lembaga pendidikan calon imam Katolik yang bernama Seminari Menengah St. Yoh. Berkhmans Todabelu Mataloko, sebuah sekolah berasrama untuk jenjang SMP dan SMA yang pada tahun ini berusia 94 tahun. Walaupun sebagai lembaga pendidikan khusus, sekolah ini tetap menjalankan kurikulum pemerintah (Kurikulum Merdeka) selain kurikulum khusus Seminari yang menjadi kekhasan semua seminari di seluruh Indonesia. Salah satu mata pelajaran khusus Seminari adalah Bahasa Latin, sebuah bahasa baku yang dikenal menjadi induk beberapa bahasa di Eropa dan sering digunakan dalam liturgi gereja Katolik. Sungguh tidak disangka bahwa sejak dua tahun lalu aku mendapat kepercayaan untuk mengampu mata pelajaran ini yang lazim dijalani oleh seorang imam atau frater (calon imam tingkat perguruan tinggi).
Sebagai guru Bahasa Latin yang mungkin pertama dari kalangan awam yang terjadi di sekolah ini, aku beranikan diri untuk menerima tantangan ini. Walau hanya bermodalkan secuil pengetahuan dasar tentang Bahasa Latin. Memang aku pernah belajar saat menjadi seminaris pada 40-an tahun silam. Aku meyakini bahwa sesulit apa pun itu pasti bisa dipelajari asalkan memiliki tekad yang kuat untuk belajar.
Pada titik ini aku bersyukur bahwa materi dalam buku panduan masih tetap sama seperti dahulu saat aku baru mulai mengenal Bahasa Latin. Lagi pula sebagai salah satu dari sekian ribu alumni yang kembali mengabdi di lembaga ini tentunya aku memiliki kewajiban moral untuk tetap mempertahankan eksistensi dan kontinuitas lembaga pendidikan calon imam Katolik ini. Nilai-nilai kehidupan yang selalu ditanamkan dalam diri para seminaris dan sudah kami rasakan manfaatnya harus terus dipertahankan dan ditingkatkan dari hari ke hari.
Bisa berkomunikasi dalam suatu bahasa asing tentu menjadi sesuatu yang menarik, sehingga menggugah orang untuk mau memelajarinya. Bahasa Latin tidak seperti bahasa asing lainnya yang bisa digunakan dalam percakapan sehari-hari. Hal ini tentunya menjadi tantangan untuk bisa meyakinkan para siswa agar mau belajar Bahasa Latin, sebuah bahasa baku yang nyaris tidak digunakan sebagai bahasa percakapan. Para seminaris selalu diingatkan bahwa jika kita menguasai Bahasa Latin maka kita akan mudah memelajari beberapa bahasa lain di Eropa seperti Italia, Perancis, Spanyol, dan Jerman.
Pembelajaran di kelas harus menarik minat siswa. Dalam rangka menggugah semangat belajar para seminaris, semua materi aku kemas dalam bentuk file powerpoint dengan animasi yang menarik. Untuk bisa berbahasa asing tentunya harus menguasai tata bahasa dan kosa katanya. Dalam perjalanan waktu ada beberapa siswa yang masih mengalami kesulitan dalam mengingat kosa-kata dan gramatika Bahasa Latin. Selain dibuatkan latihan yang berulang-ulang pada lembar kerja, beberapa materi penting juga dikemas dalam bentuk lagu dan dinyanyikan bersama (kadang aku iringi dengan alat musik). Pada saat tertentu juga aku menyediakan waktu untuk bimbingan pribadi bagi seminaris yang mengalami kesulitan, baik di dalam kelas maupun di tempat lain yang memungkinkan.
Aku belajar sambil mengajari siswa. Tidak ada sesuatu yang sulit yang tidak bisa dipelajari, asal ada kemauan dan tekad yang kuat. Ada yang bisa dalam waktu singkat, dan ada yang membutuhkan lebih banyak waktu agar bisa. Teman-teman guru yang tentunya lebih memiliki kompetensi harus mampu memahami kelebihan dan kekurangan setiap siswa, membimbing dan mendampingi dengan tulus hati.
Aku selalu merasa bahwa para siswa adalah anak/adik/cucuku. Aku berusaha memperlakukan mereka secara baik dengan penuh kasih. Aku berusaha menunjukkan keteladanan yang layak dicontohi karena aku sadar guru itu untuk digugu dan ditiru. Aku berusaha menjadikan diriku guru yang disenangi siswanya, bukan guru yang menakutkan. Aku mengalami, bila siswa menyukai guru maka mereka akan menyukai pelajarannya. Mereka akan berusaha mencerna dengan baik apa yang kita sampaikan.
Hingga saat ini, 26 tahun sudah saya berkarya sebagai pembina calon imam tingkat SMP di Seminari St. Yoh. Berkhmans Todabelu. Hal dasar yang menjadi fokus karya adalah membantu para calon imam mencapai kematangan dalam 5–S (sanctitas=kekudusan, scientia=pengetahuan, sapientia=kebijaksanaan, sanitas=kesehatan, sosialitas=persaudaraan). Kendatipun dalam perjalanan hidupnya, seminaris “menjadi yang lain”, minimal sebagian spirit 5–S telah terinternalisasi. Ini akan menjadi bagian dari cerita kehidupan saat mereka telah “menjadi yang lain”.
SMP dan SMA Seminari St. Yoh. Berkhmans Todabelu merupakan internat. Sebuah sekolah berasrama yang lima tahun lagi merayakan satu abad kehadirannya di Mataloko, Kec. Golewa, Kab. Ngada, NTT. Sungguh suatu kebanggaan. Selain karena usia yang sudah matang, internat calon imam ini telah melahirkan ribuan utusan dalam berbagai bidang panggilan dan karya di seantero dunia. Kualitas hidup mereka telah diakui sekurang-kurangnya karena 5–S yang pernah menjadi bagian dari jiwa mereka selama berada di Seminari.
Ada apa dengan Seminari?
Tidak dimaksudkan untuk menyombongkan diri. Namun, jika menimbang-nimbang kiprah hebat dan istimewa sebagian alumninya di seantero dunia, pertanyaan yang mungkin muncul adalah “Ada apa dengan Seminari atau Apa yang terjadi di Seminari?” Mungkinkah terjadi proses tumbuh kembang yang luar biasa para calon imam dalam internat ini? Sebagai komunitas khusus, berbagai pertanyaan, dugaan, bahkan prasangka dapat saja muncul. Namun, internat ini tidak hanya memunculkan dugaan ini dan itu. Fakta-fakta tentang sepak terjang “rumah” ini telah membangkitkan niat dan antusiame banyak calon imam untuk memulai dan menjalani kehidupan baru mereka di sini. Mereka yakin, internat ini adalah rumah kedua, tempat mereka memacu tumbuh kembang mereka untuk hidup masa depan.
Tidak disangkal, segelintir orang memastikan bahwa Seminari sebagai lembaga pendidikan akan melahirkan imam-imam sudah seharusnya demikian. Melalui pengelolaan pendidikan dan pembinaan yang bermutu, Seminari memang harus menghasilkan para calon pemimpin umat yang “mumpuni”. Orang lain lagi mungkin yakin sungguh bahwa memang Seminari pasti menyelenggarakan pendampingan dengan proses istimewa. Namun, mungkin juga, mereka yang pernah menapaki kaki di internat ini akan menilai biasa-biasa saja, atau masih jauh dari harapan. Entah apa yang dipikirkan, dirasakan, dikatakan, atau dievaluasi, pertanyaan di atas merupakan spirit, kepercayaan, sekaligus harapan untuk terus berinovasi dan berkreasi dalam pengabdian.
Mulai dari hal biasa-biasa dan sederhana untuk mandiri
Percikan pengalaman ini tidak dimaksudkan untuk membahas semua hal mengenai pedoman pendidikan calon imam. Jika menimbang-nimbang jawaban atas pertanyaan di atas, jawabannya adalah mulai dari hal sederhana dan biasa-biasa, sejauh pengalaman saya. Hal-hal sederhana itu, misalnya merapikan tempat tidur, melipat pakaian, merapikan lemari, membuang sampah pada tempatnya, cara menggunakan toilet, bekerja hingga tuntas, mengembalikan alat kerja, mencuci pakaian, serta hemat menggunakan air. Ini hal biasa dan sederhana yang sebenarnya sudah dilakukannya di rumah. Dalam internat ini, para seminaris mengulang kembali sendiri. Jauh dari ketergantungan pada intervensi orang tua. Memang, Seminari harus menjadi instansi kedua yang memudahkan calon imam mengembangkan berbagai keterampilan dasar itu. Semuanya dilakukan secara hidup mandiri.
Suatu saat, saya bertanya kepada para seminaris tentang arti disiplin. Ada rupa-rupa jawaban sederhana, tetapi unik. Ada yang mengatakan, disiplin berarti merapikan tempat tidur; gunakan air secukupnya untuk urusan toilet; membuang sampah pada tempatnya; tidak membuang ludah di sembarangan tempat; berdoa sebelum dan sesudah makan; tahu menyapa; rela mengucapkan maaf dan terima kasih; serta memelihara keheningan. Ada yang memandang disiplin sebagai tenggang rasa saat mandi dan cuci. Baginya, hemat menggunakan air karena ada ratusan seminaris yang sedang antre untuk mandi itulah wujud disiplin. Hemat saya, itulah konsep disiplin yang jujur dan kontekstual. Mereka merumuskan kedisiplinan sebagai apa yang dialami. Mereka tidak membutuhkan konsep disiplin yang rumit. Artinya, seminaris lebih memahami disiplin sebagai sebuah contoh hidup.
Mengembangkan karakter dengan contoh
Karena hal yang lebih menyatu dengan hidup mereka adalah contoh, maka pengembangan karakter semestinya bertolak dari contoh hidup. Rm. Nani Songkares adalah salah satu pendamping asrama tingkat SMP yang konsisten dalam hal ini. Sampah di lingkungan sekitarnya misalnya, pasti tidak luput dari perhatiannya. Seminaris selalu diajaknya untuk turut memungut sampah. Dari pengalamannya, kebiasaan positif anak akan menetap jika ada konsistensi keteladanan. Keluhan bahwa seminaris sembrono membuang sampah hanya dapat diatasi jika para guru dan pembina menjadi contoh yang konsisten. Guru dan pembina mesti secara sengaja memungut dan membuang sampah pada tempatnya. Bahkan jika ternyata para seminaris lupa atau tidak mau melakukannya lagi. Konsestensi contoh harus tetap dirawat hingga menjadi suatu kewajiban yang dapat ditiru dan dilakukan secara spontan oleh para seminaris sendiri.
Prinsip yang sama saya lakukan saat mengatur penggunaan air bagi para seminaris. Mereka mesti membiasakan diri dengan budaya antre untuk mandi. Dengan jumlah 300 lebih seminaris, budaya antre amatlah penting. Di samping memupuk tenggang rasa, kualitas kesabaran para seminaris dipertebal. Penjagaan dilakukan secara konsisten hingga mereka terbiasa dengan cara itu. Kendatipun kesadaran anak-anak belum stabil, saya yakin bahwa konsistensi ini efektif meyakinkan para seminaris untuk memikirkan hak orang lain.
Selama menangani tugas ini, pengulangan sangatlah penting artinya. Peringatan dan penguatan perlu terus-menerus dilakukan. Mempertebal kesadaran anak-anak untuk melakukan hal baik dengan gembira tidaklah mudah. Di sini, ketahanan saya untuk menginformasikan hal yang sama berkali-kali diuji. Rasa jenuh, bosan, dan ketidaksabaran sering memancing keinginan untuk tidak melakukannya. Inilah saat kritis yang dapat memutuskan konsistensi. Hal yang dapat saya lakukan untuk keluar dari kondisi kritis ini adalah membuat refleksi diri. Sejauh pengalaman saya, inilah cara yang tepat untuk menyelamatkan konsistensi pendampingan. Pembaharuan spirit saya perlu dilakukan untuk mengubah cara pandang dan memperkuat perilaku positif terhadap berbagai keterampilan dasar pribadi. Para seminaris perlu dilatih untuk memberi respek terhadap hal biasa-biasa dan sederhana. Saya yakin, hal ini membuat karakter anak-anak lebih berkualitas.
Pembelajaran pada waktu dan tempat kejadian
Selama mendampingi seminaris menjalani kehidupan asrama, saya biasa menerapkan “pembelajaran pada waktu dan tempat kejadian”. Cara ini saya diterapkan saat seminaris melakukan kesalahan. Ketika anak-anak memboroskan air saat mandi, di situlah saya melakukan evaluasi. Demikianpun saat mereka tidak bekerja secara tuntas, evaluasi dan perbaikan saya berikan pada waktu dan tempat kejadian. Hemat saya, cara ini akan meninggalkan efek yang kuat dalam pikiran dan hati mereka. Menunda saat pembelajaran dan memindahkan tempat evaluasi dan refleksi dapat memperlemah keseriusan anak untuk memahami masalah dan akibat yang ditimbulkannya.
Dalam jangka pendek, para seminaris dapat menerimanya sebagai pembelajaran yang dalam menata kehidupan bersama di asrama. Efeknya mungkin bertahan sesaat. Namun, saya yakin, jika konsistensi keteladanan dan pengulangan yang konkret terus berlangsung, cara pandang dan perilaku positif para seminaris akan menetap.
Untuk semua itu, sejauh pengalaman hidup bersama seminaris, komitmen untuk mengolah hal-hal biasa dan sederhana secara konsisten merupakan keharusan. Butuh keterlibatan yang lebih untuk membuat hal-hal biasa dan sederhana dalam hidup berasrama menjadi luar biasa dalam diri para seminaris (Rm. Alex Dae, Pr)
MATALOKO – Kamis, (08/02/2024) menjadi hari yang baik bagi komunitas SMP Seminari St. Yohanes Berkhmans Mataloko. Pada hari ini para seminaris mengadakan kegiatan diskusi ilmiah yang ditanggung oleh kelas IX C. Tema diskusi yang diangkat kali ini adalah “Puasa: Aku vs Diriku”. Kegiatan ini berhasil menarik perhatian semua peserta diskusi yang hadir di aula SMP Seminari Mataloko.
Acara dimulai dengan sambutan pembuka dari Tim Prefek SMP yang diwakili oleh Fr. Brian Lagaor, SVD. Dalam sambutan pembukanya, Fr. Rian Lagaor, SVD menjelaskan alasan dan tujuan pemilihan tema. “Tema diskusi ilmiah ‘Puasa: Aku vs Diriku’ yang kita angkat kali ini merupakan salah satu bentuk persiapan untuk menyambut masa Prapaskah. Kita mesti melawan diri kita, terutama hal-hal yang bersifat keinginan. Kita diajak agar bisa memilih dan memilah kebutuhan dari keinginan; bisa mengendalikan diri. Tidak semua keinginan harus dipenuhi”, ungkap Fr. Rian Lagaor, SVD.
Kegiatan ini menjadi rutinitas bulanan siswa SMP Seminari Mataloko. Selain menggugah dan melatih jalan berpikir para seminaris, diskusi ilmiah menjadi sarana pengembangan diri, mengasah kemampuan berbicara, dan yang terpenting memupuk kerelaan hati dalam sikap mendengarkan. Begitulah kira-kira tujuan kegiatan ini dibuat.
Diskusi ilmiah menjadi kegiatan unggulan yang dipercaya mampu mengubah pola pikir para seminaris dalam menjalankan rutinitas hidup dengan lebih baik. Kegiatan ini biasanya ditanggung oleh salah satu kelas dan diberi rentang waktu dua sampai tiga minggu untuk mempersiapkan materi. Waktu yang diberikan cukup lama karena pemateri membutuhkan data lapangan terkait tema dengan melakukan beberapa penelitian. Pemateri menyajikan makalah sebagai referensi masalah diskusi dan slide power point untuk untuk mempresentasikan materi kepada audiens.
Kelas IX C pada hari ini membawakan materi dengan baik. Kris Lidharmantara maju sebagai presentator untuk memaparkan materi yang telah disusun. Penjelasan tentang pantang dan puasa disampaikan dengan sangat baik oleh pemateri, terutama dalam konteks pertarungan antara kehendak diri dengan kedisiplinan. Mereka juga menggunakan pandangan filosofi stoikisme dari Zeno, salah seorang filsuf Yunani Kuno, tentang pengendalian diri. Penggunaan kata-kata dan istilah baru membuat audiens berdiri mengajukan pertanyaan informatif. Diskusi pun dimulai.
Saat tiba sesi diskusi, banyak audiens maju mempertanyakan tentang bagaimana hubungan dikotomi kontrol dengan pengendalian diri di kalangan seminaris. Setiap pertanyaan dijawab dengan baik oleh pemateri. “Seminaris harus bisa mengendalikan diri secara sadar mengingat dikotomi kontrol adalah kondisi manusia mengendalikan diri secara sadar dan tidak sadar. Begitulah kira-kira jawaban kelas IX C, dikutip dari tanggapan Kris Lidharmantara saat diskusi.
Suasana seketika memanas ketika Ian Roga berdiri mengajukan beberapa kritikan atas makalah pemateri. Dia beranggapan bahwa adanya perbedaan makna yang dijelaskan oleh pemateri. Hal itu justru menimbulkan suatu keambiguan. Terlebih lagi terdapat manipulasi penyusunan data kuesioner. Ian Roga mati-matian meminta pertanggungjawaban pemateri terkait adanya indikasi kecurangan data kuesioner yang diambil pemateri. “Kalau data kuesioner dimanipulasi, ini berarti bukan diskusi ilmiah, tetapi diskusi opini”, ungkap Ian Roga saat mengkritik makalah kelas IX C. Seketika diskusi pun menjadi panas diiringi riuhan audiens yang tidak terkendali.
Ada hal menarik terjadi setelah Ian Roga menyampaikan kritikannya. Eskil Lou berdiri membantu kelas IX C untuk memberikan jawaban. “Perbedaan data kuesioner itu bukan manipulasi melainkan karena kesalahan kalkulasi semata. Jangan memperdebatkan hal yang tidak perlu. Setiap manusia tidak ada yang sempurna. Jadi, teman Ian Roga tidak bisa menuntut kesempurnaan itu”, ungkapnya. Banyak audiens kaget mendengar komentar Eskil Lou karena seharusnya sebagai seorang moderator ia tidak perlu menjawab demikian.
Panasnya diskusi terus berjalan sampai akhirnya Fr. Orsan, OFM berdiri untuk menyampaikan masukan. “Data kuesioner memang harus dipertanggungjawabkan dengan baik dan jujur karena di situlah letak keilmiahan diskusi ini. Tujuan kita berdiskusi adalah untuk mencari sebuah kebenaran bersama. Boleh-boleh saja kita berdebat, tetapi ingat bahwa kita tidak bisa memenangkan ego masing-masing. Tadi, pemateri sudah mengakui kelalaian mereka kepada audiens. Maka, baiklah kita saling mendengarkan satu sama lain.” Begitulah kira-kira tanggapan Fr. Orsan, OFM yang sekaligus menutup panasnya diskusi hari ini. Suasana dinetralkan ketika Berchmawan Junior Acustic memainkan beberapa lagu selingan yang dinyanyikan bersama.
Di akhir diskusi, Fr. Igin O.Carm memberikan beberapa komentar dan masukan terkait jalannya diskusi. Ia menyampaikan terima kasih dan apresiasi kepada para pemateri dan semua peserta diskusi yang telah menunjukkan keterlibatan aktif dalam kegiatan diskusi ilmiah ini. Selain itu, Fr. Igin O.Carm juga memberikan catatan atas peran moderator sebagai pemandu utama diskusi. “Eskil belum bisa menjalankan tugas pokoknya dengan baik. Dia adalah moderator dalam diskusi ini. Perkataannya tadi seolah-olah menunjukkan pembelaan terhadap kelas IX C sebagai pemateri. Kita belajar dari kekeliruan-kekeliruan seperti ini supaya tidak terjadi lagi dalam diskusi-diskusi berikutnya.” Itulah kira-kira tanggapan Fr. Igin O.Carm di akhir kegiatan diskusi ilmiah kali ini.
Walaupun suasana diskusi cukup tegang dan panas, hal itu hanya berlangsung di ruang diskusi saja. Di luar ruang diskusi, para seminaris tetap menjalin relasi dengan baik. Solidaritas tetap berjalan; keakraban kembali seperti semula.
Gudep SMPS Seminari St. Yoh. Berkhmans Mataloko, berkekuatan 9 kloter ini menyelenggarakan hiking, di seputaran Mataloko, Sabtu (25/11/2023).
Lengkapnya rute hiking dimulai dengan mendaki bukit Wolo Riti di belakang Kampung Wolokuru, lalu menuruni bukit melewati Jembatan Bheto Keli, menyusuri lereng bukit Wolo Sasa, turun sampai ke dasar bukit, lalu masuk ke jalan raya Mataloko.
Kegiatan tersebut bertepatan dengan Hari Guru Nasional (HGN), saat sebagian besar guru SMPS mengikuti serangkaian kegiatan HGN di luar sekolahnya.
Diawali apel bersama memperingati Hari Guru Nasional di Lapangan Apel SMA, pelepasan masing-masing regu dilaksanakan oleh Ermelinda Muku, S.Pd, atau Kak Ermin, guru pembina Pramuka SMPS Seminari.
Hadir sebagai instruktur kegiatan Antonius Ndiwa, akrab disapa Kak Anton, Instruktur Pramuka Gudep Seminari, dan Ubaldus Mere, atau Kak Dus, guru SMPN 1 Maukeli yang telah memasuki purna bakti.
“Kegiatan hiking ini menarik sekali. Penuh tantangan. Jalani kegiatan ini dengan gembira tapi bersungguh-sungguh, ikuti semua peraturan yang ada. Ikuti dengan penuh kedisiplinan, miliki semangat tahan uji,” pesan Kak Ermin, mewakili Kepala SMPS.
Patahkan Rintangan
Dalam rombongan, seluruh peserta harus melewati berbagai rintangan. “Penjelajahan ini terbilang ekstrim. Harus mendaki dan menuruni bukit terjal,” jelas Kak Ermin.
Pada pos rintangan pertama, misalnya, mereka harus melewati titian di atas kubangan kerbau. Mereka harus bisa memecahkan sandi sebagai password-nya. Mereka harus bisa memastikan semua anggota regu selamat.
“Bayangkan saja kalau itu bukan kubangan kerbau, tapi kolam yang dalam dan banyak buayanya. Semua harus selamat kan?” jelas Kak Anton saat ditemui, Minggu (26/11).
Pada pos yang lain, mereka harus memasuki kebun warga. Di sini mereka diwajibkan berkomunikasi dengan warga untuk bisa memecahkan sandi. Keterampilan bernegosiasi penting dikuasai.
Snack berupa ubi-ubian dan teh disiapkan di kebun. Namun, mereka hanya dapat menikmatinya setelah mampu memecahkan kode. Kerja sama dalam kelompok sangat penting. Tanpa kerja sama upaya pemecahan mungkin terjadi, tapi berlarut-larut, dan tidak efektif. Akibatnya, mungkin lapar.
Makan siang disiapkan Seminari secara mencukupi. Namun, mereka harus melewati berbagai rintangan alam, yang menuntut kerelaan saling menolong. “Mereka tidak bisa langsung makan. Mereka juga tidak boleh memikirkan hanya dirinya sendiri. Harus ada kasih sayang, dan kerelaan membantu,” Kak Anton menambahkan.
Nilai-Nilai yang Hidup
Banyak nilai bisa dialami dan dihayati para siswa melalui kegiatan yang satu ini. Selain berbagai keterampilan kehidupan, nilai-nilai yang tertuang dalam Tri Satya dan Dasa Darma Pramuka dapat dipelajari dan menjadi living values. Hal ini ditekankan Kak Ermin, sejak awal pelepasan.
“Kecintaan pada Tuhan, misalnya, nyata ketika anak-anak saling menghormati, dan memiliki kasih sayang. Masuk kebun orang, lihat pepaya masak, mereka tidak serta merta mengambil. Ada nilai yang mengawal mereka. Itu kesucian,” tegas Kak Anton penuh semangat.
“Mereka juga diajak mencintai alam,” sambung Kak Dus. “Tapi mereka harus ada dalam kebersamaan. Jadi patuh satu sama lain, saling mendengar, tidak menang sendiri. Kalau ada rintangan harus tabah. Kalau membantu harus tulus, itu semua nilai-nilai Dasa Darma,” lanjutnya.
“Jangan lupa, mereka jalan kaki cukup jauh. Mereka berolahraga, berkeringat, sehat. Mereka diajak mencintai kehidupannya,” Kak Anton melengkapi. Pengalaman-pengalaman ini kaya untuk direfleksikan.
Hidup di Tengah Alam
Sehari sebelum hiking, diadakan latihan membangun kemah, khusus untuk kelas VII. “Banyak siswa belum mempunyai pengalaman berpramuka saat mereka di SD. Jadi mereka harus dibekali berbagai pengetahuan dan keterampilan dasar,” kata Kak Anton.
Salah satu keterampilan yang perlu mereka asah adalah bertahan hidup di tengah alam. “Karena itu mereka perlu berlatih membangun kemah, membuat dapur, tempat jemur, menata pagar, membuat simpul-simpul tali,” tutur Kak Dus.
Hidup ke depan sering tidak bisa diduga. Orang harus bisa hidup dalam keterbatasan di tengah alam.
Kesan Mendalam
“Anak-anak Seminari itu kemampuan mendengarnya bagus, cepat tanggap, dan mereka patuh,” kata Kak Dus. “Saya gembira mendampingi mereka.”
Kak Ermin juga menyatakan kepuasan dan rasa harunya. “Anak-anak kita tahan banting. Kakak-kakaknya yang dari SMA tulus sekali membantu. Mereka kompak, dan sangat menyayangi adik-adiknya. Mereka selalu berusaha memastikan adik-adiknya makan dulu, minum dulu, baru memikirkan dirinya. Mereka itu tahan haus demi adik-adiknya. Saya terharu sekali. Selain itu mereka teliti. Kalau tanda-tanda jejak tidak mereka baca dengan teliti, mereka bisa tersesat, karena ini rute baru.”
Pramuka membantu anak-anak walk the talk – melakukan, menghayati, dan tidak sekadar mengatakan.
Kesan lainnya, para siswa itu taat. “Dalam kelompok mereka tidak sembarangan. Mereka teratur, tapi kreatif, dan penuh konsentrasi. Ini bagus sekali untuk jadi bekal kehidupan,” kata Kak Dus.
Kak Dus mengharapkan, kegiatan ini rutin dilakukan.
“Satu minggu satu kali ada kegiatan Pramuka itu bagus sekali,” tambah Kak Anton. Banyak pengetahuan dan keterampilan yang harus mereka dalami.
“Kalau pengetahuan dan keterampilan mereka dangkal, mereka kesulitan ambil bagian dalam kegiatan-kegiatan dengan tingkat kesulitan dan tantangan yang lebih tinggi,” tambah Kak Anton. Ada Pramuka di tingkat Kabupaten. Ada Jambore. Ada Raimuna. Semua itu menuntut pengetahuan dan keterampilan yang lebih memadai (Nani Songkares).
Beatriks Igo, Calon Guru Penggerak (CGP) SMPS Seminari St. Yohanes Berkhmans Mataloko, menggelar presentasi modul ke-3 berjudul “Pemetaan Aset Kolaboratif di SMPS Seminari St. Yohanes Berkhmans Mataloko”, Rabu (08/11/2023). Acara ini diikuti dengan antusias oleh semua peserta yang hadir. Komponen peserta yang terlibat dalam kegiatan ini adalah Pengawas Sekolah Kabupaten Ngada, Pengawas Binaan Seminari Mataloko, Kepala Sekolah SMPS Seminari Mataloko, Tokoh Pendidikan, Tokoh Masyarakat, Tokoh Gender, Perwakilan Orang Tua Siswa, Tenaga Pendidik dan Kependidikan SMPS Seminari Mataloko, dan beberapa perwakilan siswa.
Acara dimulai pukul 09.00 WITA dan dibuka dengan sambutan hangat dari Kepala Sekolah SMPS Seminari St. Yohanes Berkhmans Mataloko, RP. Anton Waget, SVD. Dalam sambutannya, RP. Anton Waget, SVD mengangkat sebuah prinsip dan filosofi pendidikan yang ada dalam masyarakat Vietnam dan Jepang. Dia menegaskan bahwa upaya meningkatkan standar dan kualitas pendidikan yang kreatif dan inovatif merupakan tugas bersama yang melibatkan peran seluruh elemen masyarakat; bukan hanya tugas para guru.
“Di Vietnam, untuk mendidik satu orang saja, membutuhkan peran serta seluruh masyarakat. Kita juga melihat dalam masyarakat Jepang, setelah mengalami kehancuran akibat perang dunia II, mereka mulai membangun negaranya dengan pendidikan. Indonesia, melalui Ki Hadjar Dewantara, sudah mulai memikirkan kemerdekaan bangsa lewat pendidikan. Dia telah membangun dan meletakkan dasar pendidikan bangsa Indonesia dengan sangat baik.” ujar RP. Anton Waget, SVD.
Selanjutnya, RP. Anton Waget, SVD mengajak peserta untuk mendukung dan mengapresiasi program Pemerintah Indonesia saat ini yang berupaya meningkatkan standar dan kualitas Pendidikan di Indonesia lewat program guru penggerak. Secara khusus, RP. Anton Waget, SVD mengapresiasi usaha keras Beatriks Igo yang membuka diri menyambut program ini dengan sukacita, sekalipun ia harus melewati banyak tantangan dan rintangan seperti beban tugas di sekolah, keluarga, dan juga di lingkungan masyarakat. Di akhir sambutannya, RD. Anton Waget, SVD membuka kegiatan secara resmi dan disambut dengan tepuk tangan dari para peserta.
Kegiatan presentasi dan diskusi ini berjalan lancar. Sesuai dengan semangat pengajaran partisipatif, Beatriks mendorong peserta untuk berbagi ide dan pengalaman mereka, menciptakan suasana diskusi yang dinamis. Beatriks juga mengajak peserta untuk bersama-sama melihat dan mendalami potensi aset yang ada di SMPS Seminari Mataloko. Melalui konsep-konsep penting pemetaan aset kolaboratif, materi presentasi diperkaya dengan studi kasus, contoh praktis, dan interaksi langsung dengan peserta.
Kegiatan presentasi modul ke-3 ini ditutup dengan sambutan dari Kepala Sekolah SMPS Seminari Mataloko. Dalam sambutan penutupnya, RP. Anton Waget, SVD mengapresiasi kerja keras Beatriks yang sudah memasuki tahap-tahap akhir dari perjuangannya untuk menjadi seorang guru penggerak. Ia juga mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang sudah terlibat dalam kegiatan ini sekaligus mengajak para peserta agar membangun kerja sama yang baik dalam meningkatkan standar dan kualitas pendidikan di SMPS Seminari Mataloko.
Aset yang Melimpah
Pemetaan aset kolaboratif di SMPS Seminari St. Yohanes Berkhmans Mataloko menjadi fokus utama dalam presentasi modul ke-3, yang menyoroti peran vital aset dalam pengembangan dan pertumbuhan Pendidikan di Seminari. Dalam sesi diskusi pemetaan aset di SMPS Seminari Mataloko, para peserta memunculkan banyak ide yang bernas terkait beragam modal yang turut mendukung pertumbuhan dan kemajuan Pendidikan dan Pendampingan di Seminari.
Beragam modal yang mendukung aset kolaboratif ditampilkan dalam kegiatan presentasi ini. Modal manusia, sebagai fondasi utama, ditekankan sebagai penggerak utama di balik inovasi dan keberlanjutan. Kehadiran modal sosial, fisik, lingkungan, finansial, politik, agama dan budaya turut memberikan kontribusi penting bagi kelangsungan proses Pendidikan dan Pendampingan di SMPS Seminari Mataloko.
Salah satu poin penting yang dibahas adalah bagaimana kolaborasi lintas-modal ini mampu menciptakan sinergi yang menghasilkan keunggulan kompetitif. Dengan memadukan kekayaan sumber daya manusia yang terdidik dan terampil, lahan yang luas, lingkungan yang kondusif, modal finansial yang terkelola dengan baik, dan dukungan kuat dari elemen masyarakat sekitar, SMPS Seminari Mataloko mampu membangun fondasi kokoh bagi perkembangan pendidikan yang berkelanjutan.
Presentasi ini tidak hanya memberikan wawasan mendalam terkait pentingnya kolaborasi antar-modal, namun juga menyoroti aset yang melimpah yang ada di SMPS Seminari Mataloko. Semua peserta mengakui bahwa aset yang dimiliki oleh SMPS Seminari Mataloko sangat melimpah dan berpotensi untuk menciptakan dampak positif yang lebih luas bagi pendidikan di Indonesia.
Proyeksi Masa Depan
Nani Songkares, Pr, selaku Tokoh Pendidikan, memunculkan dan menyampaikan macam-macam aset yang ada di SMPS Seminari Mataloko. Pemetaan tersebut sengaja dimunculkan untuk memancing daya pikir kreatif para peserta dalam merancang model pemanfaatan aset yang efektif dan efisien. Secara cermat dan teliti, RD. Nani Songkares, Pr membahas dan mendukung perubahan model pendekatan, yakni dari pendekatan defisit ke pendekatan aset.
“Model pendekatan defisit ke pendekatan aset merupakan upaya untuk melihat ke depan, merencanakan, dan meningkatkan efektivitas pembelajaran di sekolah kita. Model pendekatan ini sangat membantu kita dalam melihat peluang-peluang yang ada, sekecil apa pun itu, demi meningkatkan standar dan kualitas pendidikan kita. Maka, model pendekatan ini mesti menjadi pegangan kita bersama,” ungkap RD. Nani Songkares, Pr.
Sejalan dengan Beatrix, RD. Nani Songkares, Pr melihat banyak potensi yang ada di Seminari, mulai dari sumber daya manusia yang berkualitas, fasilitas yang memadai, hingga program guru penggerak yang sedang digalakkan untuk sebuah model pendidikan dan pendampingan inovatif yang dapat dikembangkan secara kontinu. Ia juga menyoroti peran penting staf formator atau pembina, karyawan/karyawati, serta faktor-faktor penunjang lainnya dalam proses pendidikan dan pendampingan para siswa seminari di SMPS Seminari Mataloko.
Kehadiran para peserta dari berbagai latar belakang pendidikan dan profesi turut memperkaya presentasi dengan sumbangan ide-ide menariknya. Mereka berkesempatan untuk berbagi pandangan serta gagasan inovatif terkait proyeksi pengembangan aset-aset yang telah digali bersama dalam diskusi. Dari paparan dan diskusi yang terjadi, tergambar jelas potensi besar yang dimiliki oleh SMPS Seminari Mataloko untuk menjadi salah satu lembaga pendidikan unggulan di masa depan.
Menariknya, kegiatan presentasi ini tidak hanya memberikan wawasan, tetapi juga menjadi platform bagi kolaborasi dan pengembangan lebih lanjut untuk mengejar visi masa depan yang cerah dalam dunia pendidikan. Tentunya, presentasi dan diskusi ini telah memberikan pandangan baru dan inspirasi bagi para peserta, serta menandai langkah awal yang penting dalam memetakan arah masa depan pendidikan di SMPS Seminari Mataloko.
Komitmen Bersama
Beatriks dan semua peserta yang hadir mencoba membangun komitmen bersama sebagai bentuk tindak lanjut pemanfaatan aset yang ada. Kegiatan ini menggambarkan pentingnya sinergi dan kolaborasi dalam menggali potensi besar yang dimiliki oleh aset seminari.
Dalam presentasi yang digelar, Beatriks menyoroti betapa vitalnya aspek kolaborasi dalam mengembangkan potensi aset pendidikan. Poin yang sama ditegaskan juga oleh RP. Anton Waget, SVD, RD. Nani Songkares, Pr, dan tokoh-tokoh penting yang lain terkait komitmen bersama dalam keterlibatan aktif dari semua pihak untuk menjadikan seminari sebagai lembaga pendidikan yang semakin maju dan unggul.
Para peserta mengapresiasi dan mengakui potensi aset seminari yang melimpah, yang menjadi fondasi kuat untuk memproyeksikan masa depan pendidikan di SMPS Seminari Mataloko. Mereka menggarisbawahi pentingnya pengembangan potensi siswa, pengelolaan sumber daya, serta penyelarasan visi bersama untuk mencapai hasil yang optimal.
Yang penting adalah bagaimana komitmen bersama dari seluruh elemen seminari akan menjadi landasan kokoh dalam mencapai tujuan pendidikan yang lebih luas. Oleh karena itu, kegiatan presentasi ini menjadi tonggak penting dalam memperjelas arah pendidikan seminari ke depan, dengan menegaskan bahwa komitmen bersama adalah kunci utama dalam mengoptimalkan potensi yang dimiliki. Para peserta mengharapkan agar kehadiran guru penggerak dan colan guru penggerak menjadi pemicu untuk upaya lebih lanjut dalam mengembangkan potensi pendidikan yang unggul, kreatif, dan inovatif di SMPS Seminari Mataloko.