Pier2

TRAGEDI MENGERIKAN

“Farrel, cepat siapkan barang-barangmu, kita mau berpiknik di pantai,” ujar ibuku. “Iya bu,” jawabku sambil mengemasi barang-barangku ke dalam ransel. Setelah itu kami me­nyan­tap sara­pan pagi bersama. “Makan yang banyak Farrel, tour kita hari ini jauh sekali,” perintah ayahku.

Setelah sarapan ka­mi menuju mobil sambil menenteng tas untuk melakukan per­ja­lanan ke pantai.  Tiba  di tem­pat tujuan kami bergegas menuju ke pos un­tuk membeli karcis ma­suk. Kami pun menuju ke pantai.

Hatiku bergejolak. Deburan ombak me­mang­gilku untuk menik­mati segarnya air laut. Aku tergerak untuk segera ber­gan­ti pakaian renang yang sudah kubawa.

“Ibu, aku berenang duluan yahhh,” teriakku sambil berlari menuju air laut.

 “Jangan Farrel, tung­gu sama ayah du­lu,” perintah ibu dengan tegas.

 Namun aku tak meng­­hiraukan perkataan ibu lalu berenang di laut. Semakin lama aku berenang semakin ke tengah dan semakin ke da­lam.

Tak lama kemu­dian aku men­dengar te­riakan ayah­ku dari ping­gir laut sambil berlari   lalu be­renang ke arahku. “Farrel, awassss ada om­bak besar dari sana!” Men­dengar teriakan ayah, aku tak dapat berbuat ba­nyak karena aku su­dah terlalu jauh dari daratan.

Tiba-tiba aku men­dengar suara keras “bummmmmm…,” bunyi gemuruh ombak ke­tika menghantam tu­buhku.

Dan suara terakhir dari ayah masih sempat ku­de­ngar sebelum tu­buh­ku membentur te­rum­bu ka­rang dan tak sadarkan diri lagi. “ Farrel!!!,” teriak ayah dengan nada panik dan khawatir.

Tidak lama aku merasa sudah berada di tempat baru dan asing yang tak kukenali sama sekali.

Tiba-tiba datang seorang kakek tua ber­jubah besar, bermah­ko­takan emas, dan se­kujur tubuhnya berkilauan. “Hei anak, kenapa kamu ada di sini?” tanyanya kepadaku.

Dengan ketakutan aku menceritakan sepintas pe­ristiwa yang terjadi padaku tadi. “O begitu rupanya. Seka­rang balik­lah ke dunia­mu karena kau belum pantas berada di sini,” kata kakek ter­sebut. Lalu sayup-sayup aku men­­dengar suara ayah­ku.

“Farrel, bangun Farrel!” Aku pun mendengar ta­ngisan ibuku. Pelan-pe­lan kubuka mataku, dan kini kudapati aku ter­ba­ring dalam sebuah ru­angan berwarna putih. Selang oksi­gen tertancap di hidungku.

“Syukurlah kamu sudah sadar. Ya Tuhan, terima kasih,” ucap ibuku dengan penuh syu­kur.

 Kurang lebih dua minggu aku harus di­ra­wat secara intensif. Se­karang tubuhku sudah sehat kembali dan aku dapat beraktivitas seperti sedia kala. Tidak lupa setiap hari aku selalu ber­syu­kur kepada Tuhan atas mukjizat yang telah terjadi pada diriku.

Tuhan sangat baik.

Pier Gadjo

Siswa kelas VII SMPS Seminari Mataloko