DAK1

PROYEK DENGAN DAK, JAWABAN SEBUAH MIMPI

Oleh: P. Anton Waget, SVD

Sedari momen pelantikan menjadi kepala sekolah, 17 Februari 2023, saya sadar bahwa posisi kepala sekolah adalah sebuah amanah atau kepercayaan yang diberikan kepada saya. Di dalam kepercayaan ini terkandung perintah, tanggung jawab, dan kewajiban yang harus saya penuhi supaya seluruh proses pendidikan berjalan lancar dan kualitasnya terus ditingkatkan.

Mohon izin saya memperkenalkan diri. Nama lengkap saya Antonius Waget. Karena saya seorang imam Katolik, maka saya selalu disapa Pater Anton, SVD. Setelah ditahabiskan pada 1998, saya dikirim untuk bekerja di Botswana, Afrika (1999-204). Setelah perawatan kesehatan selama tahun 2005, saya ditugaskan untuk mengajar Bahasa Inggris di SMA dan Agama di SMP Seminari St. Yohanes Berkhmans Mataloko sejak Januari 2006.

Untuk meningkatkan profesionalitas, saya mengambil Pendidikan Bahasa Inggris di Universitas Sanata Dharma (2009 – 2014). Sekembali dari sana, saya diberikan kesempatan mengajar bahasa Inggris pada jenjang SMP sampai pada hari pelantikan 17 Februari 2023.

Renovasi dan Pengadaan Sarana Prasarana Penunjang

Tanggung jawab sekaligus tantangan pertama yang saya hadapi adalah merenovasi ruang-ruang kelas dan pengadaan sarana prasarana penunjang. Lembaga pendidikan yang dibangun pada 1929 ini amat butuh direnovasi karena dimakan usia, dan amat perlu dilengkapi berbagai sarana penunjang lainnya.

Tentu hal ini sudah dilakukan dengan luar biasa oleh para kepala sekolah pendahulu saya. Banyak sekali bangunan yang sudah direnovasi. Kapela, dan kamar makan, misalnya, telah direnovasi dan menjadi layak pakai. Sebagian ruang kelas juga telah mengalami renovasi. Terima kasih Romo Kristo Betu, Pr, dan Rm. Gabriel Idrus, Pr.

Namun, karena kompleks SMP Seminari luas, tidak semua ruang kelas direnovasi. Sebagian ruang kelas yang belum renovasi, keadaannya memprihatinkan. Dinding kusam, lantai berlubang, atap bocor. Hal ini sangat mengganggu proses pembelajaran. Apalagi kalau musim hujan tiba. Mimpi peningkatan kualitas pendidikan itu besar. Namun, tanpa sarana dan prasarana yang memadai, mimpi akan susah menjadi kenyataan.

Perabot yang ada di dalam kelas tidak kalah memprihatinkan. Kursi dan meja yang dipakai siswa banyak yang rusak. Bagaimana mungkin siswa bisa betah di dalam sebuah ruangan kelas tanpa sarana dan prasarana yang memadai. Disiplin belajar perlu mendapat dukungan secara fisik berupa adanya sebuah belajar dengan perabot yang memungkinkan mereka betah dan nyaman belajar.

Selain itu, keseluruhan kompleks SMP Seminari Mataloko luas sekali. Ruangan kelas memanjang hampir dua kali lapangan sepakbola. Itu menyulitkan pemantauan dan kontrol. Tanpa pemantauan dan kontrol yang baik siswa yang berada pada masa akil-balik dapat melakukan tindakan-tindakan indisipliner yang merugikan proses belajar, bahkan merusak. Apalagi pada jam-jam studi sore dan malam, ketika guru tidak berada di tempat.

Kecuali itu, setiap langkah kreatif dan positif dari seorang guru bersama para siswa di kelas akan luput dari perhatian Kepala Sekolah. Padahal jika Kepala Sekolah dapat memantau proses-proses pembelajaran seperti itu, tentu akan membantu guru saling meneguhkan dan menginspirasi, kelas yang satu dapat belajar dari keunggulan kelas yang lain. Itu sebabnya pengadaan CCTV sangat membantu.

Sarana lain yang amat dibutuhkan ialah LCD. Sarana ini amat membantu para guru mempresentasikan bahan-bahan ajarnya. Juga sarana ini amat mempermudah para siswa menangkap semua materi yang diajarkan di dalam kelas, dan mereka juga ditantang menjadi aktif dan kreatif dengan melakukan presentasi yang menarik.

Sudah tiba waktunya papan tulis putih harus dipasang di dalam kelas. Papan lama yang terbuat dari kayu sudah lama tidak dipakai. Selain karena semuanya sudah berlubang, juga karena penggunaan kapur tulis sudah bukan zamannya lagi.

Bantuan Pemerintah dan Pemerhati Pendidikan

Bagai  gayung bersambut, mimpi saya terjawab. Setelah sebulan dilantik, saya mendapat informasi dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Ngada bahwa SMPS Seminari Mataloko mendapat bantuan dari Jakarta sebesar Rp 1,209,529,930,00. Rp 685,655,980 diperuntukan merehab tiga ruang kelas. Rp 91,539,150 diperuntukkan merehab tiga toilet para guru, ruang tata usaha, ruang kepala sekolah, dan ruang guru. Rp 166,298,450 diperuntukkan membangun baru toilet siswa. Dan Rp 266,036,350 diperuntukan membangun gedung baru, yakni Unit Kesehatan Sekolah.

Sejujurnya, tanpa bantuan pemerintah pusat ini, saya tidak bisa memulai apa-apa. Dana dari sekolah sendiri tidak ada. Sistem pengelolaan dana ini adalah swakelola. Maka berdasarkan gambar dan dicocokkan dengan Rancangan Anggaran Belanja (RAB) saya belanja bahan-bahan bangunan. Pihak Dinas pun mengizinkan saya belanja bahan bangunan yang kualitasnya di atas ketetapan RAB.

Pada dasarnya saya mementingkan kualitas bangunan yang bertahan puluhan tahun. Maka selain kualitas bahan bangunan, saya juga mendatangkan tenaga kerja asal Jawa. Kualitas kerja mereka jauh dari pada tukang lokal. Kosekuensi yang ditanggung selama proses pengerjaan ini ialah risiko defisit anggaran, sekitar Rp 150an juta. Tapi hal ini bisa diatasi ketika banyak sahabat dari dalam maupun luar negeri turut membantu.

Saat ini para siswa dan para guru sedang menikmati fasilitas yang hampir 100% rampung dibangun itu. Kepala Sekolah dan para pegawai bisa bekerja dengan nyaman di dalam ruangan yang luas dan dilengkapi dengan toilet. Selain menikmati fasilitas toilet yang bersih, para guru pun bisa menayangkan bahan ajarnya dengan menggunakan fasilitas LCD. Mereka bisa menuliskan bahan ajarnya pada dua papan putih yang bebas kapur tulis itu. Para siswa pun bisa membaca bahan ajar yang ditayangkan gurunya. Toilet terdekat pun sudah siap melayani kebutuhan mereka.

All the Universe Conspires

Tentu saja, semua sarana prasarana ini diperbaharui dan dibangun agar manusianya berkualitas. Saya ingin menumbuhkan kesadaran dari para guru dan pegawai tentang pentingnya pelayanan pada waktunya. Saya ingin juga memfasilitasi proses pembelajaran yang saling menumbuhkembangkan. Saya ingin pengalaman positif yang satu menggerakkan pengalaman positif yang lain. Saya ingin juga membantu memaksimalkan kemerdekaan dan kenyamanan belajar para siswa, dan menguatkan karakter mereka. Saya yakin, renovasi, pembangunan baru, dan pengadaan sarana prasarana yang memadai membantu mewujudkan semua keinginan di atas.

Dalam artikel ini yang mau saya tonjolkan prinsip yang menjadi pedoman kerja saya ialah kualitas pendidikan di lembaga ini yang lima tahun lagi genap satu abad. Kualitas pendidikan di lembaga ini amat ditentukan oleh kualitas Kepala Sekolah, guru, pegawai, dan siswa. Kualitas dari keempat komponen ini amat turut ditentukan oleh ketersediaan sarana dan prasarana yang andal. Maka saya bersyukur sekali kepada Tuhan. Dia menjawabi mimpi saya melalui kemurahan hati Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang menurunkan Dana Alokasi Khusus ke SMP Seminari pada awal masa jabatan saya ini. Seluruh proses pembangunan rampung pada bulan Februari, bulan pelantikan saya sebagai Kepala Sekolah.

 Kualitas Pendidikan yang mau ditingkatkan adalah terjemahan dari kepercayaan dan tanggung jawab yang sudah diletakkan di pundak saya pada hari pelantikan. Usaha peningkatan semangat kerja para guru dan pegawai, dan semangat belajar para siswa adalah prioritas yang akan dilakukan sebagai pengejawantahannya.

Sebelum menutup goresan ini, saya mau menyampaikan satu keyakinan besar yang saya miliki saat ini yakni setiap kepala sekolah di seantero Nusantara sudah menggantung mimpi-mimpi besarnya di langit untuk meningkatkan kualitas pendidikan di sekolahnya sendiri.

Asal kita mau melayani dengan tulus, dan bekerja sekuat tenaga untuk menggapai cita-cita kita, maka “All the universe conspires” – seluruh alam semesta akan mendukung, kata Paulo Coelho.

Tambahkan Teks Tajuk Anda Di Sini

Alex2

MULAI DARI HAL BIASA-BIASA DAN SEDERHANA

Catatan Reflektif Rm. Alex Dae, Pr

Hingga saat ini, 26 tahun sudah saya berkarya sebagai pembina calon imam tingkat SMP di Seminari St. Yoh. Berkhmans Todabelu. Hal dasar yang menjadi fokus karya adalah membantu para calon imam mencapai kematangan dalam 5–S (sanctitas=kekudusan, scientia=pengetahuan, sapientia=kebijaksanaan, sanitas=kesehatan, sosialitas=persaudaraan). Kendatipun dalam perjalanan hidupnya, seminaris “menjadi yang lain”, minimal sebagian spirit 5–S telah terinternalisasi. Ini akan menjadi bagian dari cerita kehidupan saat mereka telah “menjadi yang lain”.

SMP dan SMA Seminari St. Yoh. Berkhmans Todabelu merupakan internat. Sebuah sekolah berasrama yang lima tahun lagi merayakan satu abad kehadirannya di Mataloko, Kec. Golewa, Kab. Ngada, NTT. Sungguh suatu kebanggaan. Selain karena usia yang sudah matang, internat calon imam ini telah melahirkan ribuan utusan dalam berbagai bidang panggilan dan karya di seantero dunia. Kualitas hidup mereka telah diakui sekurang-kurangnya karena 5–S yang pernah menjadi bagian dari jiwa mereka selama berada di Seminari.

 

Ada apa dengan Seminari?

Tidak dimaksudkan untuk menyombongkan diri. Namun, jika menimbang-nimbang kiprah hebat dan istimewa sebagian alumninya di seantero dunia, pertanyaan yang mungkin muncul adalah “Ada apa dengan Seminari atau Apa yang terjadi di Seminari?” Mungkinkah terjadi proses tumbuh kembang yang luar biasa para calon imam dalam internat ini? Sebagai komunitas khusus, berbagai pertanyaan, dugaan, bahkan prasangka dapat saja muncul. Namun, internat ini tidak hanya memunculkan dugaan ini dan itu. Fakta-fakta tentang sepak terjang “rumah” ini telah membangkitkan niat dan antusiame banyak calon imam untuk memulai dan menjalani kehidupan baru mereka di sini. Mereka yakin, internat ini adalah rumah kedua, tempat mereka memacu tumbuh kembang mereka untuk hidup masa depan.

Tidak disangkal, segelintir orang memastikan bahwa Seminari sebagai lembaga pendidikan akan melahirkan imam-imam sudah seharusnya demikian. Melalui pengelolaan pendidikan dan pembinaan yang bermutu, Seminari memang harus menghasilkan para calon pemimpin umat yang “mumpuni”. Orang lain lagi mungkin yakin sungguh bahwa memang Seminari pasti menyelenggarakan pendampingan dengan proses istimewa.  Namun, mungkin juga, mereka yang pernah menapaki kaki di internat ini akan menilai biasa-biasa saja, atau masih jauh dari harapan. Entah apa yang dipikirkan, dirasakan, dikatakan, atau dievaluasi, pertanyaan di atas merupakan spirit, kepercayaan, sekaligus harapan untuk terus berinovasi dan berkreasi dalam pengabdian.

Rm. Alex dalam sebuah perbincangan dengan novelis Maria Matildis Banda.

Mulai dari hal biasa-biasa dan sederhana untuk mandiri

Percikan pengalaman ini tidak dimaksudkan untuk membahas semua hal mengenai pedoman pendidikan calon imam. Jika menimbang-nimbang jawaban atas pertanyaan di atas, jawabannya adalah mulai dari hal sederhana dan biasa-biasa, sejauh pengalaman saya. Hal-hal sederhana itu, misalnya merapikan tempat tidur, melipat pakaian, merapikan lemari, membuang sampah pada tempatnya, cara menggunakan toilet, bekerja hingga tuntas, mengembalikan alat kerja, mencuci pakaian, serta hemat menggunakan air. Ini hal biasa dan sederhana yang sebenarnya sudah dilakukannya di rumah. Dalam internat ini, para seminaris mengulang kembali sendiri. Jauh dari ketergantungan pada intervensi orang tua. Memang, Seminari harus menjadi instansi kedua yang memudahkan calon imam mengembangkan berbagai keterampilan dasar itu. Semuanya  dilakukan secara  hidup mandiri.

Suatu saat, saya bertanya kepada para seminaris tentang arti disiplin. Ada rupa-rupa jawaban sederhana, tetapi unik. Ada yang mengatakan, disiplin berarti merapikan tempat tidur; gunakan air secukupnya untuk urusan toilet; membuang sampah pada tempatnya; tidak membuang ludah di sembarangan tempat; berdoa sebelum dan sesudah makan; tahu menyapa; rela mengucapkan maaf dan terima kasih; serta memelihara keheningan. Ada yang memandang disiplin sebagai tenggang rasa saat mandi dan cuci. Baginya, hemat menggunakan air karena ada ratusan seminaris yang sedang antre untuk mandi itulah wujud disiplin. Hemat saya, itulah konsep disiplin yang jujur dan kontekstual. Mereka merumuskan kedisiplinan sebagai apa yang dialami. Mereka tidak membutuhkan konsep disiplin yang rumit. Artinya, seminaris lebih memahami disiplin sebagai sebuah contoh hidup.

Rm. Alex bersama Rm. Nani di Jogjakarta

Mengembangkan karakter dengan contoh

Karena hal yang lebih menyatu dengan hidup mereka adalah contoh, maka pengembangan karakter semestinya bertolak dari contoh hidup. Rm. Nani Songkares adalah salah satu pendamping asrama tingkat SMP yang konsisten dalam hal ini. Sampah di lingkungan sekitarnya misalnya, pasti tidak luput dari perhatiannya. Seminaris selalu diajaknya untuk turut memungut sampah. Dari pengalamannya, kebiasaan positif anak akan menetap jika ada konsistensi keteladanan. Keluhan bahwa seminaris sembrono membuang sampah hanya dapat diatasi jika para guru dan pembina menjadi contoh yang konsisten. Guru dan pembina mesti secara sengaja memungut dan membuang sampah pada tempatnya. Bahkan jika ternyata para seminaris lupa atau tidak mau melakukannya lagi. Konsestensi contoh harus tetap dirawat hingga menjadi suatu kewajiban yang dapat ditiru dan dilakukan secara spontan oleh para seminaris sendiri.

Prinsip yang sama saya lakukan saat mengatur penggunaan air bagi para seminaris. Mereka mesti membiasakan diri dengan budaya antre untuk mandi. Dengan jumlah 300 lebih seminaris, budaya antre amatlah penting. Di samping memupuk tenggang rasa, kualitas  kesabaran para seminaris dipertebal. Penjagaan dilakukan secara konsisten hingga mereka terbiasa dengan cara itu. Kendatipun kesadaran anak-anak belum stabil, saya yakin bahwa konsistensi ini efektif meyakinkan para seminaris untuk memikirkan hak orang lain.

Selama menangani tugas ini, pengulangan sangatlah penting artinya. Peringatan dan penguatan perlu terus-menerus dilakukan. Mempertebal kesadaran anak-anak untuk melaku­kan hal baik dengan gembira tidaklah mudah. Di sini, ketahanan saya untuk menginformasikan hal yang sama berkali-kali diuji. Rasa jenuh, bosan, dan ketidaksabaran sering memancing keinginan untuk tidak melakukannya. Inilah saat kritis yang dapat memutuskan konsistensi. Hal yang dapat saya lakukan untuk keluar dari kondisi kritis ini adalah membuat refleksi diri. Sejauh pengalaman saya, inilah cara yang tepat untuk menyelamatkan konsistensi pendampingan.  Pembaharuan spirit saya perlu dilakukan untuk mengubah cara pandang dan memperkuat perilaku positif terhadap berbagai keterampilan dasar pribadi. Para seminaris perlu dilatih untuk memberi respek terhadap hal biasa-biasa dan sederhana. Saya yakin, hal ini membuat karakter anak-anak lebih berkualitas.

 

Pembelajaran pada waktu dan tempat kejadian

Selama mendampingi seminaris menjalani kehidupan asrama, saya biasa menerapkan “pembelajaran pada waktu dan tempat kejadian”. Cara ini saya diterapkan saat seminaris melakukan kesalahan. Ketika anak-anak memboroskan air saat mandi, di situlah saya melakukan evaluasi. Demikianpun saat mereka tidak bekerja secara tuntas, evaluasi dan perbaikan saya berikan pada waktu dan tempat kejadian. Hemat saya, cara ini akan meninggalkan efek yang kuat dalam pikiran dan hati mereka. Menunda saat pembelajaran dan memindahkan tempat evaluasi dan refleksi dapat memperlemah keseriusan anak untuk memahami masalah dan akibat yang ditimbulkannya.

Dalam jangka pendek, para seminaris dapat menerimanya sebagai pembelajaran yang dalam menata kehidupan bersama di asrama. Efeknya mungkin bertahan sesaat. Namun, saya yakin, jika konsistensi keteladanan dan pengulangan yang konkret terus berlangsung, cara pandang dan perilaku positif para seminaris akan menetap.  

Untuk semua itu, sejauh pengalaman hidup bersama seminaris, komitmen untuk mengolah hal-hal biasa dan sederhana secara konsisten merupakan keharusan. Butuh keterlibatan yang lebih untuk membuat hal-hal biasa dan sederhana dalam hidup berasrama menjadi luar biasa dalam diri para seminaris (Rm. Alex Dae, Pr)

Tio Killa

KESEMPATAN JADI KESEMPITAN

Waktu sangat dibutuhkan. Dalam masa Prapaskah ini waktu menjadi sangat pen­ting. Waktu yang dimanfaatkan dengan ba­ik dapat membawa dampak positif bagi seminaris. Namun, bagaimana jika waktu yang ada malah disalahgunakan?

Masa Prapaskah tiba. Seminaris harus me­la­kukan segala sesua­tu da­lam keadaan Silen­tium.

Bapak Asra­ma meng­anjurkan pada kami un­tuk melakukan Kerja Pu­asa dengan sungguh-sungguh. Bapa Asrama juga menyuruh kami mengguna­kan waktu de­ngan sebaik mungkin.

Ia menyerahkan tang­gung jawab mengurus peker­ja pada seksi Pe­ker­jaan Umum (PU) untuk berkeliling meng­awasi dan memastikan semua seminaris bekerja di tempat yang sudah di­bagikan oleh Frater.

Jika seminaris keda­patan tidak bekerja atau bekerja dengan tidak se­rius, maka kelas semi­na­ris tersebut akan diberi teguran. Jika kesalahan yang sama terus diu­lang­i, maka kelas yang bersangkutan akan dibe­ri sanksi.

Kelasku, VII C men­dapat lokasi pekerjaan di toilet. Toilet dipenuhi oleh lumut hitam yang tumbuh di celah-celah ke­ramik. Ka­mi pun me­lakukan pekerjaan se­ca­ra hati-hati dan senang karena lewat tugas ini orang-orang dapat me­ma­kai toilet yang bersih dan wangi dari hasil keringat kami.

Waktu berjalan sa­ngat cepat. Tanpa sadar kami pun hampir se­le­sai. Ka­re­na merasa bo­san kami mengubah to­i­let menja­di arena selan­car.

Kami bermain selun­curan dan kejar-kejaran di toilet. Tiba-tiba saja “Paak­kkkk!” Kami se­mu­­a kaget. Temanku Plato telah terti­dur di­lantai toilet beser­ta busa bertebaran di pa­kai­an­nya. “Hahahaahaha ka­sian ngeri laa Plato ni!” suara tawa bergemuruh di sekeliling toilet.

Setelah Plato terge­lin­cir, kami membersihkan kembali Toilet yang ter­sisa. Kami lalu member­sih­kan lantai toilet dan mem­bereskan peralatan kerja yang belum tertata. Tak lupa kami meng­go­sok kepala Plato dengan minyak dan mengurut­nya agar badannya tidak sakit.

Tingggg, tingg, ting­ggg, tinggg!  Lonceng ber­bunyi tanda waktu ker­ja berakhir. Aku dan teman-teman terkejut. Ka­­mi panik karena pe­kerjaan kami belum se­lesai maksimal dan ba­nyak seminaris sudah da­tang ke kamar mandi untuk mandi.

Mereka terkejut ka­re­na kami belum selesai bekerja. Dengan  terpak­sa mereka mandi di ka­mar mandi luar. Seksi PU yang melihat kami masih bekerja langsung memarahi kami dan mem­berikan kami san­k­si.

Dari peristiwa terse­but, kelas kami sadar bah­wa waktu yang ada harus dimanfaatkan de­ngan baik. Jika waktu disalahgunakan, tentu hal ini akan berimbas pada kita dan orang di sekitar kita. Kerja tidak selesai, atau tidak maksimal. Kesempatan menjadi kesempitan

Aku dan teman-teman belajar bahwa kita harus melakukan sesuatu sesu­ai dengan porsinya, sesuai waktu dan kesempatannya.

Tio Killa

Siswa kelas VII SMP Seminari Mataloko

Osis

BERBAGI PENGALAMAN OSIS

SMP Negeri 3 Boawae mengadakan kunjungan OSIS ke SMP St. Yoh. Berkhmans Mataloko, Sabtu (11/­02/­2023). Ke­giatan ini bertujuan untuk meningkatkan rasa persau­da­raan antarsekolah. Diharap­kan ada kerja sama di masa mendatang.

 Kegiatan ini dilak­sanakan atas permo­hon­an Kepala SMP Negeri 3 Boawae ke­pada Ke­pala SMP Se­minari St. Yoh. Berk­hmans Mata­lo­ko. Ini dimaksudkan untuk meningkatkan ke­mampuan para sis­wa-siswi dalam ber­or­gani­sasi. Kegiatan ini di­pimpin oleh ibu Erme­linda Muku, S.Pd dan Pak Darius Yo­­ha­nes Mau, S.Pd. Keduanya adalah guru pada SMPS Seminari.

Kunjungan  seko­lah ini, me­­­­­­­libatkan ke­pala sekolah, para guru, serta staf OSIS dari kedua sekolah. Dalam acara itu, se­tiap staf OSIS ber­ba­gi pengalaman sepu­tar cara mengatasi ma­salah yang terjadi da­lam OSIS, bagaimana membuat pro­gram kerja, serta bagaimana me­nambah pe­­nge­ta­­huan da­lam me­mim­pin OSIS.

Seusai sa­­­rapan, staf OSIS SMP Semi­nari me­nyi­apkan per­alatan yang dibutuhkan un­tuk menyambut ke­da­tangan rombongan OSIS SMP Negeri 3 Boawae. Mereka ti­ba pada pukul 10.00 WITA. Rombong­an langsung diarahkan me­nuju Aula SMP.

Acara dimulai de­ngan sam­­­­­butan da­­­­­­­­­ri Rm. Kris­to Betu se­laku Kepala SMPS Se­minari Matalo­ko. Kegiatan dilanjut­kan dengan sesi tanya ja­wab.

Para siswa/i SMP Negeri 3 Boawae ber­­ta­nya seputar per­be­daan OSIS SMP Seminari de­ngan se­ko­­­­­lah luar, pro­gram kerja OSIS, serta ke­giatan yang me­ning­katkan minat, ser­­ta ba­kat seluruh warga OSIS.

Kunjungan OSIS ini bertujuan agar para staf OSIS dapat saling be­lajar me­ngem­­­bang­­kan ki­ner­ja OSIS pada masa men­­datang. Kegiatan ini diselenggarakan atas ker­­ja sama ke­dua se­kolah.

Dalam acara ini,  OSIS SMP Seminari St. Yoh. Berkhmans Mata­loko memper­ke­­­nalkan di­ri  seba­gai sekolah dengan praktik baik kepada dunia luar. Kegiatan ini juga mem­­­pertegas fungsi OSIS se­­bagai orga­ni­sasi siswa in­tra se­ko­lah, wa­­­dah yang bisa me­­nampung aspirasi dan ke­­­mam­puan para sis­wa/i untuk berkembang.  Juga jadi ke­sempatan saling ber­bagai peng­alaman.

 “Hal yang mem­be­­­dakan SMP Semi­nari dengan sekolah luar, yakni kami bisa be­kerja di dua wila­yah, sekolah dan as­rama. Ini pengalaman yang kaya,” ungkap Yano Jo­ka selaku ketua OSIS SMP Semi­nari.

Kegiatan ini ber­lanjut dengan mi­num bersama. Para seminaris memanfaatkannya untuk  bersosialisasi de­ngan siswa/i SMP Ne­geri 3 Boawae. Acara ini diakhiri doa bersama di pekuburan Kevikepan Bajawa, yang berlokasi di belakang kapela SMA Semi­nari.

Kerja sama

Tanpa kerja sama, OSIS tidak akan ber­ja­lan. Hanya melalui kerja sama OSIS dapat ber­ja­lan dengan ba­ik. De­ngan ke­giat­an kun­jung­an ini, para sis­wa/i mam­pu sa­ling bertukar pikir­an untuk mewujud­kan OSIS yang ber­mutu dan menjadi wadah seluruh warga OSIS. Itulah salah satu wujud kerja sama.

Kerja sama memung­kinkan kita saling be­lajar. Apa yang menjadi kekurangan sekolah yang satu, dilengkapi oleh kelebihan sekolah lain. Untuk itu diper­lu­kan keterbukaan untuk sa­ling belajar.

Kunjungan ini meru­pakan ungkapan kedua belah pihak untuk ter­buka dan belajar satu sa­ma lain. Harapannya, ker­ja sama seperti ini te­rus berlanjut, dan Semi­nari melakukan kun­jung­an balasan.


Nino Ngari 

Siswa kelas IX, SMP Seminari Mataloko




Pengasuhan Digital bagi Seminaris Diaspora

Sejak dipulangkan ke rumah masing-masing pada akhir Maret lalu, praktisnya sebagian besar proses formasi anak-anak Seminari Santu Yohanes Berkhmans Todabelu Mataloko berlangsung melalui metode Dalam Jaringan (Daring).

Pengasuhan digital dari orang tua, pihak seminari, para pastor dan para mitra menjadi sangat penting dan dibutuhkan. Dalam rimba raya jaringan internet, para seminaris diaspora ini perlu didampingi dan diasuh.

Dialog aktif antara anak dan orang tua, para pastor dan para mitra menjadi kunci keberhasilan pengasuhan digital untuk para seminaris diaspora. Tingkat keseringan berkomunikasi antara kedua pihak ini harus berbanding lurus dengan banyaknya waktu yang digunakan anak untuk berselancar di dunia maya.

Ketika durasi “berada di depan layar” kian meningkat, partisipasi aktif orang tua, para pastor dan para mitra dalam membangun komunikasi dengan anak harus ditingkatkan pula.

Mengapa Penting?

Pertama, situasi sekarang memaksa anak-anak seminari melakukan banyak aktivitas Daring, terutama untuk mengikuti Kegiatan Belajar Mengajar (KBM). Selain itu, interaksi untuk proses formasi sebagai calon imam juga terjadi melalui media-media Daring.  Kedua tuntutan ini menyebabkan durasi waktu untuk cemplung ke dalam dunia digital semakin tinggi.

Kedua, jagat maya merupakan jagat yang sama sekali asing bagi sebagian besar anak-anak seminari. Dalam situasi normal, mereka dilarang menggunakan HP dan tidak memiliki akses ke dalam dunia maya dengan segala kemungkinan-kemungkinannya yang tidak terbatas. Dalam era kenormalan baru ini, mereka diwajibkan memiliki HP dan keahlian berselancar di dunia maya untuk melayani kepentingan formasi.

Ketiga, internet selalu berwajah ganda. Di satu sisi, akses ke dalam internet meningkatkan literasi dan wawasan anak. Di sisi lain, dalam internet terdapat sejumlah tantangan yang mengancam perlindungan dan hak anak seperti perundungan digital dan pencurian data pribadi (KOMPAS, 21/06/2020). Dampingan orang tua, para pastor dan para mitra mutlak perlu untuk meminimalisasi kejahatan siber dalam berbagai levelnya.

Keempat, alasan terkait etika digital. Walaupun memiliki banyak kesamaan, etika digital dan etika dunia nyata tetap memiliki perbedaan. Dalam dunia digital, segala sesuatu pasti meninggalkan jejak. Selain itu, semuanya serba terbuka. Oleh karena itu, anak-anak perlu mendalami etika digital dan selalu diingatkan untuk mematuhi etika-etika tersebut.

Kelima, anak-anak perlu dilindungi dari pelbagai variasi bahaya informasi-informasi palsu. Semua orang memiliki akses ke dalam internet dan oleh karena itu berbagai jenis informasi, entah itu benar atau salah, entah itu baik atau buruk, berseliweran dalam berbagai platform media-media Daring. Kontrol orang tua, para pastor, dan para mitra membantu anak-anak dalam proses penyaringan dan internalisasi informasi-informasi tersebut.

Peran Sentral Orang tua, Para Pastor dan Para Mitra

Orang tua, para pastor dan mitra memiliki peran penting dalam pengasuhan digital bagi para seminaris diaspora. Peran tersebut dapat dijalankan melalui kehadiran dan dialog aktif. Spritualitas kehadiran dan dialog aktif menjadi kunci keberhasilan proses-proses pengasuhan digital. Oleh karena itu, orang tua, para pastor dan para mitra wajib memberikan teladan dan panutan.

KOMPAS (20/06/2020) meringkas tiga lapisan yang harus dimiliki sebuah keluarga ketika (anak-anaknya) harus mencemplungkan diri ke dalam dunia digital.

Lapisan pertama adalah kesadaran akan pentingnya keselamatan, keamanan, dan privasi. Lapisan kedua adalah literasi media agar bijak menyikapi informasi palsu serta menilai kebenaran konten. Lapisan ketiga menyangkut kesadaran tentang hak dan tanggung jawab.

Orang tua, para pastor, dan para mitra memiliki kewajiban dan tanggung jawab membangun ketiga lapisan kesadaran tersebut. Perlu diakui, usaha itu tidak gampang. Oleh karena itu pada bagian berikut direkomendasikan hal-hal praktis yang perlu dibuat.

Langkah-langkah Praktis Pengasuhan

Pertama, kerja dan belajar dalam dan melalui media daring harus dijadwalkan. Orang tua dan para mitra harus melibatkan diri dalam penyusunan jadwal belajar dan kerja anak. Keterlibatan itu juga harus sampai pada tahap pengawasan, apakah jadwal itu ditaati atau tidak.

Kedua, tingkatkan komunikasi langsung dengan anak. Komunikasi itu harus dari muka ke muka dan dari hati ke hati, bukan melalui perantaraan media-media sosial.

Ketiga, ingatkan anak akan kerawanan dan bahaya yang ada di ruang virtual. Banyak bahaya yang bisa saja timbul, misalnya penipuan, kekerasan verbal, pencurian data pribadi, dan perundungan digital.

Keempat, usahakan sebisa mungkin agar menemani anak saat mereka sedang bekerja dan belajar melalui media-media Daring. Pada bagian ini, sekali lagi ditekankan pentingnya spiritualitas kehadiran bagi seorang anak.

Kelima, orang tua, para pastor, dan para mitra harus selalu mengingatkan anak akan pentingnya menjaga etika bermedia sosial. Etika itu misalnya, selalu menggunakan kata-kata yang sopan dan tidak saling memaki.

Keenam, sebagai pengasuh, tentu saja orang tua, para pastor, dan para mitra juga harus memiliki pengetahuan yang memadai tentang literasi teknologi digital. Oleh karena itu, mau tidak mau, orang tua juga harus mempelajari seluk beluk dunia digital dan segala tuntutan-tuntutannya.

Tommy Duang

Kelas Daring: Adaptasi Baru Pembelajaran di Seminari

Dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 01/KB/2020, Menteri Agama Nomor 516 Tahun 2020, Menteri Kesehatan Nomor HK.03.01/Menkes/363/2020, dan Menteri Dalam Negeri Nomor 480-882 Tahun 2020, tentang Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran Tahun Ajaran 2020/2021 dan Tahun Akademik 2020/2021, ditetapkan bahwa sekolah-sekolah berasrama yang berada di zonah hijau dilarang membuka asrama dan melakukan pembelajaran tatap muka, sekurang-kurangnya pada dua bulan pertama.

Menyikapi SKB tersebut, dan sesuai kebijakan Pemerintah Daerah Kaubupaten Ngada, SMPS dan SMA Seminari Santu Yohanes Berkhmans Todabelu Mataloko memutuskan untuk menyelenggarakan  pendidikan calon imam dengan metode Dalam Jaringan (Daring) melalui Learning Management System (LMS). Dalam perencanaannya, metode pembelajaran Daring akan berlangsung selama dua bulan awal semester Ganjil 2020/2021, terhitung sejak 13 Juli-13 September 2020.

Dalam konteks dunia pendidikan di Pulau Flores, pembelajaran Daring merupakan sesuatu yang relatif baru. Dibutuhkan suatu persiapan yang sungguh matang agar keberlangsungan proses pembelajaran tetap sesuai dengan tuntutan kurikulum di era kenormalan baru.

Tentang keseluruhan proses persiapan itu, Kepala SMA Seminari Mataloko, Rm. Gabriel Idrus, Pr, mengatakan, “Sejauh ini kita telah mengadakan rapat bersama para bapa ibu guru di tingkat internal dan mengevaluasi persiapan-persiapan kita. Memang kita saat ini dalam kondisi siap meskipun adaptasi-adaptasi itu masih tetap terjadi dalam perjalanan waktu, karena kita berkenalan dengan sesuatu yang baru.”

“Adaptasi itu, baik di tingkat kita sendiri, ke dalam, para bapa ibu guru, yang menyiapkan pembelajarannya maupun juga para siswa kita.  Adaptasi itu menyangkut banyak aspek, baik menggunakan aplikasi ini (Google Classroom) maupun juga situasi secara umum ketika harus melaksanakan pembelajaran Daring.”

Selanjutnya Romo Idrus menambahkan bahwa secara umum sekolah ini telah siap melaksanakan pembelajaran daring melalui aplikasi Google Classroom. “Saya boleh katakan, secara umum memang kita siap, walaupun dalam perjalanan tetap harus beradaptasi dengan kondisi, beradaptasi dengan berbagai macam hal yang masih tetap berubah dalam waktu-waktu ke depan. Dari sisi kesiapan, kita siap tapi keterbukaan dan segala macam adaptasi itu masih dibutuhkan dalam masa perubahan.”

Sama seperti SMA, SMPS Seminari Mataloko juga telah sampai pada tahap persiapan yang maksimal. Hal ini disampaikan oleh Rm. Kristoforus Betu, Pr, selaku Kepala Sekolah di ruang kerjanya pada Senin, 20 Juli 2020. Setelah ditetapkan bahwa seluruh proses pembelajaran akan berlangsung dengan metode Daring dan menggunakan aplikasi Google Classroom, semua guru bergerak dan berusaha keras agar bisa mengoperasikan aplikasi ini.

Romo Kristo mengakui bahwa persiapan itu membutuhkan waktu paling kurang satu bulan. “Butuh waktu ya, kasarnya sebulanlah. Ada hari-hari yang efektif sekali, tapi ada hari-hari di mana para guru belajar mandiri. Belajar terpadu, terprogram, tersistematis, di bawah Romo Isto sebagai operator utama. Ada latihan bersama, tugas mandiri dan juga latihan-latihan bersama oleh teman-teman yang sudah mahir. Menurut saya, itu berjalan intensif.”

Kendala-kendala di Tingkat SMPS

Walaupun SMPS telah memiliki persiapan matang untuk memulai pembelajaran Daring, ditemukan beberapa kendala yang perlu dibenahi. Rm. Kristoforus Betu, Pr, menyampaikan bahwa ada tiga kendala utama yang dihadapi oleh SMPS pada saat ini.

Pertama laboratorium komputer. Menurut Romo Kristo, SMPS perlu memiliki laboratorium komputer sendiri. Kelas Daring mengakibatkan tingginya lalu lintas penggunaan laboratorium komputer, dan oleh karena itu, perlu diadakan laboratorium khusus untuk SMPS.

Kedua, kendala jaringan dan tenaga IT. SMPS memerlukan jaringan internet yang lancar demi meminimalisasi gangguan jaringan selama proses pembelajaran berlangsung. Kendala jaringan juga dialami oleh anak-anak yang tinggal di daerah-daerah yang tidak terjangkau jaringan internet. Di samping itu, SMPS juga membutuhkan tambahan tenaga IT. Menurut Romo Kristo, bila perlu semua guru diwajibkan menjadi tenaga IT.

Ketiga, SMPS kekurangan tenaga imam. Sebagai sekolah para calon imam, SMPS Seminari Mataloko masih membutuhkan tenaga-tenaga imam, sehingga tugas-tugas yang seharusnya dilakukan oleh seorang imam, tidak perlu diambilalih oleh para guru dan pegawai awam.

Persiapan para Guru

Dari sharing beberapa guru, kita mendapat informasi bahwa mereka maksimal menggerakkan roda pembelajaran Daring. Hal ini patut diberi apresiasi karena kelas Daring dan  penggunaan aplikasi Google Classroom merupakan sesuatu yang sama sekali baru bagi sebagian besar guru dan siswa.

Ibu Lindawati, misalnya, men-sharing-kan bahwa kelas Daring merupakan sesuatu yang sama sekali baru bagi beliau selama delapan belas tahun menjadi guru. Di tengah kerja keras mempelajari penggunaan aplikasi Google Classroom, Ibu Linda harus mengemas materi pembelajaran dalam bentuk teks, power point, dan video demi meningkatkan ketertarikan para siswa untuk mempelajari materi yang diberikan. Semua hal itu telah beliau kerjakan dengan baik.

Frater Vinsensius Sele, seorang guru baru yang mengampuh mata pelajaran Agama Katolik, mengakui bahwa beliau tidak mengalami kesulitan yang cukup berarti dalam menjalankan aplikasi Google Classroom.  “Bagi saya, ini cukup mudah. Yang menjadi tugas yang harus dibenahi sekarang ialah bagaimana menyajikan materi sekreatif mungkin agar para seminaris tertarik untuk mendalami setiap materi yang disajikan.”

Selain dari Ibu Linda dan Frater Vinsen, kita juga mendapat sharing yang cukup menggembirakan dari Ibu Theresia Emilia Woghe. Beliau menulis, “Persiapan saya untuk kelas online ini, baik dari segi persiapan materi maupun soal-soal sudah rampung (untuk dua Kompetensi Dasar pertama). Dari segi penguasaan aplikasi, saya kira sudah jauh lebih baik dari sebelum-sebelumnya, dalam arti sudah jauh lebih siap, walaupun saya tidak bisa memprediksi bagaimana action-nya nanti.”

 Sama seperti guru-guru SMA, para guru SMPS juga mengatakan bahwa pada umumnya mereka sudah siap mengajar di kelas-kelas Daring. Bapak Darius Yohanes Mau, S.Pd, misalnya berkisah bahwa beliau telah siap 100%.

“Mengenai persiapan kelas Daring,” kata Pak Aris, demikian beliau akrab disapa, “untuk saya punya kelas, saya wali kelas VIIA, persiapannya sudah memadai. Dalam grup-grup WhatsApp, sudah dipastikan semua anak tergabung untuk memudahkan pengontrolan. Kemudian di Google Classroom, anak-anak dikontak melalui nomor pribadi untuk memastikan perorang itu wajib memasukkan akun ke google. Semuanya sudah 100% tergabung dan semua aktif sehingga kelas Daring yang dimulai hari ini berjalan lancar.”

Berbeda dengan Pak Aris yang tidak mengalami kendala dalam penguasaan aplikasi Google Classroom, ada guru, terutama guru-guru senior, masih mengalami kesulitan dalam menjalankan aplikasi pembelajaran tersebut.

Tentang kesulitan itu, Ibu Paulina Bate berkisah, “Secara umum, penyiapan materi pembelajaran (bahan mentah) tidaklah sulit, karena didukung oleh pengalaman puluhan tahun mengajar. Yang masih menjadi kendala adalah ketika materi yang telah disiapkan harus diubah ke dalam bentuk digital dan dibagikan dalam Google Classroom. Sebagai orang tua, kecepatan dalam mempelajari sesuatu telah jauh berkurang, apalagi jika harus selalu berpindah dari kiri ke kanan (menjelajahi situs dan aplikasi digital).”

Selain kesulitan menjalankan aplikasi, kesulitan lain yang dialami para guru di SMPS ialah menyangkut pembagian waktu antara manjalankan profesi guru dengan waktu bersama keluarga di rumah.

Ibu Fransiska Dhera, guru Bahasa Indonesia, berkisah, “Tantangan yang dialami dalam masa transisi ini adalah kesulitan dalam membagi waktu antara panggilan sebagai guru di sekolah dan tanggung jawab sebagai ibu yang mengatur jalannya rumah tangga.”

“Melakukan penyesuaian yang cukup besar dalam mekanisme pembelajaran tidaklah mudah bagi seorang guru sekaligus ibu. Porsi waktu untuk melatih kecakapan dalam menjelajah dan menggunakan rupa-rupa situs dan aplikasi cukup besar dan menuntut guru untuk melanjutkan pekerjaan-pekerjaan sekolah, di rumah. Sementara itu, di rumah sudah ada pekerjaan lain yang menunggu,” tambah Ibu Siska.

Pesan dan Harapan bagi Siswa-siswa Seminari

Dalam banyak kesempatan, Rm. Gabriel Idrus, Pr selaku Praeses dan Kepala Sekolah mengajak para seminaris untuk memaknai situasi yang diakibatkan oleh pandemi covid-19 ini sebagai tantangan dan peluang untuk beradaptasi dengan perubahan.

“Dalam pengalaman seperti ini, kita diuji dan ditantang, siapa yang bertahan dalam perubahan-perubahan itu, dia bisa keluar sebagai pemenang. Kepada para siswa, ini menjadi motivasi. Meskipun dalam situasi keterbatasan, yang barangkali secara perorangan mengalami kesulitan, kita maknai ini sebagai peluang untuk kita beradaptasi dengan perubahan.”

Senada dengan hal yang disampaikan Romo Praeses, Rm. Nani Songkares, Pr, selaku guru senior mengajak para siswa untuk melihat situasi ini sebagai kesempatan untuk melihat identitas seminari secara baru. Father Nani, begitu beliau akrab disapa, dalam catatannya mengenai kebijakan pendidikan di Seminari saat krisis Covid-19, menulis, “Setiap krisis yang kita alami adalah sekaligus opportunity. Jangan-jangan virus corona ini memberi kita peluang untuk bergumul dengan identitas Seminari Santo Yohanes Berkhmans Todabelu secara baru.”

Para guru, yang juga menjadi wali-wali kelas, mengharapkan agar para seminaris cepat beradaptasi dengan model pembelajaran daring ini. Selain itu, para seminaris juga diharapkan untuk tetap mematuhi protokol kesehatan, menjaga pola hidup sehat, menjaga kedisiplinan, dan etika bermedia sosial serta selalu meluangkan waktu untuk mengembangkan talenta.

Tommy Duang

Seminari Mataloko di Tengah Pandemi: Dari Lembah Sasa Menuju Seminari Diaspora

Pandemi virus korona yang belum menunjukkan tanda-tanda menurun, memaksa manusia beradaptasi dengan segala jenis gaya kehidupan baru. Ada banyak hal yang berubah, termasuk model pendidikan calon imam di berbagai Seminari, baik pada tingkat menengah maupun pada tingkat Seminari Tinggi.

Dalam pertemuan online pada 22 Juni 2020 bersama para Rektor Seminari Menengah, Ketua Komisi Seminari KWI, Mgr. Robertus Rubiatmoko, mengatakan bahwa model formasi calon imam dalam waktu-waktu mendatang akan menjadi lebih terbuka dan dinamis, di mana akan ada banyak pihak di luar seminari terlibat dalam proses formasi para seminaris.

Pertemuan tersebut dilanjutkan dengan sejumlah rapat pengurus Komite Sekolah Seminari, Yayasan Persekolahan Umat Katolik Ngada (Yasukda), Konsultan Kesehatan Kabupaten Ngada, dan pemerhati pendidikan. Selanjutnya, diadakan beberapa kali pertemuan bersama Bapak Bupati Ngada dan jajarannya, yang menghasilkan berbagai rekomendasi strategis, antara lain konsep Seminari Diaspora dan implementasi praktisnya.

Secara fisik, pusat-pusat formasi berpindah dari “kompleks seminari” ke tangan para seminaris sendiri, orang tua, Pastor Paroki, Pastor Rekan, dan pihak-pihak lain yang membantu perkembangan para seminaris di rumah mereka sendiri. Di tangan merekalah,  dan dalam  interaksi dan kerja sama dengan Lembaga Seminari, mewujud-nyata Seminari Diaspora itu.

Persis pada titik ini, Rm. Benediktus Lalo, Pr, selaku Romo Prefek SMA Seminari Mataloko, melemparkan satu pertanyaan reflektif yang sangat menantang, “Bagaimana dimensi-dimensi pendidikan calon imam (Sanctitas, Scientia, Sapientia, Sanitas, dan Socialitas) yang sistematis dan terprogram, yang terencana, dengan satu tujuan yang terukur, tetap dipertahankan?”

Bangun Kerja Sama yang Solid

Agar dimensi-dimensi tersebut di atas tetap dihayati oleh para seminaris diaspora, dibutuhkan suatu jaringan kerja sama yang kuat antara pihak seminari dengan para orangtua dan para pastor paroki. Menurut Rm. Benediktus Lalo, Pr, kerja sama dan koordinasi ini merupakan hal yang sangat menentukan dan tentu saja mendesak.

Kalau koordinasi kita dengan orangtua dan pastor Paroki tidak bagus, ada kemungkinan proses pembinaan itu pincang. Kita tidak bisa terlalu jauh sampai pada diri anak. Tetapi kalau betul koordinasi kita bagus dengan visi misi yang sama antara kita dengan orangtua, saya yakin, kita percaya apa yang terjadi di rumah dan di paroki, itu adalah bagian dari proses pendidikan calon imam.”

Walaupun pusat pembinaan para seminaris telah berpindah, kelima dimensi pendidikan calon imam (5S) harus tetap dijaga dan dirawat. Konsep seminari diaspora merupakan sesuatu yang relatif baru, dan oleh karena itu perlu diakui bahwa sebagian proses pembinaan masih jauh dari ideal formasi yang telah ditanamkan sejak dahulu. Akan tetapi, situasi dan kondisi yang tidak ideal ini harus bisa diatasi agar proses formasi tetap berjalan.

Demi mencapai tujuan itu, Romo Praeses menekankan pentingnya interaksi jarak jauh yang berkelanjutan antara para formator dan seminaris melalui media-media sosial. Hal praktis yang diambil ialah dengan memasukkan para formator dalam grup-grup WhatsApp wali kelas. Dengan demikian, para formator memiliki akses yang cukup memadai ke dalam kehidupan para seminaris. Selain itu akan diadakan pula kunjungan berkala dari pihak seminari ke tempat-tempat perjumpaan yang ditetapkan untuk memantau perkembangan pendidikan anak-anak seminari dari dekat.

“Supaya formasinya juga tetap berjalan, kita juga sudah berbicara cukup jauh sebelum ini, yaitu bahwa tetap nanti harus ada interaksi, melalui media-media ini (Google Classroom dan WhatsApp), yang di dalamnya itu banyak pihak terlibat, para gurunya terlibat, tapi juga para pendamping. Pembina harian itu nanti masuk dalam grup-grup supaya mereka terlibat dan melihat bagaimana hal ini berjalan di rumah ketika mereka dirumahkan,” kata Romo Praeses.

“Kemudian kita juga nanti,” demikian Romo Praeses, “akan melanjutkan lagi dengan kunjungan berkala yang kita rencanakan, di mana pihak lembaga akan turun dalam tim, melihat mereka dari dekat. Itu saja yang bisa kita buat dan kita memang berharap supaya setelah masa transisi ini mereka boleh kembali karena dengan itu, formasi lengkap sebagaimana yang kita cita-citakan boleh berjalan kembali.”

Dari Lembah Sasa Menuju Seminari Diaspora

Sejak para seminaris dipulangkan ke rumah pada hari Kamis, 26 Maret 2020 lalu, proses formasi para calon imam ini telah berpindah dari Lembah Sasa ke rumah para seminaris masing-masing. Pandemi virus korona melahirkan inisiatif untuk membentuk Seminari Diaspora. Virus korona membuat Seminari Mataloko bergerak dari Lembah Sasa menuju Seminari Diaspora.

Pada masa-masa ini, harapan banyak diletakkan di pundak para pastor paroki dan orangtua. Rm. Nani Songkares, Pr, dalam catatan refleksinya menulis, “Ada sesuatu yang terasa terbalik: Saat normal, orangtua berharap pada seminari untuk pendidikan anak-anaknya. Saat dilanda krisis virus korona, seminarilah yang berharap pada rumah untuk menjadi seminari sesungguhnya bagi para siswanya.”

Konsep seminari diaspora telah melahirkan paling kurang satu hal penting bagi perkembangan panggilan para seminaris, yaitu bahwa penentu terakhir dari keberhasilan adalah diri mereka sendiri. Walaupun para seminaris ini berada jauh dari seminari dan para formator, tetapi kalau mereka tetap mendidik diri dalam koridor pendidikan calon imam, mereka akan dengan sendirinya tiba pada suatu level kematangan tertentu. Di sini dibutuhkan suatu kemandirian para seminaris untuk mendidik dirinya sendiri.

Wakil Praeses, Rm. Kristoforus Betu, Pr mengharapkan agar seminari diaspora ini tidak kehilangan nilai-nilai esensialnya dan juga para seminaris diharapkan agar menjaga keseimbangan penghayatan lima dimensi pendidikan calon imam.

“Saya ingin supaya lembaga pendidikan calon imam ini tidak pudar, tidak kabur, dan tidak kehilangan nilai-nilai esensialnya. Nilai esensial itu ada banyak sekali. Mulai dari kerohanian sampai dengan kemandirian, perkembangan, dan pertumbuhan kepribadian para seminaris. Juga  keseimbangan antara yang rohani dan yang sosial perlu selalu dijaga. Harapan saya, nilai-nilai yang terangkum dalam 5S itu tetap bertumbuh, terpelihara, semakin gesit, dan semakin maksimal karena tantangan ini.”

Tommy Duang

Kamar Mandi, Memupuk Kemandirian dan Kebersamaan

Jurnalisme Siswa

Kamar Mandi, Memupuk

Kemandirian dan Kebersamaan

Kebersamaan dan kemandirian dapat manusia pupuk dalam berbagai aktivitas dan tempat, termasuk di kamar mandi.

SMP Seminari Ma­taloko mem­punyai Ka­m­ar mandi yang besar dan lebar sebab me­miliki siswa yang ba­nyak. Kamar mandi ini terletak  di  samping k­a­­­­­­­­­­­­­­mar lama Rm. A­lex­ander Dae Laba se­laku pe­­­­­­­mbina.  Rm ini bi­a­sanya mengurus air di ka­mar mandi. Ia me­latih kami untuk ber­hemat.

Di kamar mandi SMP, para seminaris me­laku­kan banyak kegi­at­an. Me­­­­­­reka  mencuci pakai­an, mandi, dan membagi ce­rita. Semua kegiatan itu, dilakukan pada wak­­tunya.   Me­­n­cu­ci pa­­­k­a­i­an juga ada wa­k­tu­nya, yakni setiap hari Rabu, Sabtu, dan Ming­gu. Hari-hari ini p­un dibagi lagi. Kelas VII setiap hari Rabu si­ang saat tidur siang, se­dang­kan hari Sabtu siang untuk kelas VIII dan kelas IX. Hari Minggu berlaku umum un­tuk  semua siswa SMP. Pada hari Minggu, bi­asanya men­cuci pa­kaian setelah studi pagi. Pada hari-ha­ri inilah para semi­naris berlatih man­diri dan me­­mupuk kebersa­maan atau tali persau­dara­an.

Pada hari Rabu siang dan Sabtu siang para seminaris harus mencuci dalam keadaan diam, sebab itulah wa­ktu he­ning (sillentium). Para se­mina­ris yang mencuci pa­kaian haruslah men­jaga kebersihan. Mereka di­la­rang bu­ang sam­­pah di­­ sem­ba­rang tem­pat, se­perti got-got se­bab dapat mengakibat­kan sa­­luran tersumbat se­hingga air akan melu­ap. Ge­nangan air dapat men­­jadi sarang jen­tik nya­muk dan me­nim­bulkan aroma yang tidak enak.

Pada saat mencuci pa­ra seminaris dilarang mem­­bawa sa­bun ke da­lam toilet. Apa lagi men­­­jatuhnya ke dalam kloset. Tindakan itu me­nyum­bat saluran kloset. Se­lesai men­­­­­­­­­cuci pa­ka­ian, para seminaris men­jemurnya di je­muran, di samping unit C. Jika je­muran pen­uh, para se­minaris dapat me­njemur pakaian di depan kamar tidur. Ka­mar jemur di­bagi dalam 3 tempat, yaitu di sa­mping unit C, di bela­kang aula, dan di sam­ping kamar yang lama.

Selain men­cuci pa­kai­an, ka­mar mandi juga menjadi te­mpat mandi. Para seminaris dilarang ribut saat mandi agar cepat selesai dan tidak memboroskan air. Na­mun, kebanyakan se­mi­naris me­langgarnya. Pa­da wa­k­tu itulah para seminaris membagikan peng­ala­ma­nnya.

Selain itu, pada saat ma­n­­di sem­inaris dila­rang mem­b­u­ang sa­mpah di sem­ba­rang te­mpat, khu­s­usnya dalam bak mandi. Se­minaris harus men­jaga ke­ber­sihan ka­mar man­di karena ka­mar ma­ndi adalah tem­pat  yang selalu di­kun­jung oleh se­mi­naris.

Kamar m­a­­ndi memi­liki 2 deret  bak be­­sar untuk ke­perluan cuci dan man­di para se­mi­na­ris. Para seminaris ju­ga mem­punyai ke­wajib­an un­tuk mem­bersihkan ka­­­­­­mar ma­­ndi dan toilet. Namun, bukan semua se­minaris me­m­bersih­kan­­nya. Ada kelompok yang diperca­yakan un­tuk mem­ber­sih­­kannya. Kelompok u­ta­­ma yang mem­ber­sih­kan kamar mandi ia­lah seksi toilet.  Me­reka mem­­ber­sih­kan­nya se­tiap hari Rabu dan Sab­tu se­telah bangun ti­dur. Ta­hap awal yang me­reka la­­kukan adalah me­nyi­ram lantai de­ngan a­ir, la­­lu me­nyikat lantai sam­­pai bersih. Semua pe­­­ker­j­a­­an ini se­lesai pu­kul 15.45. Sebagai­ma­na bia­sa, keadaan ka­mar wc dan ka­mar m­andi tam­­pak sangat ber­sih. Se­mua ini di­lakukan siswa di kamar man­­di se­cara bersama. Se­mi­naris gem­bira ka­re­na pe­ker­ja­an ini dila­ku­kan  ba­­gi ke­­pentingan ber­sa­­ma.

Rino Nanga

Kelas VIII A

Rekoleksi: Momen Pembaharuan Komitmen

Rekoleksi: Momen Pembaharuan Komitmen

Jelang Perayaan Puncak Dies Natalis ke-89

 

Tiga hari menjelang perayaan puncak Dies Natalis ke-89, Seminari Mataloko  menyelenggarakan rekoleksi komunitas (12/09/2018). Rekoleksi menjadi momen yang istimewa bagi segenap anggota komunitas guna memaknai hari-hari persiapan menjelang perayaan puncak 15 September mendatang.

Ketua Panitia Pesfam 2018, RD. Beny Lalo dalam kata pengantarnya, menyebutkan bahwa rekoleksi bukan sekadar menjadi bagian dari rangkaian perayaan Pesfam (Pesta famili) melainkan lebih dari pada itu, menjadi hari yang istimewa untuk merenungkan tugas dan tanggung jawab masing-masing anggota komunitas “Dari sekian banyaknya  hari yang kita habiskan untuk pertandingan dan perlombaan, hari ini menjadi hari yang spesial bagi kita untuk bermenung sepanjang hari,” tegasnya.

Kegiatan rekoleksi diawali dengan adorasi bergilir  dari beberapa kelompok kelas yang dimulai dari pukul 06.30. Di sela-sela adorasi, pada pukul 08.00-09.15, semua anggota komunitas yang terdiri atas para imam, suster, frater, guru dan pegawai serta seminaris SMP dan SMA mengikuti renungan dan sharing yang dibawakan oleh Romo Praeses, RD. Gabriel Idrus di Kapela St. Alfonsus Maria de Liguori, Kapela SMA Seminari.

Adapun RD. Idrus pada tahun ini merayakan Perak, 25 tahun Imamatnya. Momen Dies Natalis ke-89 pada tahun ini menjadi kian semarak lantaran adanya perayaan perak imamat Romo Praeses. Rekoleksi pada hari ini bernaung di bawah tema umum Pesfam 2018 yakni “Menabur kasih menuai panggilan”.

Napak Tilas Panggilan Sang Gembala

Romo Idrus mengawali rekoleksi dengan mencoba kembali bernapak tilas, melihat ke masa-masa awal ketika panggilan hidup menjadi imam mulai bertumbuh. “Keinginan untuk menjadi imam hanyalah keinginan kecil dari sekian banyak keinginan yang ada ketika saya berada di bangku Sekolah Dasar,” demikian Romo Idrus mengawali kisahnya.

“Keinginan itu tumbuh tatkala menyaksikan pastor Paroki Lela dan pastor misionaris Belanda lainnya duduk bersama di pastoran Paroki Lela. Selain itu, kontak dengan imam pribumi dan kehadiran Para Frater dari Ritapiret dan Ledalero juga membangkitkan rasa senang saya terhadap mereka. Kehadiran para Frater menjadi kesempatan bagi kami yang masih kanak-kanak untuk menyaksikan orang-orang hebat di lapangan bola kaki, lapangan bola voli dan basket. Selain itu, keterampilan memainkan drama dan alat musik menjadi daya tarik tersendiri bagi saya yang pada saat itu masih kecil. Akan tetapi, setelah menamatkan pendidikan SD saya berniat untuk melanjutkan pendidikan di SMEP (Sekolah Menengah Ekonomi Pertama) selain karena belum ada niat masuk seminari juga karena sang ayah tidak setuju karena sebagaimana pendapat umum, sekolah di seminari itu mahal. Namun, karena didesak oleh Wakil Kepala Sekolah, bapak mengiyakan saya untuk masuk seminari.”

Begitulah awal kisah panggilan Sang Gembala ketika mulai memasuki kehidupan sebagai seorang seminaris. Dalam refleksinya, Romo Idrus menginsafi bahwa sesungguhnya keluarga mempunyai pengaruh yang cukup besar di awal panggilannya. Jawaban yang sederhana itu ternyata mempunyai konsekuensi yang besar bagi dirinya pribadi dan bagi keluarganya. Banyak hal yang berubah ketika ia mulai masuk ke seminari dan ketika ia perlahan-lahan mulai menapaki ziarah sebagai orang yang terpanggil hingga menjadi seorang gembala yang telah berziarah selama 25 tahun dalam tapak Imamat.

Panggilan Imamat sebagai Rahmat dan Tanda Keselamatan

Imamat bagi Romo Idrus pertama-tama adalah rahmat Allah yang menyelamatkan bahwasannya, cara keselamatan Allah telah lama dimulai dalam dirinya dengan segala keberadaannya sebagai seorang manusia. Merefkleksikan keselamatan Allah yang telah lama dimulai ini, Romo Idrus mengambil inspirasi dari sosok Nabi Yeremia. Seperti Allah mengenal Yeremia dengan segala keberadaan dirinya bahkan sejak Yeremia berada dalam kandungan ibunya dan dalamnya karya keselamatan Allah terlaksana, demikianpun cara keselamatan Allah telah lama dimulai dalam diri Romo Idrus. Keselamatan Allah nyata dalam diri pribadi yang terpanggil.

“Bagi seorang imam, imamat sebagai rahmat yang menyelamatkan bukan hanya tejadi dalam diri orang yang dilayani melainkan pertama-tama terjadi dalam dirinya sebagai orang yang terpanggil. Sebab bagaimana mungkin ia dapat menghayati tritugas panggilan Kristus sebagai imam, nabi dan raja kalau ia tidak merasa ada rahmat keselamatan dalam panggilan hidupnya. Kesadaran akan rahmat Allah yang menyelamatkan terasa nyata dalam panggilan saya sebagai imam dan bahkan rahmat itu menjadi nyata dalam pengalaman dilematis.”

Imam kelahiran 24 Maret 1965 ini menambahkan bahwa rahmat Allah bekerja di saat-saat yang tepat dan rahmat itulah yang membawa keselamatan bagi dirinya sendiri dan bagi orang yang dilayaninya. Karena itu, dalam tugas pengabdiannya sebagai seorang gembala, ia mempunyai prinsip yakni menempatkan karya pelayanan imamat di atas kepentingan keluarga. Menjadi imam berarti menjadi pribadi yang lepas bebas dari berbagai ikatan. Prinsip inilah yang selalu dipegang teguh ketika ia berhadapan dengan pengalaman dilematis yang memaksanya untuk mengambil keputusan dengan cepat.

Romo Idrus percaya bahwa ketika menjadi pribadi yang lepas bebas, maka ia akan mendapatkan banyak saudara seperti sabda Tuhan dalam Injil. Pengalamanan pengembaraan 25 tahun imamat sudah menunjukkan bahwa Sabda Tuhan dalam Kitab Suci itu hidup, nyata dan berdaya guna “Tuhan selalu punya cara dan bahkan di saat-saat yang sulit dan tak ada harapan sekalipun, sabda Tuhan menjadi nyata,” demikian imam yang mengambil moto imamat dari Sir. 42:15 ini melanjutkan refleksi imamatnya.

Bertahan dalam Pelayanan Kasih

Imamat menurut RD. Idrus adalah jabatan dan profesi yang mengedepankan pelayanan kasih. Dengan ini hendak ditunjukkan wajah personal dan sosial dari sebuah karya pelayanan. Ketika merayakan Kurban Ekaristi dan sakramen serta hadir dalam karya pelayanan kasih, imam hadir dalam dua wajah yaitu personal dan sosial. Karya pelayanan inilah yang dihidupinya dalam hidup imamatnya.

Lebih lanjut, Romo Idrus membagikan tiga hal pokok yang membuatnya setia dan bertahan selama 25 tahun dalam hidup imamatnya. “Seandainya ditanya, apa yang membuat saya setia dan bertahan hingga usia perak ini, maka saya akan menjawab, pertama-tama adalah selalu berusaha membangun hidup rohani yang baik melalui doa, ibadat dan Ekaristi. Lalai dalam melaksanakan hal ini akan menimbulkan rasa cemas dari dalam diri dan saya bersyukur atas rasa cemas yang kudus ini. Kedua, kesadaran akan keseimbangan antara ora et labora. Doa dan bekerja bagi saya adalah mata rantai yang mengikat imamat. Kata Aristoteles, musuh kehidupan rohani yang baik adalah terlalu banyak melakukan sesuatu. Jika saya hanya bekerja dan lupa berdoa, atau menggantikan doa dengan kerja, apa bedanya saya yang imam dengan para pekerja sosial. Ketiga, selain karena kekuatan Allah, saya juga percaya pada kekuatan manusia yang adalah sahabat dan rekan kerja saya. Saya percaya bahwa masing-masing orang adalah pribadi yang unik dan karena itu, saya selalu berusaha sedapat mungkin menghindari kerja sendiri dan lebih mementingkan kerja tim.”

Sebagai seorang imam, Romo Idrus berusaha untuk menghidupi spritualitas hidup Yesus sendiri yang selalu menyeimbangkan antara doa dan bekerja. Bekerja keras tidak boleh sampai melupakan doa demikianpun sebaliknya, doa yang tekun jangan sampai mengabaikan waktu kerja. Doa dan bekerja harus berjalan seimbang. Itulah perisai yang menjaga tubuh imamat tetap bertahan hingga seperempat abad ini.

Menabur Kasih, Menuai Panggilan

Di akhir rekoleksinya, Romo Gabriel Idrus mencoba merefleksikan tema Pesfam 2018, Menabur kasih Menuai Panggilan. “Jika yang menabur kasih di tempat ini adalah para pembina, guru dan pegawai maka yang menuai panggilan pada akhirnya adalah orang tua, masyarakat dan Gereja. Bagi saya, yang menabur kasih dan yang menuai panggilan adalah kita semua yang dengan caranya masing-masing turut memberi warna pada setiap proses formasi yang ada di Seminari St. Yohanes Berkhmans Mataloko ini,” demikian katanya.

Ada beberapa refleksi sederhana yang kiranya diberikan seandainya yang dimaksudkan dengan penabur dan penuai adalah semua anggota komunitas Seminari Mataloko. Pertama, Semua anggota komunitas harus aktif dan bukan menjadi pribadi yang pasif. Itu berarti adalah tidak ada komponen yang lebih tinggi dari yang lain. masing-masing orang menabur dengan penuh tanggung jawab sehingga produk yang dihasilkan betul-betul bermutu dan pada akhirnya, banyak orang yang mencarinya.

Jika Proses formasi di seminari Mataloko adalah proses menabur maka produk yang bermutu harus dapat dihasilkan pada tahun-tahun mendatang sebab wajah Gereja 30/40 tahun mendatang berada di pundak-pundak semua komponen baik sebagai  formator maupun formandi. Untuk itu perlu ada rasa optimisme yang tinggi bahwasannya, masing-masing pihak adalah pribadi yang besar untuk sebuah karya besar bukan sebaliknya merasa diri kecil dan tidak layak untuk sebuah karya besar. Karena itu, menabur kasih, menuai panggilan tidak akan berarti jika tidak ada kesungguhan dan tanggung jawab serta rasa sakit dan bahkan korban nyawa seperti Yesus yang telah mengorbankan nyawanya.

Kasih Yesus dalam karya pelayanan mestinya menjadi contoh kasih yang kita tabur, sebab, kataNya, “Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang sahabat yang memberikan nyawanya bagi sahabat-sahabatnya.” Setiap anggota komunitas diajak untuk mencari kasih yang sempurna dalam pengalaman hidupnya masing-masing.

Hening dalam Doa dan Refleksi

Rekoleksi yang berlangsung sepanjang hari ini diwarnai dengan suasana hening. Seminaris diundang untuk berdiam dalam doa dan refleksi di hadapan Sakramen Maha Kudus. Doa menyadarkan seminaris untuk menyadari hakikat panggilannya sebagai pribadi pendoa sementara refleksi menjadikan mereka pribadi yang bijak dengan melihat diri dan pengalaman hidupnya. Staf Liturgi OSIS membagi kelompok kecil untuk kemudian beradorasi secara bergilir hingga pukul 18.00. Seluruh rangkaian rekoleksi pada hari ini ditutup dengan adorasi bersama di Kapela SMA Seminari. Adorasi penutupan dipimpin oleh RD Bene Baghi.

Akhirnya, suasana khusuk dalam doa memampukan seminaris dan para formator guna menelusuri pengalaman hidup masing-masing dalam melaksanakan tema menabur kasih, menuai panggilan. Pasca adorasi penutupan, rutinitas harian seminaris kembali berlangsung seperti biasa.

Fr. Deni Galus, SVD

RATUSAN SISWA IKUTI TESTING MASUK SEMINARI

Ratusan siswa SD di Kabupaten Ngada dan Nagekeo mengikuti testing masuk seminari hari Jumat-Sabtu (16-17/3/2018) di SMP seminari. Kegiatan rutin tahunan tersebut terbagi dalam dua sesi, yakni tes wawancara dan tes tertulis, masing-masingnya berlangsung sehari.

“Kita patut bersyukur pada Tuhan karena dari tahun ke tahun banyak anak terpanggil untuk menjadi imam. Motivasi panggilan akan terus dimurnikan melalui proses pendidikan di seminari. Terima kasih karena orangtua masih mempercayakan anak-anak kepada kami untuk dididik di sini”, kata Rm. Benediktus Lalo, Pr, ketua Panitia Penyelenggara Testing, ketika memberikan pengarahan awal hari pertama.

Kurikulum Seminari

Dalam pengarahan tersebut Rm. Beny menggambarkan secara umum kurikulum seminari yang berintikan lima S (sanctitas, scientia, sapientia, sanitas, socialitas) yang telah dikembangkan sejak awal berdirinya, dan karena itu tahan uji. “Di tengah kekacauan orientasi moral yang melanda masyarakat kita, di seminari kita tetap menjalankan pendidikan hati nurani. Itulah sapientia”, ujarnya, menjelaskan salah satu dari lima S tersebut.

Kurikulum tersebut terejawantah dalam aturan harian yang menata kehidupan seminaris dari waktu ke waktu, mulai bangun pagi pukul 4.30 sampai tidur malam jam 21.30.  “Setiap detik dimanfaatkan untuk proses pendidikan”, katanya. Dengan demikian masing-masing kegiatan ada waktunya. “Termasuk ada waktu untuk keheningan. Pagi hari setelah Misa, kalian harus melakukan berbagai aktivitas dalam keheningan. Bisa?”, tanyanya kepada peserta testing, yang segera dijawab lengkingan penuh semangat, “Bisaaa!” “Juga ada waktu untuk kerja tangan, untuk  bekerja di kebun. Bisa?” “Bisaaa!!”

Opus Manuale

Sehubungan dengan kerja tangan, di Englishroom seminari, Rm. Beny lebih jauh menjelaskan, tanah adalah salah satu unsur penting pendidikan. “Anak harus bersentuhan dengan tanah, karena dari tanah anak belajar nilai-nilai”, katanya, sambil menyebutkan ungkapan opus manuale – kerja tangan – , sebuah konsep tua, yang terasa makin redup dalam proses pendidikan kita. “Bukan kerja tangannya yang menjadi fokus, tetapi semangat yang bisa ditimba dari situ, yakni pengorbanan, kerendahan hati, kerja keras, tanggungjawab, yang bisa siswa dapatkan saat berkontak dengan tanah”.

Pendidikan Karakter yang Kental

Dari beberapa wawancara yang dilakukan bersama orangtua siswa di hari kedua, terungkap kepercayaan terhadap seminari Mataloko bukan tanpa alasan. Pembentukan karakter menjadi salah satu penggerak utama mereka. “Orang pintar banyak, tetapi orang pintar dengan karakter yang bagus jarang. Karena itu pendidikan karakter sangatlah dibutuhkan,” kata Benediktus Naru, orangtua salah seorang siswa peserta testing. Dia mengapresiasi pendidikan karakter yang berlandaskan lima S di seminari. “Mudah-mudahan anak saya berkembang dengan matang di sini”, harapnya. Hal senada disampaikan Dius Taso, orangtua siswa asal Mbay. ”Sebagai orangtua saya bertanggungjawab terhadap perkembangan kepribadian anak. Saya berharap pilihan menyekolahkan anak di sini tepat”, katanya.

Ditemui di sela-sela testing, Rm. Beny mengucapkan terima kasih kepada para orang tua siswa dan para pastor paroki. “Sentuhan motivasi sudah dilakukan di keluarga-keluarga dan juga oleh para imam. Banyak siswa tertarik masuk seminari karena dorongan dan keteladanan para imam di lapangan” tandasnya.

Pada hari pertama peserta dibagi dalam beberapa kelompok untuk sesi wawancara. Pada hari kedua dilaksanakan tes tertulis dengan 3 mata uji yakni berpikir verbal, baris bilangan, dan kosa-kata. Untuk peserta SMP calon KPB (Kelas Persiapan Bawah) ditambahkan bahasa Inggris (Kontributor: Mario Degho. Editor: Nani).