MENYATUKAN HATI DEMI PENDIDIKAN CALON IMAM

            Temu orangtua seminaris dengan para formator Seminari St. Yoh. Berkhmans Todabelu Mataloko berlangsung hari Minggu (4/2/2018). Kegiatan seharian itu diawali Ibadat Sabda oleh Fr. Ces Djo, lalu tatap muka bersama Rm. Praeses di kapela SMA, dilanjutkan dengan pembicaraan terpisah para orangtua seminaris SMP bersama tim prefek (pamong) SMP di Aula Rekreasi SMP, dan para orangtua seminaris SMA bersama tim prefek SMA di Ruang Musik SMA. Tampil pula paduan suara Berkhmawan menghibur para orangtua.

            Di hadapan ratusan orangtua seminaris yang memenuhi kapela SMA, Rm. Gabriel Idrus, Pr, Praeses Seminari, mengungkapkan terima kasih yang tulus karena para orangtua berkerelaan hadir pada Hari Orangtua Seminaris (HOS) tahun ini. “Bapak Uskup memandang HOS sebagai wujud konkrit tanggungjawab gereja terhadap pendidikan calon imam, dan gereja adalah kita semua. Terima kasih atas kehadiran bapak/ibu”.

            Selanjutnya, Rm. Idrus kembali menegaskan tujuan berdirinya seminari. Dikatakannya, seminari ini ada karena gereja membutuhkan imam. Imam yang dibutuhkan adalah imam yang mampu menghadirkan Kristus sebagai Imam Agung, yang mampu menjalankan tugas imamat yakni sebagai nabi yang mewartakan, gembala yang memimpin, dan imam yang menguduskan. Imam-imam seperti ini mempunyai tuntutan kerohanian yang khas, dan habitus yang khas, dan untuk itulah seminari didirikan. “Seminari didirikan karena keharusan misioner, bukan karena selera manusiawi. Aturan-aturan yang ada diciptakan agar 5 S (sanctitas, scientia, sapientia, sanitas, socialitas) berkembang menjadi habitus dalam diri calon imam”, katanya.

Rumah Pengkaderan

Secara singkat Rm. Idrus mengangkat kembali pembicaraan Bapak Uskup Agung Ende, Mgr. Vincensius Sensi Potokota, pada kegiatan HOS tahun 2016 lalu.

“Menarik sekali, saat itu Bapak Uskup berbicara tentang seminari ini sebagai rumah pengkaderan, tentu dengan tujuan agar para siswa kita kelak dapat menjadi imam yang tangguh”, papar Rm. Idrus. Ia menyebutkan beberapa hal yang disampaikan Bapak Uskup saat HOS itu.

            Pertama, sebagai lembaga pengkaderan, orang tidak bisa datang ke seminari dengan motivasi setengah-setengah. “Kalau sekedar cari ilmu atau keterampilan, di mana-mana bisa” tambahnya, meniru ucapan Uskup. “Pengiriman anak ke seminari, karena itu, tidak bisa dilakukan dengan motivasi, ‘kami titip anak ke seminari – siapa tahu Tuhan pilih’. Dari awal motivasi mestinya sudah harus dipertegas, diperbarui. Identitas itu harus tegas dan jelas. Para siswa harus sudah mencintai identitas itu sejak awal, itu pesan Bapak Uskup”.

Rm. Idrus meminta para orangtua bahu-membahu membantu agar sejak awal anak-anak mencintai panggilannya, misalnya, dengan terus mendorong anak-anak menghayati 5 S dalam hidupnya melalui kerelaan mengikuti pedoman dan aturan hidup yang sudah teruji dari waktu ke waktu. “Kita semua diminta mendukung dengan segenap hati, bukan dengan setengah hati, apalagi dengan motivasi-motivasi tersembunyi, yang membuat anak-anak kita tergoda untuk menghayati identitas ganda: di muka umum dia pura-pura menjadi calon imam, di belakang-belakang secara sembunyi-sembunyi dia menghayati hidup seakan-akan bukan sebagai calon imam”, tegas Rm. Idrus.

Kedua, Rm. Idrus menyampaikan harapan Bapak Uskup agar para orangtua mempercayakan anak-anak kepada para formator seminari dengan sepenuh hati, dari lubuk hati. “Berkali-kali Bapak Uskup meminta agar kepercayaan diberikan dari lubuk hati karena di dalam lubuk hati ada kasih-sayang, ada tanggungjawab, ada nurani, ada suara kehendak Tuhan”, tambahnya. Keputusan-keputusan yang diambil di seminari, lanjutnya, tidak berdasarkan suka atau tidak suka, tetapi sudah digariskan dalam pedoman yang jelas. “Namun agar semuanya bisa berjalan dengan baik, perlu ada tanggungjawab bersama. Dalam kata-kata Bapak Uskup, tidak usah merusakkan anak-anak dengan kasih-sayang yang tidak benar, yang tidak nyambung, kasih sayang yang memanjakan”.

Dalam perbincangan dengan masing-masing prefek/pamong banyak dibicarakan tentang kehidupan para siswa di asrama, agar ada pengertian dan tanggungjawab bersama untuk merawat panggilan dan menumbuhkembangkan kepribadian anak.

Usai pertemuan dengan para formator, para orangtua berkesempatan bercengkerama dengan anak-anaknya, sambil menikmati makan siang bersama.

HOS tahun ini adalah kegiatan ketiga kalinya sejak pertama kali dilaksanakan tahun 2015 silam. Kegiatan ini diagendakan sebagai momen tahunan (Nani).

MAHASISWA POLITEKNIK PRAKTIK LAPANG DI SEMINARI MATALOKO

            Tiga mahasiswa/i Politeknik St. Wilhelmus Boawae, yakni Magdalena Dhema (23), Maria Winfrida Wua Dhema (22), dan Servasius Podhi (23), dari jurusan Nutrisi Peternakan  menjalani praktik lapang di Seminari Mataloko selama tiga bulan terhitung 27/02/2018 silam.

Ditemui saat bekerja di kandang babi di Tanjung, Seminari Mataloko, ketiganya mengaku sangat bergembira berada di tengah komunitas seminari. Fokus praktik lapang adalah pada teknik pengolahan pakan dan pengaruhnya pada perkembangan ternak serta manajemen pemeliharaan ternak babi.

Ketiganya berharap, selain belajar menerapkan ilmunya dalam karya nyata, kehadiran mereka membawa manfaat bagi pengembangan usaha ternak babi di lembaga pendidikan calon imam ini. Harapan lainnya, di masa mendatang usaha ini dapat makin berkembang  mengingat ketersediaan kandang yang luas walau dibutuhkan renovasi karena dimakan usia, ketersediaan air dan pakan alami yang cukup.

Bagian dari Kewirausahaan Sekolah dan Pelayanan Masyarakat

            Usaha ternak adalah bagian kewirausahaan SMP dan SMA Seminari, yang peruntukkannya adalah pemenuhan kebutuhan komunitas seminari dan pelayanan kepada masyarakat sekitar.

            Para siswa membutuhkan asupan protein yang cukup untuk kesehatan tubuhnya yang, tentu saja, berpengaruh bagi kesehatan mental dan ketahanan belajar. Kecuali tahu, ikan dan telur yang rutin disuguhkan setiap hari, mereka mendapatkan lauk berupa daging babi.

            Masyarakat sekitar mendapat pelayanan dari usaha ternak ini. “Sejauh ini masyarakat sangat terbantu, baik yang membutuhkan babi besar maupun breeding atau babi untuk pengembangbiakan. Bahkan Pemerintahpun mendapatkan pasokan babi untuk kelompok-kelompok ternak babi di tengah masyarakat”, ungkap Rm. Seli Fe, Pr, penanggungjawab kandang babi.

            Pelayanan kepada masyarakat melalui penyediaan babi besar dan breeding adalah hal baru yang dikembangkan dalam usaha ternak ini. Sudah lama usaha ternak babi dijalankan, bahkan sejak zaman para misionaris SVD, tetapi perhatiannya lebih untuk kebutuhan ke dalam.

            Mengapresiasi peran sosial usaha ternak babi ini, Pemerintah memberikan perhatian besar khususnya melalui penyediaan induk babi dan pejantan. “Bapak gubernur sendiri menyalurkan bantuan dan berkenan mengunjungi ternak babi di Tanjung”, jelas Rm. Seli.

Butuh Renovasi Kandang

            Kendala yang dialami saat ini adalah keadaan kandang yang terlihat tua, lapuk, dan kurang sehat bagi pertumbuhkembangan babi. “Kita membutuhkan renovasi kandang secara menyeluruh khususnya kandang induk babi sehingga semakin banyak induk babi yang tertampung dalam kandang yang memadai. Renovasi itu mendesak, karena kandang yang ada adalah warisan para misionaris SVD sejak tahun 1920-an, yang saat itu dibangun lebih untuk pemenuhan kebutuhan ke dalam. Saat ini, ketika pelayanan sosial kepada masyarakat menjadi salah satu perhatian penting, misalnya dengan penyediaan induk babi dan breeding, sangat dibutuhkan adanya kandang babi yang sehat”, jelas Rm. Seli.

            Rm. Seli Fe, Pr, memandang usaha ternak babi sangat prospektif ke depan. “Dengan manajemen yang baik, penyediaan makanan yang cukup, dan didukung kandang yang sehat, wirausaha sekolah di bidang ini menjanjikan dan kebutuhan masyarakat semakin terlayani”, tambahnya penuh semangat.

            Selain usaha ternak babi, seminari juga mengupayakan ternak sapi. Usaha ternak sapi sangat mungkin dilakukan karena ketersediaan rumput king grass yang melimpah.

Saat ini terdapat 9 ekor induk sapi dan pejantan yang merupakan bantuan Komisi PSE KWI. Sebelum ini, beberapa ekor sapi piaraan siswa SMPS Seminari telah terjual (Nani).

PANEN JAGUNG LAMURU DI KEBUN SEMINARI

            Panen jagung komposit berjenis Lamuru dilakukan di kebun seminari Rabu,25/10/2017 silam. Hadir dalam kegiatan ini Yohanes Tay, Kepala Dinas Pertanian Provinsi NTT, Paskalis Wale Bai, Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten Ngada, Letkol. Czi Arman, Dandim Kabupaten Ngada, dan sejumlah rombongan. Sebanyak 10 ton jagung berhasil dikumpulkan untuk pemenuhan kebutuhan benih jagung bagi para petani sedaratan Flores.

            Kepada Praeses Seminari St. Yoh. Berkhmans Todabelu, Rm. Gabriel Idrus, Pr, Yohanes Tay mengungkapkan kepuasan dan kegembiraannya atas hasil yang dicapai. “Ini adalah wujud kerja keras dan kepedulian yang besar dalam gerakan mewujudkan swasembada pangan”, katanya. Hal senada disampaikan Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten Ngada. Atas nama pemerintah mereka berhadap kerja sama seperti ini terus berlanjut di waktu-waktu mendatang demi meningkatkan ketahanan pangan. “Kita butuh kolaborasi membangun ketahanan pangan di wilayah kita. Karena itu kami menunjuk lahan kebun seminari ini sebagai lokasi penangkaran jagung”, ujar Yohanes Tay.

Mengolah Tanah, Merawat Panggilan

            Kegiatan menanam jagung di lahan seluas 5 hektare ini dilakukan siswa SMP/SMA Seminari sebagai salah satu pengejawantahan gerakan Mengolah Tanah, Merawat Panggilan, yang dicanangkan pada pelatihan berkebun bersama Komisi PSE KWI pada 5-7 Oktober 2015. Saat itu Rm. Teguh, Pr, ketua Komisi PSE KWI bersama teman-temannya memfasilitasi pergumulan bersama seluruh anggota komunitas seminari untuk menyadari pentingnya tanah dalam seluruh karya penciptaan Tuhan dan dalam konteks panggilan sebagai imam di wilayah Nusa Tenggara.

 “Allah menghembuskan nafasNya maka tanah menjadi hidup. Kita perlu belajar menundukkan kepala, menghembuskan nafas yang dianugerahkan Tuhan kepada kita agar tanah menjadi hidup dan menghasilkan”, kata Rm. Teguh. Dia melanjutkan, seorang calon imam harus akrab dengan bau tanah sejak awal pendidikannya di seminari, karena tanah adalah konteks pastoral yang paling melekat dalam tubuh gereja di Nusa Tenggara.

            Pada pelatihan tersebut seluruh civitas academica SMP/SMA seminari membersihkan tanah, menata petak-petak lahan, dan membangun bak-bak air sebagai persiapan budi-daya sayur-mayur untuk kepentingan komunitas seminari maupun masyarakat yang membutuhkan.

Refleksi yang dilakukan sehari setelah kerja bakti bersama tersebut menemukan betapa indahnya nilai-nilai seperti kebersamaan, tanggungjawab, pengorbanan, bahkan kasih persaudaraan, yang semuanya menyatu pada substansi yang sama, yakni tanah. “Awalnya saya merasa pesimis karena banyak sekali lahan yang belum dikerjakan. Ternyata pekerjaan itu selesai hanya dalam dua hari. Saya menjadi sadar, bahwa pekerjaan seberat  apapun akan selesai dalam waktu yang singkat jika kita bekerja sama dalam kekompakan”, demikian refleksi Gerald Doa Dawa, siswa kelas VII. Tanah itu sesungguhnya pintu masuk penumbuh-kembangan nilai-nilai.

            Di bawah koordinasi Rm. Daniel Sirilus Edo, Pr, berbagai jenis sayur dibudidayakan dan telah memenuhi kebutuhan seluruh anggota komunitas, bahkan masyarakat sekitar. Pemerintah pun mengulurkan tangan secara konkrit melalui kerja sama seperti pengadaan benih sayur, penyediaan pupuk organik, penanaman jagung komposit jenis Lamuru, penyediaan benih kopi arabika yang ditanam pada lahan seluas 2 hektare, dan bantuan alat pertanian, seperti traktor roda empat.

Para Siswa adalah Pelaku

            Budidaya pertanian sudah lama dikembangkan di Mataloko sejak zaman para misionaris, bahkan sebelum seminari didirikan, yakni tahun 1922,            ketika Br. Gallus v.d. Lith menanganinya. Di tangan para misionaris SVD ini, Mataloko dikenal sebagai daerah penghasil sayur dan ternak. “Peternakan berkembang, sudah ada mentega dan susu, kebun menghasilkan berbagai macam sayur, 2 kali setahun kami panen kentang, juga kami tanam gandum”, tulis P. Ettel, SVD pada tahun 1926 (Sejarah Gereja Katolik Indonesia, 3b, hal. 1180).

            Bedanya saat ini pelaku budi daya pertanian adalah para siswa sendiri. “Setiap kelas atau kelompok mendapat giliran satu jam sehari bekerja di kebun”, tutur Rm. Sil Edo, Pr. Dengan bekerja di kebun para siswa belajar mengembangkan kecintaan pada pertanian dan lingkungan. “Banyak siswa terampil berkebun, bahkan terampil membuat pupuk organik seperti bokasi”, katanya. Rm. Sil yakin, kecintaan pada tanah membantu para siswa merawat panggilannya (Nani).

KARAKTER: URAT NADI PENDIDIKAN Pelatihan bersama Dr. Itje Chodidjah, MA

             “Urat nadi pendidikan adalah karakter”, demikian penegasan Dr. Itje Chodidjah, MA, mengawali Interpersonal and Social Skills Training, sebuah pelatihan Penguatan Pendidikan Karakter, kepada para formator dan guru di Seminari Santo Yohanes Berkhmans Todabelu Mataloko, 15-17 Februari 2018 silam. “Karakter yang kuat bertumbuh karena penghayatan nilai-nilai, dan kitalah penumbuh-penumbuh karakter itu dalam diri anak-anak”, lanjut salah satu anggota Badan Akreditasi Nasional itu, yang memilih NTT sebagai salah satu daerah binaannya. Untuk menjadi penumbuh karakter seorang guru dituntut menghayati nilai-nilai di dalam kehidupannya secara konsisten. “Di luar kelas, di tengah masyarakat, seorang guru tetaplah guru. Karakter tidak dipelajari siswa, tapi ditangkap siswa dari perilaku guru”, tandasnya.

            Pelatihan yang berlangsung dua setengah hari itu banyak memberi ilham bagi perubahan. Ada pergumulan dan refleksi mengenai roda nilai dan pemberian bintang pada penghayatan nilai sesuai indikator yang ditetapkan; ada pergumulan dan refleksi tentang kolaborasi, yang amat penting dalam kehidupan saat ini, yang memungkinkan atmosfir green zone tercipta karena ada trust, keterbukaan dan saling berbagi sehingga memungkinkan setiap orang berkembang (growth mindset); ada pergumulan dan refleksi mengenai kualitas berkomunikasi yang tidak hanya menyangkut kata (verbal) tetapi juga intonasi dan bahasa tubuh (nonverbal); ada pembelajaran dengan menggunakan quadrant; ada pembelajaran mengenai six thinking hats dari Edward de Bono yang mengasyikkan sekaligus menantang; dan pembelajaran mengenai coaching yang sungguh menyegarkan dan terasa memenuhi kebutuhan akan adanya pendampingan yang manusiawi dan menumbuh-kembangkan.

            Praeses Seminari, Rm. Gabriel Idrus, Pr, menyatakan kegembiraan dan kepuasannya usai mengikuti pelatihan ini. “Bagi saya, kegiatan pelatihan singkat selama dua setengah hari adalah pintu masuk untuk banyak perubahan dari mimpi-mimpi pembenahan lembaga yang selama ini diwacanakan”, tulis Rm. Idrus dalam refleksinya. Ia juga mengungkapkan rasa harunya, karena pelatihan berkualitas internasional di lembaga pendidikan calon imam difasilitasi ibu Muslim berhati mulia. “Kekuatan ibu Itje adalah hatinya. Kekuatan hati mempertemukan jarak rasa, membuka sekat-sekat perbedaan, menyatukan cita-cita dan harapan. Kekuatan hati mengedepankan kemanusiaan lebih dari apapun lainnya”, tandasnya.

            Hal senada disampaikan Rm. Benediktus Lalo, Pr, Prefek/Pamong SMA Seminari. Rm. Beny menangkap perubahan signifikan yang terjadi usai pelatihan. “Kami merasakan adanya perubahan suasana. Suasana adem dan nyaman dalam relasi antar guru dan siswa. Masalah siswa tetap ada tapi terasa tidak ‘mencekam’ lagi. Para guru membuat pendekatan baru yang membawa pertumbuhan”, ungkapnya.

Rm. Aleks Dae, Pr, guru bahasa Indonesia, menuliskan catatannya mengenai pelatihan tersebut sebagai berikut, “Latihan coaching bagi saya merupakan babak baru untuk menempatkan para siswa sebagai pihak yang lebih berhak menentukan solusi atas masalahnya sendiri. Latihan coaching sangat membantu saya mengajukan pertanyaan yang tepat dalam suasana tenang sehingga siswa dapat dengan lega menemukan pilihan yang tepat dalam mengatasi masalah”.

Diungkapan secara berbeda, Yohanes N. Koandijalo, guru Kesenian mengatakan, “Saya sangat bersyukur karena kegiatan ini menyadarkan saya dan memotivasi saya untuk membenahi diri saya dari waktu ke waktu untuk menjadi seorang pendidik yang berkompeten dan memiliki rasa tanggungjawab yang besar atas masa depan peserta didik”.

F.XLindawati memberikan catatannya mengenai sesi pembelajaran Six thinking hats dari Edward de Bono. Ia mengatakan, “Sesi ini menyadarkan saya, bahwa dalam situasi berbeda kita harus menggunakan pola pikir dan pendekatan yang berbeda atas masalah atau kasus yang dihadapi. Kita perlu terus berlatih agar kita semakin cerdas dan bijak dalam ‘mengganti’ topi yang kita kenakan”.

Dari Knowing ke Being

            Kepala SMPS Seminari, Rm. Kristo Betu, Pr, dalam refleksinya melihat momen pelatihan bersama ibu Itje Chodidjah tepat pada waktunya. “Ibu Itje mengingatkan kembali kita semua agar proses pendidikan kita tidak hanya menjejalkan pengetahuan yang nanti habis dalam ujian, tetapi harus bermakna pada pengembangan kualitas hidup para siswa kita. Kita harus sungguh bergerak dari sekedar knowing kepada being yang berkualitas. Apa artinya pengetahuan, dikte, penghafalan, kalau semua itu menguap begitu cepat tak berbekas, sementara itu kualitas kepribadian anak dengan berbagai kemungkinannya tidak bertumbuh dan berkembang”, ujarnya.

            Rm. Kristo amat terkesan dengan pergumulan mengenai guru sebagai suatu lingkaran tanpa putus. “Justru agar being, kehidupan, jati-diri anak bertumbuh dan berkembang maksimal, korps guru harus menjadi suatu lingkaran tanpa putus. Satu saja guru tidak tanggap terhadap perilakunya, dia bisa merusak karakter siswa secara keseluruhan”.

            Dengan kata lain, dibutuhkan kerelaan berubah dalam diri guru. Hal tersebut disampaikan oleh Paulina Bate, guru IPA terpadu SMPS Seminari. “Saya akan berusaha memperbaiki pola relasi saya”, katanya. “Saya ingin meningkatkan cara berkomunikasi saya yang lebih efektif, lebih berempati, lebih sabar, lebih mendengarkan teman-teman guru saya, dan, terutama, siswa-siswa saya”, ungkap Bernadetha Wea, guru bahasa Inggris SMP.  Artinya dibutuhkan “pertobatan pedagogis”, kata Rio Edison, OFM, agar guru sungguh dapat menjadi designer perubahan perilaku. Tentu saja, “tidak ada kata terlambat untuk orang yang mau berubah”, tulis Gaby Simatupang. “Alangkah baiknya jika setiap hari para siswa menemukan tokoh-tokoh teladan yang muncul dari guru, yang menginspirasi perubahan karakter dan perilaku”, simpul Fransiska Dhera, guru bahasa Indonesia.

            Dalam evaluasi mengenai kegiatan pelatihan tersebut pada 3 Maret 2018, semua guru mengharapkan keberlanjutan pelatihan seperti ini bersama ibu Itje Chodidjah. (Nani).