Waktu sangat dibutuhkan. Dalam masa Prapaskah ini waktu menjadi sangat penting. Waktu yang dimanfaatkan dengan baik dapat membawa dampak positif bagi seminaris. Namun, bagaimana jika waktu yang ada malah disalahgunakan?
Masa Prapaskah tiba. Seminaris harus melakukan segala sesuatu dalam keadaan Silentium.
Bapak Asrama menganjurkan pada kami untuk melakukan Kerja Puasa dengan sungguh-sungguh. Bapa Asrama juga menyuruh kami menggunakan waktu dengan sebaik mungkin.
Ia menyerahkan tanggung jawab mengurus pekerja pada seksi Pekerjaan Umum (PU) untuk berkeliling mengawasi dan memastikan semua seminaris bekerja di tempat yang sudah dibagikan oleh Frater.
Jika seminaris kedapatan tidak bekerja atau bekerja dengan tidak serius, maka kelas seminaris tersebut akan diberi teguran. Jika kesalahan yang sama terus diulangi, maka kelas yang bersangkutan akan diberi sanksi.
Kelasku, VII C mendapat lokasi pekerjaan di toilet. Toilet dipenuhi oleh lumut hitam yang tumbuh di celah-celah keramik. Kami pun melakukan pekerjaan secara hati-hati dan senang karena lewat tugas ini orang-orang dapat memakai toilet yang bersih dan wangi dari hasil keringat kami.
Waktu berjalan sangat cepat. Tanpa sadar kami pun hampir selesai. Karena merasa bosan kami mengubah toilet menjadi arena selancar.
Kami bermain seluncuran dan kejar-kejaran di toilet. Tiba-tiba saja “Paakkkkk!” Kami semua kaget. Temanku Plato telah tertidur dilantai toilet beserta busa bertebaran di pakaiannya. “Hahahaahaha kasian ngerilaa Plato ni!” suara tawa bergemuruh di sekeliling toilet.
Setelah Plato tergelincir, kami membersihkan kembali Toilet yang tersisa. Kami lalu membersihkan lantai toilet dan membereskan peralatan kerja yang belum tertata. Tak lupa kami menggosok kepala Plato dengan minyak dan mengurutnya agar badannya tidak sakit.
Tingggg, tingg,tingggg, tinggg! Lonceng berbunyi tanda waktu kerja berakhir. Aku dan teman-teman terkejut. Kami panik karena pekerjaan kami belum selesai maksimal dan banyak seminaris sudah datang ke kamar mandi untuk mandi.
Mereka terkejut karena kami belum selesai bekerja. Dengan terpaksa mereka mandi di kamar mandi luar. Seksi PU yang melihat kami masih bekerja langsung memarahi kami dan memberikan kami sanksi.
Dari peristiwa tersebut, kelas kami sadar bahwa waktu yang ada harus dimanfaatkan dengan baik. Jika waktu disalahgunakan, tentu hal ini akan berimbas pada kita dan orang di sekitar kita. Kerja tidak selesai, atau tidak maksimal. Kesempatan menjadi kesempitan
Aku dan teman-teman belajar bahwa kita harus melakukan sesuatu sesuai dengan porsinya, sesuai waktu dan kesempatannya.
“Farrel, cepat siapkan barang-barangmu, kita mau berpiknik di pantai,” ujar ibuku. “Iya bu,” jawabku sambil mengemasi barang-barangku ke dalam ransel. Setelah itu kami menyantap sarapan pagi bersama. “Makan yang banyak Farrel, tour kita hari ini jauh sekali,” perintah ayahku.
Setelah sarapan kami menuju mobil sambil menenteng tas untuk melakukan perjalanan ke pantai. Tiba di tempat tujuan kami bergegas menuju ke pos untuk membeli karcis masuk. Kami pun menuju ke pantai.
Hatiku bergejolak. Deburan ombak memanggilku untuk menikmati segarnya air laut. Aku tergerak untuk segera berganti pakaian renang yang sudah kubawa.
“Ibu, aku berenang duluan yahhh,” teriakku sambil berlari menuju air laut.
“Jangan Farrel, tunggu sama ayah dulu,” perintah ibu dengan tegas.
Namun aku tak menghiraukan perkataan ibu lalu berenang di laut. Semakin lama aku berenang semakin ke tengah dan semakin ke dalam.
Tak lama kemudian aku mendengar teriakan ayahku dari pinggir laut sambil berlari lalu berenang ke arahku. “Farrel, awassss ada ombak besar dari sana!” Mendengar teriakan ayah, aku tak dapat berbuat banyak karena aku sudah terlalu jauh dari daratan.
Tiba-tiba aku mendengar suara keras “bummmmmm…,” bunyi gemuruh ombak ketika menghantam tubuhku.
Dan suara terakhir dari ayah masih sempat kudengar sebelum tubuhku membentur terumbu karang dan tak sadarkan diri lagi. “ Farrel!!!,” teriak ayah dengan nada panik dan khawatir.
Tidak lama aku merasa sudah berada di tempat baru dan asing yang tak kukenali sama sekali.
Tiba-tiba datang seorang kakek tua berjubah besar, bermahkotakan emas, dan sekujur tubuhnya berkilauan. “Hei anak, kenapa kamu ada di sini?” tanyanya kepadaku.
Dengan ketakutan aku menceritakan sepintas peristiwa yang terjadi padaku tadi. “O begitu rupanya. Sekarang baliklah ke duniamu karena kau belum pantas berada di sini,” kata kakek tersebut. Lalu sayup-sayup aku mendengar suara ayahku.
“Farrel, bangun Farrel!” Aku pun mendengar tangisan ibuku. Pelan-pelan kubuka mataku, dan kini kudapati aku terbaring dalam sebuah ruangan berwarna putih. Selang oksigen tertancap di hidungku.
“Syukurlah kamu sudah sadar. Ya Tuhan, terima kasih,” ucap ibuku dengan penuh syukur.
Kurang lebih dua minggu aku harus dirawat secara intensif. Sekarang tubuhku sudah sehat kembali dan aku dapat beraktivitas seperti sedia kala. Tidak lupa setiap hari aku selalu bersyukur kepada Tuhan atas mukjizat yang telah terjadi pada diriku.
Kegiatan weekend berperan penting bagi para seminaris dalam membangun relasi dengan umat. Dengan weekend, seminaris mampu menyalurkan kesaksian hidup yang baik bagi semua kalangan di dunia luar.
SMPS Seminari St. Yoh. Berkhmans mengadakan kunjungan pastoral ke Paroki St. Fransiskus dan Sta. Klara Assisi, Aimere, Ngada, Jumat-Minggu (17-19/2/2023). Kunjungan pastoral ini diikuti oleh semua seminaris kelas VIII dan kelas IX serta beberapa dari kelas VII.
Mengapa Aimere?
Paroki St. Fransiskus dan Sta. Klara Aimere dipilih karena letaknya dekat, sekitar 46 kilometer dari Mataloko. Lokasi ini dinilai sebagai tempat yang cocok untuk weekend tahun ini.
Selain itu, Paroki Aimere dipilih karena pontesial sebagai tempat promosi panggilan. “Harapannya, dengan kegiatan weekend ini, jumlah seminaris yang berasal dari Aimere dapat bertambah,” ucap RD. Dino Amawawa, selaku prefek SMP yang mendampingi seminaris.
Selain itu, kesediaan umat Paroki Aimere untuk menerima para seminaris membuat kegiatan weekend ini menjadi lancar.
Antusiasme umat memang sangat besar. Ketika diminta sebagai tuan rumah kunjungan pastoral bagi seminaris, RD. Vian Sedu, selaku Pastor Paroki Aimere segera menerima permohonan tersebut yang disetujui umat separoki.
Persiapan-persiapan
Kegiatan weekend ini tentunya membutuhkan banyak persiapan. Seluruh persiapan ini paling banyak berasal dari bidang liturgi, seperti koor, katekese, dan pelayan altar.
“Persiapan yang banyak menyita waktu adalah katekese. Sebab, melalui katekese, umat akan menilai bagaimana hidup rohani para seminaris,” ucap Dino. Seminaris perlu dilatih agar mampu membawakan katekese dengan baik. Hal itu bukan pekerjaan mudah, apalagi untuk anak usia SMP.
Selain persiapan dalam bidang liturgi, pihak Seminari juga telah menyediakan pentasan akustik. Umat juga telah menyiapkan agenda untuk mengisi waktu para seminaris di Paroki dan KUB. Di KUB, umat menghibur dan membesarkan hati para seminaris.
Selain itu, siswa-siswa SMPN 1 Aimere juga menyiapkan acara sendiri, seperti akustik dan pertunjukkan monolog. Mereka juga mementaskan pantomim.
Tanggapan Umat
Umat Paroki St. Fransiskus dan Sta. Klara dari Assisi sangat senang dengan kunjungan anak Seminari Mataloko. Mereka merasa puas atas semua yang telah dipersembahkan oleh para seminaris kepada mereka.
Mereka merasa seminaris memiliki potensi yang patut dikembangkan. Kemampuan-kemampuan tersebut antara lain bernyanyi, public speaking, bermain alat musik, dan memberikan katekese.
Kelebihan lain para seminaris juga terletak pada kemandirian yang dihayati secara nyata di tengah umat, misalnya katekese, liturgi, berinisitatif terlibat dalam pekerjaan-perkerjaan di rumah seperti membersihkan rumah, mencuci alat-alat makan, pada waktunya menyiapkan diri, dan lain-lain.
Hal-hal sederhana ini adalah bagian dari kesaksian hidup para seminaris yang dijalankan dengan sukacita.
SMP Negeri 3 Boawae mengadakan kunjungan OSIS ke SMP St. Yoh. Berkhmans Mataloko, Sabtu (11/02/2023). Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan rasa persaudaraan antarsekolah. Diharapkan ada kerja sama di masa mendatang.
Kegiatan ini dilaksanakan atas permohonan Kepala SMP Negeri 3 Boawae kepada Kepala SMP Seminari St. Yoh. Berkhmans Mataloko. Ini dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan para siswa-siswi dalam berorganisasi. Kegiatan ini dipimpin oleh ibu Ermelinda Muku, S.Pd dan Pak Darius Yohanes Mau, S.Pd. Keduanya adalah guru pada SMPS Seminari.
Kunjungan sekolah ini, melibatkan kepala sekolah, para guru, serta staf OSIS dari kedua sekolah. Dalam acara itu, setiap staf OSIS berbagi pengalaman seputar cara mengatasi masalah yang terjadi dalam OSIS, bagaimana membuat program kerja, serta bagaimana menambah pengetahuan dalam memimpin OSIS.
Seusai sarapan, staf OSIS SMP Seminari menyiapkan peralatan yang dibutuhkan untuk menyambut kedatangan rombongan OSIS SMP Negeri 3 Boawae. Mereka tiba pada pukul 10.00 WITA. Rombongan langsung diarahkan menuju Aula SMP.
Acara dimulai dengan sambutan dari Rm. Kristo Betu selaku Kepala SMPS Seminari Mataloko. Kegiatan dilanjutkan dengan sesi tanya jawab.
Para siswa/i SMP Negeri 3 Boawae bertanya seputar perbedaan OSIS SMP Seminari dengan sekolah luar, program kerja OSIS, serta kegiatan yang meningkatkan minat, serta bakat seluruh warga OSIS.
Kunjungan OSIS ini bertujuan agar para staf OSIS dapat saling belajar mengembangkan kinerja OSIS pada masa mendatang. Kegiatan ini diselenggarakan atas kerja sama kedua sekolah.
Dalam acara ini, OSIS SMP Seminari St. Yoh. Berkhmans Mataloko memperkenalkan diri sebagai sekolah dengan praktik baik kepada dunia luar. Kegiatan ini juga mempertegas fungsi OSIS sebagai organisasi siswa intra sekolah, wadah yang bisa menampung aspirasi dan kemampuan para siswa/i untuk berkembang. Juga jadi kesempatan saling berbagai pengalaman.
“Hal yang membedakan SMP Seminari dengan sekolah luar, yakni kami bisa bekerja di dua wilayah, sekolah dan asrama. Ini pengalaman yang kaya,” ungkap Yano Joka selaku ketua OSIS SMP Seminari.
Kegiatan ini berlanjut dengan minum bersama. Para seminaris memanfaatkannya untuk bersosialisasi dengan siswa/i SMP Negeri 3 Boawae. Acara ini diakhiri doa bersama di pekuburan Kevikepan Bajawa, yang berlokasi di belakang kapela SMA Seminari.
Kerja sama
Tanpa kerja sama, OSIS tidak akan berjalan. Hanya melalui kerja sama OSIS dapat berjalan dengan baik. Dengan kegiatan kunjungan ini, para siswa/i mampu saling bertukar pikiran untuk mewujudkan OSIS yang bermutu dan menjadi wadah seluruh warga OSIS. Itulah salah satu wujud kerja sama.
Kerja sama memungkinkan kita saling belajar. Apa yang menjadi kekurangan sekolah yang satu, dilengkapi oleh kelebihan sekolah lain. Untuk itu diperlukan keterbukaan untuk saling belajar.
Kunjungan ini merupakan ungkapan kedua belah pihak untuk terbuka dan belajar satu sama lain. Harapannya, kerja sama seperti ini terus berlanjut, dan Seminari melakukan kunjungan balasan.
Sejak dipulangkan ke rumah masing-masing pada akhir Maret lalu, praktisnya sebagian besar proses formasi anak-anak Seminari Santu Yohanes Berkhmans Todabelu Mataloko berlangsung melalui metode Dalam Jaringan (Daring).
Pengasuhan digital dari orang tua, pihak seminari, para pastor dan para mitra menjadi sangat penting dan dibutuhkan. Dalam rimba raya jaringan internet, para seminaris diaspora ini perlu didampingi dan diasuh.
Dialog aktif antara anak dan orang tua, para pastor dan para mitra menjadi kunci keberhasilan pengasuhan digital untuk para seminaris diaspora. Tingkat keseringan berkomunikasi antara kedua pihak ini harus berbanding lurus dengan banyaknya waktu yang digunakan anak untuk berselancar di dunia maya.
Ketika durasi “berada di depan layar” kian meningkat, partisipasi aktif orang tua, para pastor dan para mitra dalam membangun komunikasi dengan anak harus ditingkatkan pula.
Mengapa Penting?
Pertama, situasi sekarang memaksa anak-anak seminari melakukan banyak aktivitas Daring, terutama untuk mengikuti Kegiatan Belajar Mengajar (KBM). Selain itu, interaksi untuk proses formasi sebagai calon imam juga terjadi melalui media-media Daring. Kedua tuntutan ini menyebabkan durasi waktu untuk cemplung ke dalam dunia digital semakin tinggi.
Kedua, jagat maya merupakan jagat yang sama sekali asing bagi sebagian besar anak-anak seminari. Dalam situasi normal, mereka dilarang menggunakan HP dan tidak memiliki akses ke dalam dunia maya dengan segala kemungkinan-kemungkinannya yang tidak terbatas. Dalam era kenormalan baru ini, mereka diwajibkan memiliki HP dan keahlian berselancar di dunia maya untuk melayani kepentingan formasi.
Ketiga, internet selalu berwajah ganda. Di satu sisi, akses ke dalam internet meningkatkan literasi dan wawasan anak. Di sisi lain, dalam internet terdapat sejumlah tantangan yang mengancam perlindungan dan hak anak seperti perundungan digital dan pencurian data pribadi (KOMPAS, 21/06/2020). Dampingan orang tua, para pastor dan para mitra mutlak perlu untuk meminimalisasi kejahatan siber dalam berbagai levelnya.
Keempat, alasan terkait etika digital. Walaupun memiliki banyak kesamaan, etika digital dan etika dunia nyata tetap memiliki perbedaan. Dalam dunia digital, segala sesuatu pasti meninggalkan jejak. Selain itu, semuanya serba terbuka. Oleh karena itu, anak-anak perlu mendalami etika digital dan selalu diingatkan untuk mematuhi etika-etika tersebut.
Kelima, anak-anak perlu dilindungi dari pelbagai variasi bahaya informasi-informasi palsu. Semua orang memiliki akses ke dalam internet dan oleh karena itu berbagai jenis informasi, entah itu benar atau salah, entah itu baik atau buruk, berseliweran dalam berbagai platform media-media Daring. Kontrol orang tua, para pastor, dan para mitra membantu anak-anak dalam proses penyaringan dan internalisasi informasi-informasi tersebut.
Peran Sentral Orangtua, Para Pastor dan Para Mitra
Orang tua, para pastor dan mitra memiliki peran penting dalam pengasuhan digital bagi para seminaris diaspora. Peran tersebut dapat dijalankan melalui kehadiran dan dialog aktif. Spritualitas kehadiran dan dialog aktif menjadi kunci keberhasilan proses-proses pengasuhan digital. Oleh karena itu, orang tua, para pastor dan para mitra wajib memberikan teladan dan panutan.
KOMPAS (20/06/2020) meringkas tiga lapisan yang harus dimiliki sebuah keluarga ketika (anak-anaknya) harus mencemplungkan diri ke dalam dunia digital.
Lapisan pertama adalah kesadaran akan pentingnya keselamatan, keamanan, dan privasi. Lapisan kedua adalah literasi media agar bijak menyikapi informasi palsu serta menilai kebenaran konten. Lapisan ketiga menyangkut kesadaran tentang hak dan tanggung jawab.
Orang tua, para pastor, dan para mitra memiliki kewajiban dan tanggung jawab membangun ketiga lapisan kesadaran tersebut. Perlu diakui, usaha itu tidak gampang. Oleh karena itu pada bagian berikut direkomendasikan hal-hal praktis yang perlu dibuat.
Langkah-langkah Praktis Pengasuhan
Pertama, kerja dan belajar dalam dan melalui media daring harus dijadwalkan. Orang tua dan para mitra harus melibatkan diri dalam penyusunan jadwal belajar dan kerja anak. Keterlibatan itu juga harus sampai pada tahap pengawasan, apakah jadwal itu ditaati atau tidak.
Kedua, tingkatkan komunikasi langsung dengan anak. Komunikasi itu harus dari muka ke muka dan dari hati ke hati, bukan melalui perantaraan media-media sosial.
Ketiga, ingatkan anak akan kerawanan dan bahaya yang ada di ruang virtual. Banyak bahaya yang bisa saja timbul, misalnya penipuan, kekerasan verbal, pencurian data pribadi, dan perundungan digital.
Keempat, usahakan sebisa mungkin agar menemani anak saat mereka sedang bekerja dan belajar melalui media-media Daring. Pada bagian ini, sekali lagi ditekankan pentingnya spiritualitas kehadiran bagi seorang anak.
Kelima, orang tua, para pastor, dan para mitra harus selalu mengingatkan anak akan pentingnya menjaga etika bermedia sosial. Etika itu misalnya, selalu menggunakan kata-kata yang sopan dan tidak saling memaki.
Keenam, sebagai pengasuh, tentu saja orang tua, para pastor, dan para mitra juga harus memiliki pengetahuan yang memadai tentang literasi teknologi digital. Oleh karena itu, mau tidak mau, orang tua juga harus mempelajari seluk beluk dunia digital dan segala tuntutan-tuntutannya.
Dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 01/KB/2020, Menteri Agama Nomor 516 Tahun 2020, Menteri Kesehatan Nomor HK.03.01/Menkes/363/2020, dan Menteri Dalam Negeri Nomor 480-882 Tahun 2020, tentang Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran Tahun Ajaran 2020/2021 dan Tahun Akademik 2020/2021, ditetapkan bahwa sekolah-sekolah berasrama yang berada di zonah hijau dilarang membuka asrama dan melakukan pembelajaran tatap muka, sekurang-kurangnya pada dua bulan pertama.
Menyikapi SKB tersebut, dan sesuai kebijakan Pemerintah Daerah Kaubupaten Ngada, SMPS dan SMA Seminari Santu Yohanes Berkhmans Todabelu Mataloko memutuskan untuk menyelenggarakan pendidikan calon imam dengan metode Dalam Jaringan (Daring) melalui Learning Management System (LMS). Dalam perencanaannya, metode pembelajaran Daring akan berlangsung selama dua bulan awal semester Ganjil 2020/2021, terhitung sejak 13 Juli-13 September 2020.
Dalam konteks dunia pendidikan di Pulau Flores, pembelajaran Daring merupakan sesuatu yang relatif baru. Dibutuhkan suatu persiapan yang sungguh matang agar keberlangsungan proses pembelajaran tetap sesuai dengan tuntutan kurikulum di era kenormalan baru.
Tentang keseluruhan proses persiapan itu, Kepala SMA Seminari Mataloko, Rm. Gabriel Idrus, Pr, mengatakan, “Sejauh ini kita telah mengadakan rapat bersama para bapa ibu guru di tingkat internal dan mengevaluasi persiapan-persiapan kita. Memang kita saat ini dalam kondisi siap meskipun adaptasi-adaptasi itu masih tetap terjadi dalam perjalanan waktu, karena kita berkenalan dengan sesuatu yang baru.”
“Adaptasi itu, baik di tingkat kita sendiri, ke dalam, para bapa ibu guru, yang menyiapkan pembelajarannya maupun juga para siswa kita. Adaptasi itu menyangkut banyak aspek, baik menggunakan aplikasi ini (Google Classroom) maupun juga situasi secara umum ketika harus melaksanakan pembelajaran Daring.”
Selanjutnya Romo Idrus menambahkan bahwa secara umum sekolah ini telah siap melaksanakan pembelajaran daring melalui aplikasi Google Classroom. “Saya boleh katakan, secara umum memang kita siap, walaupun dalam perjalanan tetap harus beradaptasi dengan kondisi, beradaptasi dengan berbagai macam hal yang masih tetap berubah dalam waktu-waktu ke depan. Dari sisi kesiapan, kita siap tapi keterbukaan dan segala macam adaptasi itu masih dibutuhkan dalam masa perubahan.”
Sama seperti SMA, SMPS Seminari Mataloko juga telah sampai pada tahap persiapan yang maksimal. Hal ini disampaikan oleh Rm. Kristoforus Betu, Pr, selaku Kepala Sekolah di ruang kerjanya pada Senin, 20 Juli 2020. Setelah ditetapkan bahwa seluruh proses pembelajaran akan berlangsung dengan metode Daring dan menggunakan aplikasi Google Classroom, semua guru bergerak dan berusaha keras agar bisa mengoperasikan aplikasi ini.
Romo Kristo mengakui bahwa persiapan itu membutuhkan waktu paling kurang satu bulan. “Butuh waktu ya, kasarnya sebulanlah. Ada hari-hari yang efektif sekali, tapi ada hari-hari di mana para guru belajar mandiri. Belajar terpadu, terprogram, tersistematis, di bawah Romo Isto sebagai operator utama. Ada latihan bersama, tugas mandiri dan juga latihan-latihan bersama oleh teman-teman yang sudah mahir. Menurut saya, itu berjalan intensif.”
Kendala-kendala di Tingkat SMPS
Walaupun SMPS telah memiliki persiapan matang untuk memulai pembelajaran Daring, ditemukan beberapa kendala yang perlu dibenahi. Rm. Kristoforus Betu, Pr, menyampaikan bahwa ada tiga kendala utama yang dihadapi oleh SMPS pada saat ini.
Pertama laboratorium komputer. Menurut Romo Kristo, SMPS perlu memiliki laboratorium komputer sendiri. Kelas Daring mengakibatkan tingginya lalu lintas penggunaan laboratorium komputer, dan oleh karena itu, perlu diadakan laboratorium khusus untuk SMPS.
Kedua, kendala jaringan dan tenaga IT. SMPS memerlukan jaringan internet yang lancar demi meminimalisasi gangguan jaringan selama proses pembelajaran berlangsung. Kendala jaringan juga dialami oleh anak-anak yang tinggal di daerah-daerah yang tidak terjangkau jaringan internet. Di samping itu, SMPS juga membutuhkan tambahan tenaga IT. Menurut Romo Kristo, bila perlu semua guru diwajibkan menjadi tenaga IT.
Ketiga, SMPS kekurangan tenaga imam. Sebagai sekolah para calon imam, SMPS Seminari Mataloko masih membutuhkan tenaga-tenaga imam, sehingga tugas-tugas yang seharusnya dilakukan oleh seorang imam, tidak perlu diambilalih oleh para guru dan pegawai awam.
Persiapan para Guru
Dari sharing beberapa guru, kita mendapat informasi bahwa mereka maksimal menggerakkan roda pembelajaran Daring. Hal ini patut diberi apresiasi karena kelas Daring dan penggunaan aplikasi Google Classroom merupakan sesuatu yang sama sekali baru bagi sebagian besar guru dan siswa.
Ibu Lindawati, misalnya, men-sharing-kan bahwa kelas Daring merupakan sesuatu yang sama sekali baru bagi beliau selama delapan belas tahun menjadi guru. Di tengah kerja keras mempelajari penggunaan aplikasi Google Classroom, Ibu Linda harus mengemas materi pembelajaran dalam bentuk teks, power point, dan video demi meningkatkan ketertarikan para siswa untuk mempelajari materi yang diberikan. Semua hal itu telah beliau kerjakan dengan baik.
Frater Vinsensius Sele, seorang guru baru yang mengampuh mata pelajaran Agama Katolik, mengakui bahwa beliau tidak mengalami kesulitan yang cukup berarti dalam menjalankan aplikasi Google Classroom. “Bagi saya, ini cukup mudah. Yang menjadi tugas yang harus dibenahi sekarang ialah bagaimana menyajikan materi sekreatif mungkin agar para seminaris tertarik untuk mendalami setiap materi yang disajikan.”
Selain dari Ibu Linda dan Frater Vinsen, kita juga mendapat sharing yang cukup menggembirakan dari Ibu Theresia Emilia Woghe. Beliau menulis, “Persiapan saya untuk kelas online ini, baik dari segi persiapan materi maupun soal-soal sudah rampung (untuk dua Kompetensi Dasar pertama). Dari segi penguasaan aplikasi, saya kira sudah jauh lebih baik dari sebelum-sebelumnya, dalam arti sudah jauh lebih siap, walaupun saya tidak bisa memprediksi bagaimana action-nya nanti.”
Sama seperti guru-guru SMA, para guru SMPS juga mengatakan bahwa pada umumnya mereka sudah siap mengajar di kelas-kelas Daring. Bapak Darius Yohanes Mau, S.Pd, misalnya berkisah bahwa beliau telah siap 100%.
“Mengenai persiapan kelas Daring,” kata Pak Aris, demikian beliau akrab disapa, “untuk saya punya kelas, saya wali kelas VIIA, persiapannya sudah memadai. Dalam grup-grup WhatsApp, sudah dipastikan semua anak tergabung untuk memudahkan pengontrolan. Kemudian di Google Classroom, anak-anak dikontak melalui nomor pribadi untuk memastikan perorang itu wajib memasukkan akun ke google. Semuanya sudah 100% tergabung dan semua aktif sehingga kelas Daring yang dimulai hari ini berjalan lancar.”
Berbeda dengan Pak Aris yang tidak mengalami kendala dalam penguasaan aplikasi Google Classroom, ada guru, terutama guru-guru senior, masih mengalami kesulitan dalam menjalankan aplikasi pembelajaran tersebut.
Tentang kesulitan itu, Ibu Paulina Bate berkisah, “Secara umum, penyiapan materi pembelajaran (bahan mentah) tidaklah sulit, karena didukung oleh pengalaman puluhan tahun mengajar. Yang masih menjadi kendala adalah ketika materi yang telah disiapkan harus diubah ke dalam bentuk digital dan dibagikan dalam Google Classroom. Sebagai orang tua, kecepatan dalam mempelajari sesuatu telah jauh berkurang, apalagi jika harus selalu berpindah dari kiri ke kanan (menjelajahi situs dan aplikasi digital).”
Selain kesulitan menjalankan aplikasi, kesulitan lain yang dialami para guru di SMPS ialah menyangkut pembagian waktu antara manjalankan profesi guru dengan waktu bersama keluarga di rumah.
Ibu Fransiska Dhera, guru Bahasa Indonesia, berkisah, “Tantangan yang dialami dalam masa transisi ini adalah kesulitan dalam membagi waktu antara panggilan sebagai guru di sekolah dan tanggung jawab sebagai ibu yang mengatur jalannya rumah tangga.”
“Melakukan penyesuaian yang cukup besar dalam mekanisme pembelajaran tidaklah mudah bagi seorang guru sekaligus ibu. Porsi waktu untuk melatih kecakapan dalam menjelajah dan menggunakan rupa-rupa situs dan aplikasi cukup besar dan menuntut guru untuk melanjutkan pekerjaan-pekerjaan sekolah, di rumah. Sementara itu, di rumah sudah ada pekerjaan lain yang menunggu,” tambah Ibu Siska.
Pesan dan Harapan bagi Siswa-siswa Seminari
Dalam banyak kesempatan, Rm. Gabriel Idrus, Pr selaku Praeses dan Kepala Sekolah mengajak para seminaris untuk memaknai situasi yang diakibatkan oleh pandemi covid-19 ini sebagai tantangan dan peluang untuk beradaptasi dengan perubahan.
“Dalam pengalaman seperti ini, kita diuji dan ditantang, siapa yang bertahan dalam perubahan-perubahan itu, dia bisa keluar sebagai pemenang. Kepada para siswa, ini menjadi motivasi. Meskipun dalam situasi keterbatasan, yang barangkali secara perorangan mengalami kesulitan, kita maknai ini sebagai peluang untuk kita beradaptasi dengan perubahan.”
Senada dengan hal yang disampaikan Romo Praeses, Rm. Nani Songkares, Pr, selaku guru senior mengajak para siswa untuk melihat situasi ini sebagai kesempatan untuk melihat identitas seminari secara baru. Father Nani, begitu beliau akrab disapa, dalam catatannya mengenai kebijakan pendidikan di Seminari saat krisis Covid-19, menulis, “Setiap krisis yang kita alami adalah sekaligus opportunity. Jangan-jangan virus corona ini memberi kita peluang untuk bergumul dengan identitas Seminari Santo Yohanes Berkhmans Todabelu secara baru.”
Para guru, yang juga menjadi wali-wali kelas, mengharapkan agar para seminaris cepat beradaptasi dengan model pembelajaran daring ini. Selain itu, para seminaris juga diharapkan untuk tetap mematuhi protokol kesehatan, menjaga pola hidup sehat, menjaga kedisiplinan, dan etika bermedia sosial serta selalu meluangkan waktu untuk mengembangkan talenta.
Pandemi virus korona yang belum menunjukkan tanda-tanda menurun, memaksa manusia beradaptasi dengan segala jenis gaya kehidupan baru. Ada banyak hal yang berubah, termasuk model pendidikan calon imam di berbagai Seminari, baik pada tingkat menengah maupun pada tingkat Seminari Tinggi.
Dalam pertemuan online pada 22 Juni 2020 bersama para Rektor Seminari Menengah, Ketua Komisi Seminari KWI, Mgr. Robertus Rubiatmoko, mengatakan bahwa model formasi calon imam dalam waktu-waktu mendatang akan menjadi lebih terbuka dan dinamis, di mana akan ada banyak pihak di luar seminari terlibat dalam proses formasi para seminaris.
Pertemuan tersebut dilanjutkan dengan sejumlah rapat pengurus Komite Sekolah Seminari, Yayasan Persekolahan Umat Katolik Ngada (Yasukda), Konsultan Kesehatan Kabupaten Ngada, dan pemerhati pendidikan. Selanjutnya, diadakan beberapa kali pertemuan bersama Bapak Bupati Ngada dan jajarannya, yang menghasilkan berbagai rekomendasi strategis, antara lain konsep Seminari Diaspora dan implementasi praktisnya.
Secara fisik, pusat-pusat formasi berpindah dari “kompleks seminari” ke tangan para seminaris sendiri, orang tua, Pastor Paroki, Pastor Rekan, dan pihak-pihak lain yang membantu perkembangan para seminaris di rumah mereka sendiri. Di tangan merekalah, dan dalam interaksi dan kerja sama dengan Lembaga Seminari, mewujud-nyata Seminari Diaspora itu.
Persis pada titik ini, Rm. Benediktus Lalo, Pr, selaku Romo Prefek SMA Seminari Mataloko, melemparkan satu pertanyaan reflektif yang sangat menantang, “Bagaimana dimensi-dimensi pendidikan calon imam (Sanctitas, Scientia, Sapientia, Sanitas, dan Socialitas) yang sistematis dan terprogram, yang terencana, dengan satu tujuan yang terukur, tetap dipertahankan?”
Bangun Kerja Sama yang Solid
Agar dimensi-dimensi tersebut di atas tetap dihayati oleh para seminaris diaspora, dibutuhkan suatu jaringan kerja sama yang kuat antara pihak seminari dengan para orangtua dan para pastor paroki. Menurut Rm. Benediktus Lalo, Pr, kerja sama dan koordinasi ini merupakan hal yang sangat menentukan dan tentu saja mendesak.
Kalau koordinasi kita dengan orangtua dan pastor Paroki tidak bagus, ada kemungkinan proses pembinaan itu pincang. Kita tidak bisa terlalu jauh sampai pada diri anak. Tetapi kalau betul koordinasi kita bagus dengan visi misi yang sama antara kita dengan orangtua, saya yakin, kita percaya apa yang terjadi di rumah dan di paroki, itu adalah bagian dari proses pendidikan calon imam.”
Walaupun pusat pembinaan para seminaris telah berpindah, kelima dimensi pendidikan calon imam (5S) harus tetap dijaga dan dirawat. Konsep seminari diaspora merupakan sesuatu yang relatif baru, dan oleh karena itu perlu diakui bahwa sebagian proses pembinaan masih jauh dari ideal formasi yang telah ditanamkan sejak dahulu. Akan tetapi, situasi dan kondisi yang tidak ideal ini harus bisa diatasi agar proses formasi tetap berjalan.
Demi mencapai tujuan itu, Romo Praeses menekankan pentingnya interaksi jarak jauh yang berkelanjutan antara para formator dan seminaris melalui media-media sosial. Hal praktis yang diambil ialah dengan memasukkan para formator dalam grup-grup WhatsApp wali kelas. Dengan demikian, para formator memiliki akses yang cukup memadai ke dalam kehidupan para seminaris. Selain itu akan diadakan pula kunjungan berkala dari pihak seminari ke tempat-tempat perjumpaan yang ditetapkan untuk memantau perkembangan pendidikan anak-anak seminari dari dekat.
“Supaya formasinya juga tetap berjalan, kita juga sudah berbicara cukup jauh sebelum ini, yaitu bahwa tetap nanti harus ada interaksi, melalui media-media ini (Google Classroom dan WhatsApp), yang di dalamnya itu banyak pihak terlibat, para gurunya terlibat, tapi juga para pendamping. Pembina harian itu nanti masuk dalam grup-grup supaya mereka terlibat dan melihat bagaimana hal ini berjalan di rumah ketika mereka dirumahkan,” kata Romo Praeses.
“Kemudian kita juga nanti,” demikian Romo Praeses, “akan melanjutkan lagi dengan kunjungan berkala yang kita rencanakan, di mana pihak lembaga akan turun dalam tim, melihat mereka dari dekat. Itu saja yang bisa kita buat dan kita memang berharap supaya setelah masa transisi ini mereka boleh kembali karena dengan itu, formasi lengkap sebagaimana yang kita cita-citakan boleh berjalan kembali.”
Dari Lembah Sasa Menuju Seminari Diaspora
Sejak para seminaris dipulangkan ke rumah pada hari Kamis, 26 Maret 2020 lalu, proses formasi para calon imam ini telah berpindah dari Lembah Sasa ke rumah para seminaris masing-masing. Pandemi virus korona melahirkan inisiatif untuk membentuk Seminari Diaspora. Virus korona membuat Seminari Mataloko bergerak dari Lembah Sasa menuju Seminari Diaspora.
Pada masa-masa ini, harapan banyak diletakkan di pundak para pastor paroki dan orangtua. Rm. Nani Songkares, Pr, dalam catatan refleksinya menulis, “Ada sesuatu yang terasa terbalik: Saat normal, orangtua berharap pada seminari untuk pendidikan anak-anaknya. Saat dilanda krisis virus korona, seminarilah yang berharap pada rumah untuk menjadi seminari sesungguhnya bagi para siswanya.”
Konsep seminari diaspora telah melahirkan paling kurang satu hal penting bagi perkembangan panggilan para seminaris, yaitu bahwa penentu terakhir dari keberhasilan adalah diri mereka sendiri. Walaupun para seminaris ini berada jauh dari seminari dan para formator, tetapi kalau mereka tetap mendidik diri dalam koridor pendidikan calon imam, mereka akan dengan sendirinya tiba pada suatu level kematangan tertentu. Di sini dibutuhkan suatu kemandirian para seminaris untuk mendidik dirinya sendiri.
Wakil Praeses, Rm. Kristoforus Betu, Pr mengharapkan agar seminari diaspora ini tidak kehilangan nilai-nilai esensialnya dan juga para seminaris diharapkan agar menjaga keseimbangan penghayatan lima dimensi pendidikan calon imam.
“Saya ingin supaya lembaga pendidikan calon imam ini tidak pudar, tidak kabur, dan tidak kehilangan nilai-nilai esensialnya. Nilai esensial itu ada banyak sekali. Mulai dari kerohanian sampai dengan kemandirian, perkembangan, dan pertumbuhan kepribadian para seminaris. Juga keseimbangan antara yang rohani dan yang sosial perlu selalu dijaga. Harapan saya, nilai-nilai yang terangkum dalam 5S itu tetap bertumbuh, terpelihara, semakin gesit, dan semakin maksimal karena tantangan ini.”
Kebersamaan dan kemandirian dapat manusia pupuk dalam berbagai aktivitas dan tempat, termasuk di kamar mandi.
SMP Seminari Mataloko mempunyai Kamar mandi yang besar dan lebar sebab memiliki siswa yang banyak. Kamar mandi ini terletak di samping kamar lama Rm. Alexander Dae Laba selaku pembina. Rm ini biasanya mengurus air di kamar mandi. Ia melatih kami untuk berhemat.
Di kamar mandi SMP, para seminaris melakukan banyak kegiatan. Mereka mencuci pakaian, mandi, dan membagi cerita. Semua kegiatan itu, dilakukan pada waktunya. Mencuci pakaian juga ada waktunya, yakni setiap hari Rabu, Sabtu, dan Minggu. Hari-hari ini pun dibagi lagi. Kelas VII setiap hari Rabu siang saat tidur siang, sedangkan hari Sabtu siang untuk kelas VIII dan kelas IX. Hari Minggu berlaku umum untuk semua siswa SMP. Pada hari Minggu, biasanya mencuci pakaian setelah studi pagi. Pada hari-hari inilah para seminaris berlatih mandiri dan memupuk kebersamaan atau tali persaudaraan.
Pada hari Rabu siang dan Sabtu siang para seminaris harus mencuci dalam keadaan diam, sebab itulah waktu hening (sillentium). Para seminaris yang mencuci pakaian haruslah menjaga kebersihan. Mereka dilarang buang sampah di sembarang tempat, seperti got-got sebab dapat mengakibatkan saluran tersumbat sehingga air akan meluap. Genangan air dapat menjadi sarang jentik nyamuk dan menimbulkan aroma yang tidak enak.
Pada saat mencuci para seminaris dilarang membawa sabun ke dalam toilet. Apa lagi menjatuhnya ke dalam kloset. Tindakan itu menyumbat saluran kloset. Selesai mencuci pakaian, para seminaris menjemurnya di jemuran, di samping unit C. Jika jemuran penuh, para seminaris dapat menjemur pakaian di depan kamar tidur. Kamar jemur dibagi dalam 3 tempat, yaitu di samping unit C, di belakang aula, dan di samping kamar yang lama.
Selain mencuci pakaian, kamar mandi juga menjadi tempat mandi. Para seminaris dilarang ribut saat mandi agar cepat selesai dan tidak memboroskan air. Namun, kebanyakan seminaris melanggarnya. Pada waktu itulah para seminaris membagikan pengalamannya.
Selain itu, pada saat mandi seminaris dilarang membuang sampah di sembarang tempat, khususnya dalam bak mandi. Seminaris harus menjaga kebersihan kamar mandi karena kamar mandi adalah tempat yang selalu dikunjung oleh seminaris.
Kamar mandi memiliki 2 deret bak besar untuk keperluan cuci dan mandi para seminaris. Para seminaris juga mempunyai kewajiban untuk membersihkan kamar mandi dan toilet. Namun, bukan semua seminaris membersihkannya. Ada kelompok yang dipercayakan untuk membersihkannya. Kelompok utama yang membersihkan kamar mandi ialah seksi toilet. Mereka membersihkannya setiap hari Rabu dan Sabtu setelah bangun tidur. Tahap awal yang mereka lakukan adalah menyiram lantai dengan air, lalu menyikat lantai sampai bersih. Semua pekerjaan ini selesai pukul 15.45. Sebagaimana biasa, keadaan kamar wc dan kamar mandi tampak sangat bersih. Semua ini dilakukan siswa di kamar mandi secara bersama. Seminaris gembira karena pekerjaan ini dilakukan bagi kepentingan bersama.
Tiga hari menjelang perayaan puncak Dies Natalis ke-89, Seminari Mataloko menyelenggarakan rekoleksi komunitas (12/09/2018). Rekoleksi menjadi momen yang istimewa bagi segenap anggota komunitas guna memaknai hari-hari persiapan menjelang perayaan puncak 15 September mendatang.
Ketua Panitia Pesfam 2018, RD. Beny Lalo dalam kata pengantarnya, menyebutkan bahwa rekoleksi bukan sekadar menjadi bagian dari rangkaian perayaan Pesfam (Pesta famili) melainkan lebih dari pada itu, menjadi hari yang istimewa untuk merenungkan tugas dan tanggung jawab masing-masing anggota komunitas “Dari sekian banyaknya hari yang kita habiskan untuk pertandingan dan perlombaan, hari ini menjadi hari yang spesial bagi kita untuk bermenung sepanjang hari,” tegasnya.
Kegiatan rekoleksi diawali dengan adorasi bergilir dari beberapa kelompok kelas yang dimulai dari pukul 06.30. Di sela-sela adorasi, pada pukul 08.00-09.15, semua anggota komunitas yang terdiri atas para imam, suster, frater, guru dan pegawai serta seminaris SMP dan SMA mengikuti renungan dan sharing yang dibawakan oleh Romo Praeses, RD. Gabriel Idrus di Kapela St. Alfonsus Maria de Liguori, Kapela SMA Seminari.
Adapun RD. Idrus pada tahun ini merayakan Perak, 25 tahun Imamatnya. Momen Dies Natalis ke-89 pada tahun ini menjadi kian semarak lantaran adanya perayaan perak imamat Romo Praeses. Rekoleksi pada hari ini bernaung di bawah tema umum Pesfam 2018 yakni “Menabur kasih menuai panggilan”.
Napak Tilas Panggilan Sang Gembala
Romo Idrus mengawali rekoleksi dengan mencoba kembali bernapak tilas, melihat ke masa-masa awal ketika panggilan hidup menjadi imam mulai bertumbuh. “Keinginan untuk menjadi imam hanyalah keinginan kecil dari sekian banyak keinginan yang ada ketika saya berada di bangku Sekolah Dasar,” demikian Romo Idrus mengawali kisahnya.
“Keinginan itu tumbuh tatkala menyaksikan pastor Paroki Lela dan pastor misionaris Belanda lainnya duduk bersama di pastoran Paroki Lela. Selain itu, kontak dengan imam pribumi dan kehadiran Para Frater dari Ritapiret dan Ledalero juga membangkitkan rasa senang saya terhadap mereka. Kehadiran para Frater menjadi kesempatan bagi kami yang masih kanak-kanak untuk menyaksikan orang-orang hebat di lapangan bola kaki, lapangan bola voli dan basket. Selain itu, keterampilan memainkan drama dan alat musik menjadi daya tarik tersendiri bagi saya yang pada saat itu masih kecil. Akan tetapi, setelah menamatkan pendidikan SD saya berniat untuk melanjutkan pendidikan di SMEP (Sekolah Menengah Ekonomi Pertama) selain karena belum ada niat masuk seminari juga karena sang ayah tidak setuju karena sebagaimana pendapat umum, sekolah di seminari itu mahal. Namun, karena didesak oleh Wakil Kepala Sekolah, bapak mengiyakan saya untuk masuk seminari.”
Begitulah awal kisah panggilan Sang Gembala ketika mulai memasuki kehidupan sebagai seorang seminaris. Dalam refleksinya, Romo Idrus menginsafi bahwa sesungguhnya keluarga mempunyai pengaruh yang cukup besar di awal panggilannya. Jawaban yang sederhana itu ternyata mempunyai konsekuensi yang besar bagi dirinya pribadi dan bagi keluarganya. Banyak hal yang berubah ketika ia mulai masuk ke seminari dan ketika ia perlahan-lahan mulai menapaki ziarah sebagai orang yang terpanggil hingga menjadi seorang gembala yang telah berziarah selama 25 tahun dalam tapak Imamat.
Panggilan Imamat sebagai Rahmat dan Tanda Keselamatan
Imamat bagi Romo Idrus pertama-tama adalah rahmat Allah yang menyelamatkan bahwasannya, cara keselamatan Allah telah lama dimulai dalam dirinya dengan segala keberadaannya sebagai seorang manusia. Merefkleksikan keselamatan Allah yang telah lama dimulai ini, Romo Idrus mengambil inspirasi dari sosok Nabi Yeremia. Seperti Allah mengenal Yeremia dengan segala keberadaan dirinya bahkan sejak Yeremia berada dalam kandungan ibunya dan dalamnya karya keselamatan Allah terlaksana, demikianpun cara keselamatan Allah telah lama dimulai dalam diri Romo Idrus. Keselamatan Allah nyata dalam diri pribadi yang terpanggil.
“Bagi seorang imam, imamat sebagai rahmat yang menyelamatkan bukan hanya tejadi dalam diri orang yang dilayani melainkan pertama-tama terjadi dalam dirinya sebagai orang yang terpanggil. Sebab bagaimana mungkin ia dapat menghayati tritugas panggilan Kristus sebagai imam, nabi dan raja kalau ia tidak merasa ada rahmat keselamatan dalam panggilan hidupnya. Kesadaran akan rahmat Allah yang menyelamatkan terasa nyata dalam panggilan saya sebagai imam dan bahkan rahmat itu menjadi nyata dalam pengalaman dilematis.”
Imam kelahiran 24 Maret 1965 ini menambahkan bahwa rahmat Allah bekerja di saat-saat yang tepat dan rahmat itulah yang membawa keselamatan bagi dirinya sendiri dan bagi orang yang dilayaninya. Karena itu, dalam tugas pengabdiannya sebagai seorang gembala, ia mempunyai prinsip yakni menempatkan karya pelayanan imamat di atas kepentingan keluarga. Menjadi imam berarti menjadi pribadi yang lepas bebas dari berbagai ikatan. Prinsip inilah yang selalu dipegang teguh ketika ia berhadapan dengan pengalaman dilematis yang memaksanya untuk mengambil keputusan dengan cepat.
Romo Idrus percaya bahwa ketika menjadi pribadi yang lepas bebas, maka ia akan mendapatkan banyak saudara seperti sabda Tuhan dalam Injil. Pengalamanan pengembaraan 25 tahun imamat sudah menunjukkan bahwa Sabda Tuhan dalam Kitab Suci itu hidup, nyata dan berdaya guna “Tuhan selalu punya cara dan bahkan di saat-saat yang sulit dan tak ada harapan sekalipun, sabda Tuhan menjadi nyata,” demikian imam yang mengambil moto imamat dari Sir. 42:15 ini melanjutkan refleksi imamatnya.
Bertahan dalam Pelayanan Kasih
Imamat menurut RD. Idrus adalah jabatan dan profesi yang mengedepankan pelayanan kasih. Dengan ini hendak ditunjukkan wajah personal dan sosial dari sebuah karya pelayanan. Ketika merayakan Kurban Ekaristi dan sakramen serta hadir dalam karya pelayanan kasih, imam hadir dalam dua wajah yaitu personal dan sosial. Karya pelayanan inilah yang dihidupinya dalam hidup imamatnya.
Lebih lanjut, Romo Idrus membagikan tiga hal pokok yang membuatnya setia dan bertahan selama 25 tahun dalam hidup imamatnya. “Seandainya ditanya, apa yang membuat saya setia dan bertahan hingga usia perak ini, maka saya akan menjawab, pertama-tama adalah selalu berusaha membangun hidup rohani yang baik melalui doa, ibadat dan Ekaristi. Lalai dalam melaksanakan hal ini akan menimbulkan rasa cemas dari dalam diri dan saya bersyukur atas rasa cemas yang kudus ini. Kedua, kesadaran akan keseimbangan antara ora et labora. Doa dan bekerja bagi saya adalah mata rantai yang mengikat imamat. Kata Aristoteles, musuh kehidupan rohani yang baik adalah terlalu banyak melakukan sesuatu. Jika saya hanya bekerja dan lupa berdoa, atau menggantikan doa dengan kerja, apa bedanya saya yang imam dengan para pekerja sosial. Ketiga, selain karena kekuatan Allah, saya juga percaya pada kekuatan manusia yang adalah sahabat dan rekan kerja saya. Saya percaya bahwa masing-masing orang adalah pribadi yang unik dan karena itu, saya selalu berusaha sedapat mungkin menghindari kerja sendiri dan lebih mementingkan kerja tim.”
Sebagai seorang imam, Romo Idrus berusaha untuk menghidupi spritualitas hidup Yesus sendiri yang selalu menyeimbangkan antara doa dan bekerja. Bekerja keras tidak boleh sampai melupakan doa demikianpun sebaliknya, doa yang tekun jangan sampai mengabaikan waktu kerja. Doa dan bekerja harus berjalan seimbang. Itulah perisai yang menjaga tubuh imamat tetap bertahan hingga seperempat abad ini.
Menabur Kasih, Menuai Panggilan
Di akhir rekoleksinya, Romo Gabriel Idrus mencoba merefleksikan tema Pesfam 2018, Menabur kasih Menuai Panggilan. “Jika yang menabur kasih di tempat ini adalah para pembina, guru dan pegawai maka yang menuai panggilan pada akhirnya adalah orang tua, masyarakat dan Gereja. Bagi saya, yang menabur kasih dan yang menuai panggilan adalah kita semua yang dengan caranya masing-masing turut memberi warna pada setiap proses formasi yang ada di Seminari St. Yohanes Berkhmans Mataloko ini,” demikian katanya.
Ada beberapa refleksi sederhana yang kiranya diberikan seandainya yang dimaksudkan dengan penabur dan penuai adalah semua anggota komunitas Seminari Mataloko. Pertama, Semua anggota komunitas harus aktif dan bukan menjadi pribadi yang pasif. Itu berarti adalah tidak ada komponen yang lebih tinggi dari yang lain. masing-masing orang menabur dengan penuh tanggung jawab sehingga produk yang dihasilkan betul-betul bermutu dan pada akhirnya, banyak orang yang mencarinya.
Jika Proses formasi di seminari Mataloko adalah proses menabur maka produk yang bermutu harus dapat dihasilkan pada tahun-tahun mendatang sebab wajah Gereja 30/40 tahun mendatang berada di pundak-pundak semua komponen baik sebagai formator maupun formandi. Untuk itu perlu ada rasa optimisme yang tinggi bahwasannya, masing-masing pihak adalah pribadi yang besar untuk sebuah karya besar bukan sebaliknya merasa diri kecil dan tidak layak untuk sebuah karya besar. Karena itu, menabur kasih, menuai panggilan tidak akan berarti jika tidak ada kesungguhan dan tanggung jawab serta rasa sakit dan bahkan korban nyawa seperti Yesus yang telah mengorbankan nyawanya.
Kasih Yesus dalam karya pelayanan mestinya menjadi contoh kasih yang kita tabur, sebab, kataNya, “Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang sahabat yang memberikan nyawanya bagi sahabat-sahabatnya.” Setiap anggota komunitas diajak untuk mencari kasih yang sempurna dalam pengalaman hidupnya masing-masing.
Hening dalam Doa dan Refleksi
Rekoleksi yang berlangsung sepanjang hari ini diwarnai dengan suasana hening. Seminaris diundang untuk berdiam dalam doa dan refleksi di hadapan Sakramen Maha Kudus. Doa menyadarkan seminaris untuk menyadari hakikat panggilannya sebagai pribadi pendoa sementara refleksi menjadikan mereka pribadi yang bijak dengan melihat diri dan pengalaman hidupnya. Staf Liturgi OSIS membagi kelompok kecil untuk kemudian beradorasi secara bergilir hingga pukul 18.00. Seluruh rangkaian rekoleksi pada hari ini ditutup dengan adorasi bersama di Kapela SMA Seminari. Adorasi penutupan dipimpin oleh RD Bene Baghi.
Akhirnya, suasana khusuk dalam doa memampukan seminaris dan para formator guna menelusuri pengalaman hidup masing-masing dalam melaksanakan tema menabur kasih, menuai panggilan. Pasca adorasi penutupan, rutinitas harian seminaris kembali berlangsung seperti biasa.
Cabang Meluas karena Akar Mendalam – Kilas Balik (3)
GRATIA SUPPONIT NATURAM (2)
Catatan Pendidikan ala Gymnasium
Di samping pengajaran, ditekankan sekali pembinaan watak. Oleh karena itu kurikulum tidak hanya mencantumkan mata pelajaran-mata pelajaran intelektual. Disediakan juga waktu dan peluang untuk berbagai kegiatan yang bertujuan untuk menanamkan dan menumbuhkan paham, nilai dan sikap hidup di dalam diri para siswa. Ada kegiatan untuk mengembangkan perasaan, merangsang imajinasi, memperlancar komunikasi, interaksi dan hubungan yang baik antar sesama.
Latihan-latihan otoekspresi seperti membuat karangan, berdeklamasi, latihan seni teatrikal, latihan seni suara, olah musik instrumental mendapat tempat pula dalam sistem pendidikan ini. Kegiatan seni musik misalnya, mendapat perhatian yang besar di seminari. P. Karel van Trier, SVD mengajarkan teori dan praktik musik mulai dari kelas satu sampai kelas enam. Dari beliau, para siswa mendapatkan latihan mengolah seni suara secara intensif. Ada koor dewasa (Mannen-koor) untuk para siswa di kelas-kelas tinggi, ada koor anak-anak (Kinder-koor). Ada latihan intensif dirigen, latihan musik instrumental, pembentukan orkes seminari. Semuanya diarahkan dalam rangka pembinaan watak dan kepribadian.
Bahkan juga kerja tangan dalam rangka kebersihan sekolah, asrama, penataan taman, mendapat porsinya. Kegiatan seperti ini langsung dipelopori pembinanya. P. Yan Smit SVD, misalnya, sangat berjasa dalam penataan taman di halaman tengah kompleks seminari. Beliau memesan bibit-bibit bunga dari negeri Belanda dan bersama siswa menanamnya dalam petak-petak yang artistik. Beliau berpendapat, bunga-bunga yang indah menggairahkan para siswa untuk hidup dan belajar.
Demikian pula kegiatan-kegiatan yang diarahkan untuk menumbuhkan semangat kelompok, kerja sama, solidaritas, tenggang rasa satu sama lain, cinta lingkungan alam dan masyarakat mendapat perhatian serius.
Salah satu bentuk kegiatan itu adalah liburan terpimpin berupa ekskursi ke suatu tempat tertentu, baik secara bersama-sama atau dalam kelompok kecil, di mana para siswa dan Staf Pembina membaur dengan masyarakat, menikmati piknik bersama ke pantai, mendaki gunung dan lain-lain. P. Cornelissen SVD menyimpan banyak kenangan dari kegiatan-kegiatan seperti ini.
Mendaki gunung Ebulobo atau Inerie, beramai-ramai mengunjungi kampung terpencil seperti Warukia di Riung Barat, atau berjalan kaki ke utara untuk berlibur di pulau Pata, Riung, sungguh merupakan pengalaman yang membekas. Di sana ada solidarity making, ada kemenyatuan dengan alam dan masyarakat, ada kemerdekaan dan kegembiraan, ada persahabatan yang tulus.
“Saya sendiri menikmati perjalanan-perjalanan seperti itu, sembari melupakan kesibukan-kesibukan sehari-hari, menghirup udara dalam alam bebas, bersama dengan kelompok pemuda-pemuda sebagai kawan. Ya, mereka benar-benar sahabat!” kata P. Cornelissen (P.F. Cornelissen, SVD. 50 Tahun Pendidikan Imam di Flores, Timor dan Bali. Ende: Arnoldus, 1978: 28).
Ketika berkisah tentang pendakian gunung api Ebulobo, P. Cornelissen berkata, “Betapa kecil nampak puncak gunung yang tinggi itu dari bawah, tapi setelah berdiri di atasnya orang akan kagum betapa luas di sekitarnya. Jika untuk pertama kalinya mendaki sampai pada puncak sebuah gunung berapi yang tinggi menjulang ke langit itu, barulah terasa suatu pengalaman yang tak pernah akan terlupakan.”
Pulang dari liburan-liburan seperti itu terasa ada energi baru yang menyuburkan jiwa dan menyegarkan panggilan; terasa terpulihkan kekuatan untuk melayani dengan totalitas yang tinggi, untuk mengeksplorasi pertumbuhkembangan diri dan sesama.
Karena itulah pendidikan dengan sistem seperti ini telah sangat besar dirasakan manfaatnya. Tentang hal ini J. Riberu menulis, “Pengaruh seminari bukan saja dirasakan lewat mereka yang ditahbiskan. Kebanyakan mereka yang menikmati jamahan pendidikan seminari mampu membina kepribadiannya sedemikian rupa, sehingga dapat berjasa bagi masyarakat sekitarnya” (Riberu Dr. J.”Setengah Abad Lalu: Jasa Pendidikan dan Para Pendidik Flores” dalam Dungkal.A. Jejak Langkah Pendidikan dan Para Pendidik Flores.Jakarta: Yayasan Padi Jagung 1999: 16-17).
Yang Perlu Kita Pelajari
Catatan Bapak John Riberu pantas kita cermati. Di situ tersimpan arti dari judul karangan ini: Gratia supponit naturam. Rahmat bekerja melalui pengembangan diri yang maksimal. Dengan mengembangkan diri secara maksimal baik secara intelektual maupun personal, orang menjadi manusia yang baik, dan dengan menjadi manusia yang baik, orang mampu menjadi berkat bagi banyak orang.
Sudah sepantasnya seluruh proses pembelajaran, baik yang dilakukan guru maupun siswa, menjadi suatu proses yang menumbuh-kembangkan. Itulah salah satu ilham yang bisa ditarik dari praksis pendidikan para pendahulu kita.
Orang belajar bukan untuk menghafal, karena otak bukan alat perekam semata. Orang belajar untuk dapat mengembangkan kegemaran berdaya cipta, kebiasaan dan keberanian berpikir, agar kualitas intelektual benar-benar bertumbuh.
Orang mengapresiasi seni dan musik bukan demi selera dan panggung semata, atau pertunjukkan, atau perlombaan, tapi demi penghalusan kepribadian, dan pada gilirannya, penghalusan peradaban.
Orang melakukan kerja tangan bukan karena terpaksa, tetapi untuk mengembangkan disponibilitas: kerelaan dan kemurahan hati seorang manusia yang baik untuk melayani sesamanya, kendatipun harus berkotor-tangan, berkorban dan bahkan menjadi kuli.
Orang mencintai doa dan berbagai latihan rohani lainnya bukan sekedar sebagai dekorasi dan ekshibisi, tetapi sebagai sarana untuk merasakan kehangatan KasihNya, dan sarana untuk memurnikan motivasi hidupnya untuk berkarya, pertama-tama dan di atas segalanya Ad Maiorem Dei Gloriam – demi kemuliaan nama Tuhan. (Nani Songkares, Pr – Bagian II, habis).