Catatan Bapak Ronny Pulu
Menjadi guru adalah sebuah panggilan mulia untuk mendidik anak bangsa. Itulah profesi yang saya jalani saat ini. Namaku Heronimus Aloysius Pulu yang biasa disapa Ronny. Aku berkarya di sebuah lembaga pendidikan calon imam Katolik yang lazim disebut seminari yaitu Seminari Menengah St. Yoh. Berkhmans Mataloko. Lembaga pendidikan ini merupakan sekolah berasrama khusus laki-laki yang didirikan oleh para misionaris Eropa pada tahun 1929. Sebuah sekolah tua yang menyisakan sedikit arsitektur bangunan bergaya Eropa dan terletak di wilayah Kecamatan Golewa Kabupaten Ngada Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Letaknya cukup strategis karena berada pada jalur utama jalan penghubung antara kota-kota kabupaten di daratan pulau Flores. Selain itu udaranya yang sejuk dan cenderung dingin semakin menambah kenyamanan sebagai sebuah taman pendidikan. Walau sering dijuluki sebagai kota kabut dengan curah hujan yang cukup tinggi, Mataloko menjadi pilihan bagi beberapa lembaga pendidikan lainnya pada berbagai jenjang. Kondisi yang mungkin mirip seperti di Eropa ini bisa saja menjadi alasan berpindahnya lembaga pendidikan calon imam Katolik ini dari Lela yang berhawa panas, sebuah tempat di pesisir selatan pulau Flores pada wilayah kabupaten lainnya. Seminari tingkat menengah ini terdiri dari jenjang SMP dan SMA. Aku menjadi salah satu guru di tingkat SMP yang berasal dari kalangan awam (non imam) di antara sejumlah guru awam dan beberapa imam Katolik serta frater (calon imam) yang sedang menjalani masa orientasi pastoralnya.
Sebelum menjadi guru, aku pernah beberapa tahun berkarya di lembaga ini sebagai instruktur yang mendampingi para siswa seminari (seminaris) tingkat SMA dalam membuat berbagai benda kerajinan pada Sanggar Kreasi Berkhmawan. Sebuah kerja tangan yang harus dicintai oleh para seminaris sesuai dengan visi dan misi lembaga pendidikan ini. Sebagai instruktur aku sangat menikmati pekerjaan ini karena sesuai dengan minat dan bakatku. Berbagai limbah alam yang terbuang mudah didapatkan, seperti kayu, kaca, ataupun bambu. Aku bisa memanfaatkannya menjadi sesuatu benda yang menarik. Ada kepuasan bathin tatkala hasil karyaku dijadikan model untuk ditiru oleh para seminaris. Bahkan beberapa kali hasil karya kami dipamerkan pada ajang tertentu baik di sekolah ini maupun pada tingkat kabupaten.
Selama mendampingi para seminaris, banyak hal yang aku alami, baik yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan, bahkan bisa memicu kemarahan. Peralatan kerja milik sanggar kadangkala menjadi rusak dan tidak bisa digunakan lagi. Cara menggunakan alat kerja juga kadang harus aku tunjukkan karena menjadi hal yang baru bagi mereka. Bahan-bahan habis pakai yang disediakan kadang digunakan seenaknya tanpa aturan. Memang perlu penguasaan diri yang cukup untuk menghadapi ulah seminaris yang seperti itu. Kesabaran mutlak sangat diperlukan. Peralatan kerja yang digunakan cukup beresiko bahkan bisa membahayakan. Pengawasan harus terus dilakukan sehingga bisa mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan.
Aktivitas kerja tangan harus dibuat menjadi sesuatu yang menyenangkan, bukan paksaan. Karena sesuatu yang dibuat karena terpaksa tentu akan menghasilkan sesuatu yang tidak maksimal. Membuat suatu benda kerajinan akan berhasil baik bila dikerjakan dengan hati. Silakan berkreasi sesuai dengan keinginan. Dua hal ini selalu aku tekankan pada seminaris. Dengan demikian mereka menjadi lebih kreatif, lebih cermat dan teliti, serta bertanggung jawab terhadap bahan dan peralatan yang digunakan. Kadang kala aku mengajak para seminaris mengevaluasi hasil karyanya secara detail, sehingga mereka bisa menyadari kekurangan untuk diperbaiki. Rasa bangga terpancar dari wajah-wajah mereka bila aku memuji. Hal ini semakin terlihat apabila hasil karyanya masuk nominasi untuk dipamerkan.
Sejak sepuluh tahun yang lalu aku dipercayakan menjadi guru untuk mata pelajaran Prakarya. Aku yang awalnya hanya berkutat dengan gergaji, mesin serut, bor, palu, dan peralatan tukang lainnya harus membiasakan diri dengan buku, spidol, laptop, dan urusan administrasi lainnya yang berhubungan dengan perangkat pembelajaran. Sebuah kepercayaan yang harus bisa dibuktikan dengan kerja nyata dalam peran sebagai guru. Memang awalnya terasa berat sekali karena aku sama sekali tidak memiliki kompetensi akademik dan pengalaman sebagai guru. Perlu perjuangan ekstra untuk masuk dalam kategori guru apalagi menjadi guru yang baik dan berkualitas. Namun lingkungan kerja yang kondusif dan menyenangkan sungguh sangat membantuku sehingga bisa beradaptasi dengan peran yang baru.
Aku harus membiasakan diri untuk menyiapkan perangkat dan materi pembelajaran, masuk kelas tepat waktu, membantu siswa dengan berbagai cara agar bisa memahami materi ajar, dan menjalankan tugas lainnya dengan penuh tanggung jawab. Sesekali aku tetap mendampingi siswa dalam kerja praktik Prakarya walau tidak lagi menggunakan ruang sanggar karena berbeda lingkungan kerjanya. Bukan sekedar mendampingi, tetapi harus bisa menilai proses dan hasilnya. Dahulu berurusan dengan ‘perangkat keras’, sekarang berurusan dengan ‘perangkat lunak’. Demikian kalimat yang pernah aku dengar dari salah seorang alumnus yang pernah menjadi siswaku.
Seorang guru tentu membutuhkan kedewasaan dalam berpikir dan bertindak serta memiliki kematangan emosional. Menguasai diri dalam menghadapi berbagai situasi kehidupan menjadi suatu keharusan. Para seminaris di sekolahku berasal dari berbagai wilayah di Indonesia, dengan berbagai latar belakang keluarga yang berbeda, dengan kultur yang kadang berbeda pula, dan sebagainya. Karena itu, dengan penuh kesabaran guru harus mampu mengelola kelas dengan baik, memberikan contoh dan teladan yang baik pula kepada para siswanya. Guru harus mampu mengarahkan para siswanya untuk saling menghormati perbedaan, dan berperilaku positif lainnya. Para siswa diharapkan untuk bisa memiliki karakter yang baik dan terus berusaha memperbaiki diri dari hari ke hari. Hari ini harus lebih baik dari hari kemarin. Besok harus lebih baik dari hari ini.