Romero2

DARI KUBURAN KEPADA MAKNA HIDUP

Oleh: Rm. Nani Songkares, Pr

Saya ingin bercerita tentang seorang siswa Seminari dari sebuah kampung yang terpencil. Sekarang dia sudah berada di kelas XII SMA dan sedang menyiapkan diri ke Seminari Tinggi.

Saat masih di SMP, perkembangannya lamban sekali. Dia terbilang bodoh. Keluarganya memutuskan agar dia tinggal di Seminari pada masa Covid dulu. Berkali-kali saat bekerja di kebun, dia mengelamun sendiri.

Pernah ayahnya bertanya kepada saya mengenai perkembangannya. Saya ceritakan apa adanya. Mereka pernah punya niat menariknya keluar dari Seminari. Namun saya berusaha meyakinkan mereka untuk merelakan anaknya tinggal di Seminari. Saya minta agar mereka menahan diri, membatasi komunikasi dengan putranya, untuk sementara.

Mereka patuh. Bagi saya, ini pengorbanan besar dari ayah-ibunya. Mereka menahan diri,  membatasi kontak dengan putranya.

Saat ini, anak itu menjadi teman diskusi saya. Dia mempunyai keterampilan lebih yang dia pelajari sendiri, khususnya mengenai dunia digital. Kecepatan belajarnya tinggi sekali. Lingkaran pertemanannya luas sekali. Sampai ke mancanegara. Saya sering meminta bantuannya. Kalau ada tanggung jawab yang diserahkan kepadanya, terlihat sekali dedikasinya.

Seandainya keluarganya tidak bisa menahan diri, dan terus ‘mengganggu’-nya dengan berbagai kunjungan dan intervensi, mungkin dia tidak bisa berkembang sejauh ini. Sayapnya tidak cukup kuat untuk terbang tinggi, melampaui batas-batas. Bahkan, apa-apa menjadi batas: makanan, tempat tidur, benturan saat bermain sepakbola, persahabatan. Padahal bagi anak, sangat mungkin tidak ada batas untuk terbang. Hanya langitlah batasnya. The sky is the limit!

Saya teringat kisah seorang anak laki-laki ketika pertama kali melihat kupu-kupu keluar dari kepompong. Kupu-kupu itu menggeliat, berusaha dengan susah payah agar bisa keluar dari kepompong.

Anak itu jatuh kasihan. Dia berlari ke rumah, mengambil gunting. Dengan alat itu, dia ‘membantu’ kupu-kupu keluar dari kepompong. Diguntingnya kepompong itu sedikit demi sedikit, sampai akhirnya kupu-kupu terbebaskan.

Anak itu gembira luar biasa. Namun, apa yang terjadi? Kupu-kupu tidak bisa terbang. Dia mondar-mandir kebingungan, karena tidak punya kekuatan. Dia paling-paling hanya bisa merayap. Tampaknya anak itu memberi kemudahan bagi kupu-kupu, tapi kemudahan ternyata menjadi kebuntuan, bahkan kuburan.

Zona nyaman paling pertama seorang anak adalah rahim mama. Apa-apa mama yang urus: napas, makan, minum, bahkan berak. Semuanya di rahim mama. Dia merasa nyaman, terlindungi, tidak perlu susah-susah.

Namun, seandainya dia berada di dalam rahim lebih dari 9 bulan, 10 atau 11, rahim mama sudah berubah jadi kuburan. Yang mati mungkin bukan hanya anak, tapi bisa jadi mama, dan ini menyakitkan sekali.

Anak perlu keluar dari zona nyaman itu. Dia pasti menangis karena ketakutan, tidak berani menghadapi tantangan. Itulah zona ketakutan (fear zone).

Godaan ketika anak berada dalam zona ketakutan adalah pulang ke zona nyaman, ke ‘rahim mama’. Kalau kita tidak bijak, perjalanan belajar anak terhenti. Dia takut menghadapi dunia, gemetar di hadapan tantangan. Hilang rasa percaya diri. Dia mencari-cari alasan untuk membenarkan diri, bahkan dengan cara mendramatisasi, membesar-besarkan untuk minta dikasihani. Dia berlari kembali ke ‘rahim mama’, zona nyaman, yang bisa menjadi kuburan bagi kemerdekaannya. Ini berbahaya untuk dirinya, dan orang lain.

Sebenarnya ada jalur lain yang harus anak tempuh, yakni masuk ke zona belajar (learning zone). Di sana dia menghadapi tantangan dan masalah, dan berusaha mengolahnya. Dia mencari jalan pemecahan. Dia belajar berkomunikasi dan bernegosiasi untuk mengumpulkan kekuatan. Dia belajar mengatur diri.

Dengan itu dia mendapatkan keterampilan-keterampilan baru, yang membuat sayapnya lebih kuat untuk terbang. Belajar menjadi keasyikan baru. Di sini, dia membangun zona nyamannya sendiri, yang jauh lebih luas dari rahim mama. Dia bergerak dari sekadar bertahan (surviving), ke pembelajaran-pembelajaran baru yang memperkaya diri (thriving), dan lebih dari itu, dia berlangkah ke zona baru, zona pertumbuhan (growth zone).

Dalam zona pertumbuhan ini, transformasi yang dialami sering mencengangkan. Anak tidak hanya belajar keterampilan-keterampilan baru yang kasat mata maupun yang halus tapi amat dibutuhkan (disiplin, tanggung jawab, tahan banting, determinasi, kesetiaan pada nilai, kepemimpinan), tapi juga belajar melihat misi hidupnya, tujuan hidupnya. Belajar bahwa dia bisa mendedikasikan diri, mempersembahkan diri, bahkan berkorban. Dia belajar menempatkan dirinya pada pelayanan di luar dirinya, yang lebih besar dari dirinya – pelayanan kepada orang lain, kepada komunitas, daerah, bangsa, dunia, dan tentu, kepada Tuhan. Di situ dia belajar menemukan makna hidupnya.

Rasanya pembelajaran yang ditawarkan di Seminari kita itu bukan joyful learning, tapi meaningful learning, pembelajaran yang bermakna. Jalan untuk mendapatkan makna hidup sejati adalah jalan salib. Itu jalan yang diajarkan Guru Agung kita.

Dia berkata, “Setiap orang yang mau mengikuti Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikuti Aku. Karena barangsiapa mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya; tetapi barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan menyelamatkannya” (Lk. 9:23-24).

Tags: No tags

Comments are closed.